Jakarta (ANTARA News) - Indonesia memerlukan pengelolaan utang dalam satu atap atau pintu agar semua pinjaman, terutama pinjaman luar negeri, dapat tercatat dengan baik sehingga diketahui persis berapa beban yang ditanggung negara. "Saat ini manajemen utang ditangani beberapa institusi, yaitu Departemen Keuangan, Bank Indonesia, Kantor Menko Perekonomian, dan Bappenas secara parsial," kata Koordinator National untuk Pencapaian Target Millenium Development Goals (MDGs), Ivan A. Hadar, dalam diskusi mengenai optimalisasi penggunaan utang luar negeri akhir pekan ini di Jakarta. Menurut dia, fungsi "front office" untuk mencari utang luar negeri hingga saat ini kurang terkoordinir semenjak krisis terjadi pada 1997 lalu. Sementara fungsi "middle office" untuk menganalisis risiko belum optimal, misalnya lewat analisis keterkelolaan utang, analisis risiko, tingkat pengembalian, dan sebagainya. "Untuk itu diperlukan debt management office yang menyatu dan tidak hanya mengikuti strategi pengelolaan utang yang konvensional. Rescheduling dan reprofiling masih dibutuhkan, tetapi tidak dapat dijadikan strategi pengelolaan utang yang utama," katanya. Debt management office, katanya, seharusnya ada untuk menawarkan pengelolaan utang non konvensional yang memerlukan teknik negosiasi dan rekayasa finansial, misalnya pemotongan utang (hair cut), penghapusan sebagian utang (write off), konversi utang ke obligasi (brady bond), konversi utang menjadi ekuitas dan tukar menukar antara utang dan konversi sumber daya alam (debt for nature swap). Pemerintah saat ini tengah menggodok Rancangan Undang-undang (RUU) tentang Pinjaman dan Hibah Luar Negeri (PHLN) sebagai pengganti berbagai peraturan pemerintah mengenai utang luar negeri. Menurut dia, rencana pemerintah tersebut perlu dicermati bukan saja karena pengelolaan utang luar negeri yang saat ini amat tidak tertib, tetapi juga karena ketergantungan Indonesia pada utang luar negeri yang sudah sangat besar. "Karena itu menata ulang pinjaman luar negeri bukan saja wajar, tetapi memang sudah selayaknya diatur dalam UU," katanya. Menurut dia, utang luar negeri menjadi salah satu penyebab munculnya kesulitan Indonesia mencapai tujuan pembangunan nasional, termasuk tujuan pembangunan milenium (MDGs), sehingga penanganan utang luar negeri secara lebih baik merupakan keharusan. Sementara itu, Deputi Bidang Pendanaan Pembangunan Bappenas, Lukita D. Tuwo, mengatakan peran dari lembaga-lembaga yang ada saat ini sebenarnya merefleksikan pengelolaan utang luar negeri yang lebih terkoordinasi walaupun tidak dalam satu atap. "Jadi entry poin untuk semua usulan pinjaman luar negeri adalah Bappenas sebagai lembaga koordinasi perencanaan. Sebelum betul-betul menjadi utang, Bappenas akan mengusulkan kepada Departemen Keuangan (Depkeu) yang akan menilai risiko-risiko yang timbul. Jika disetujui, maka akan ada tim negosiasi yang dipimpin pihak dari Depkeu dan dari Bappenas sebagai member, selanjutnya pengelolaan utang itu ada di Depkeu," jelasnya. (*)

Copyright © ANTARA 2007