Tensi tinggi perdagangan antara AS dan China belum akan membaik dalam waktu dekat dan telah mempengaruhi penurunan pertumbuhan ekonomi global
Nusa Dua, Bali (ANTARA News) - Indonesia akan mengoptimalkan bauran kebijakan moneter, makroprudensial, dan fiskal untuk menjaga stabilitas sekaligus mendorong potensi pertumbuhan ekonomi domestik di tengah serbuan dampak perang dagang global Amerika Serikat dan China.

Deputi Gubernur BI Dody Budi Waluyo di sela rangkaian Pertemuan Tahunan IMF-Bank Dunia 2018 di Nusa Dua, Bali, Selasa, menyampaikan hal itu terkait proyeksi terbaru IMF yang menyebutkan tensi tinggi perdagangan antara AS dan China belum akan membaik dalam waktu dekat dan telah mempengaruhi penurunan pertumbuhan ekonomi global.

Bank Sentral, kata Dody, telah mengawasi dampak dari eskalasi perang dagang terhadap negara berkembang termasuk Indonesia, terutama terkait dampak terhadap kondisi aliran modal asing dan nilai tukar karena ketidakpastian yang ditimbulkan dari kebijakan perdagangan dua negara raksasa ekonomi dunia itu.

BI menancapkan prioritas penggunaan instrumen kebijakan moneter untuk menjaga stabilitas perekonomian terlebih dahulu.

"Sesuai mandat Bank Sentral untuk menstabilkan nilai tukar rupiah dan juga kendalikan inflasi. Namun tentunya kita tidak melepas momentum pertumbuhan ekonomi yang terjadi. Kita juga melalui kebijakan makroprudensial yang direlaksasi sepanjang risko sistemiknya tetap terjaga," ujar dia.

Selanjutnya instrumen makroprudensial akan dipergunakan untuk memberi relaksasi terhadap roda perekonomian di tengah pengetatan suku bunga.

"Kenapa kami melonggarkan LTV (rasio kredit perumahan) karena kami melihat risiko sistemik yang berasal dari sektor properti dan kendaraan relatif terjaga sehingga kita melonggarkan itu. Yang penting itu bagaimana kita `mix policy` (membaur kebijakan) dengan pemerintah (dari sisi fiskal)," ujar Dody.

Proyeksi terbaru dari IMF yang dikemukakan Selasa ini di Nusa Dua, Bali, mengkoreksi proyeksi pertumbuhan ekonomi dunia menjadi 3,7 persen untuk 2018 dan 2019. Angka itu lebih rendah dibanding proyeksi pertumbuhan ekonomi dunia yang dikeluarkan April 2018 oleh IMF sebesar 3,9 persen.

Salah satu penyebab penurunan proyeksi pertumbuhan itu adalah perang dagang AS-China yang berkepanjangan, yang telah menghambat iklim bisnis dan memicu volatilitas di pasar keuangan.

Volatilitas di pasar keuangan itu pula yang telah membuat BI menaikkan suku bunga acuan 7-Day Reverse Repo Rate hingga lima kali tahun ini menjadi 5,75 persen untuk menjaga daya tarik aset-aset berdenominasi rupiah.

Dody mengatakan Bank Sentral masih akan melihat perkembangan data ekonomi terbaru untuk memutuskan kebijakan suku bunga acuan di sisa tahun.

Baca juga: Cegah perang dagang, Wamenkeu ingatkan kerja sama Selatan-Selatan
Baca juga: Darmin perkirakan perang dagang China-AS masih akan berlanjut



 

Pewarta: Indra Arief Pribadi
Editor: Kelik Dewanto
Copyright © ANTARA 2018