Jakarta (ANTARA) - Reformasi di Indonesia menghasilkan satu nuansa baru terkait pemilihan presiden (Pilpres). Pada 2004, untuk pertama kalinya rakyat diberi kesempatan untuk memilih langsung siapa sosok yang mereka anggap layak untuk menduduki posisi RI 1.

Salah satu cara yang dianggap sesuai oleh banyak pihak untuk menguji kematangan dan program-program para calon pemimpin negara adalah melalui debat capres. Di ajang inilah, mereka dapat saling menyerang di tataran ide, untuk pada ujungnya berusaha menggaet lebih banyak pemilih.

Usulan masyarakat tersebut kemudian disambut hangat oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai pemilik hajatan akbar ini. Setelah menampung berbagai usulan yang masuk mengenai detail debat yang akan dilakukan, KPU kemudian membuat aturan yang jelas mengenai debat terbuka.

Kini telah tiga kali ajang Pilpres diwarnai dengan debat capres. Sejak 2004, para pemilih tidak lagi "membeli kucing dalam karung." Terlepas dari masih belum idealnya penyelenggaraan debat, masyarakat kini memiliki lebih banyak pertimbangan untuk memilih, atau tidak memilih, salah satu calon pasangan presiden dan wakil presiden.

Kesadaran untuk mengenal lebih jauh kapabilitas pasangan calon presiden dan wakil presiden melalui debat bukan monopoli masyarakat berpendidikan menengah ke atas. Berkat semakin terjangkaunya televisi, debat capres yang ditayangkan langsung oleh stasiun-stasiun televisi membuat semua pihak semakin mudah menyaksikan adu gagasan antara pihak-pihak yang bersaing ini.

Seperti yang dipaparkan Deden. Penjual cilung yang berdagang di Gang Sawo, Kota Depok, ini mengakui jika ada kesempatan, dirinya akan menyaksikan debat capres.

"(Debat-debat) sebelumnya saya mengikuti pas bagian-bagian akhir. Setelah selesai jualan," kata Deden saat ditemui pada Rabu (10/4).

Deden tidak melakukan persiapan khusus untuk menyaksikan debat capres terakhir. Sebagaimana yang dilakukan dia pada debat-debat sebelumnya, Deden akan menyaksikan kegiatan tersebut sesempatnya saja, setelah ia selesai berjualan.

Pendapat Deden senada dengan yang diceritakan Daulat. Pria yang berprofesi sebagai pekerja lepas ini memang memiliki tingkat intelektualitas yang lebih tinggi ketimbang Deden, toh keduanya memiliki kesamaan dalam meluangkan waktu untuk menyaksikan debat capres.

Sambil menghabiskan minuman yang dipesannya, Daulat mengatakan dirinya masih berminat menyaksikan debat capres karena ingin mencari hal-hal yang lebih natural dari kedua pasangan capres-cawapres.

Bagi Daulat, sulit untuk mengetahui lebih dalam mengenai kedua pasangan calon jika hanya mengikuti media arus utama dan media sosial yang penuh polesan. Debat capres digunakan oleh dia untuk menakar seberapa baik kemampuan sosok yang akan dipilihnya dalam menghadapi serangan-serangan yang dilontarkan kubu pesaing di atas panggung.

"Rasanya kalau di atas podium akan lebih kelihatan kecerdasannya. Soalnya kan tidak ada tim yang memberi tahu jawaban saat pihak lawan bertanya atau menyanggah," kata pria berbadan besar ini.

Sementara itu, Nadia, yang mengaku masih belum menentukan pilihan (swing voter), akan menjadikan debat capres untuk menilai seberapa bagus kedua pasang calon mempresentasikan program-program yang diusung.

Khusus untuk debat capres kelima, sebagai pemilih muda, Nadia ingin melihat kedua pasang calon bertarung gagasan di sektor ekonomi.

"Ya, kalau ekonomi kan sangat menyangkut orang-orang muda kayak saya. Terutama sih pengen lihat program nyata atau jawaban mereka perihal lapangan kerja," kata perempuan lulusan Universitas Indonesia ini.

Alasan lain untuk mengikuti debat capres-cawapres diajukan Ayu. Perempuan yang sekarang berdomisili di Sragen ini berharap dapat melihat kedua pasang kontestan adu retorika dengan menyertakan data-data pendukung yang kuat.

Sebagai perempuan masa kini yang sulit dipisahkan dari internet, Ayu dapat dengan mudah melihat sajian-sajian cek fakta yang disajikan berbagai situs terkemuka perihal pernyataan-pernyataan kedua pasang calon. Berangkat dari kegiatan cek fakta tersebut, Ayu dapat mengetahui calon mana yang lebih banyak keliru saat berargumen atau menyerang lawannya.


Tidak tertarik

Jika ada sebagian pihak yang menggemari tayangan debat capres, tentu saja ada pula pihak-pihak sebaliknya. Berbagai alasan menjadi alasan mereka untuk urung mengikuti tayangan adu gagasan ini.

"Tidak ada waktu. Mending dagang aja, Mas," kata Ahmad, seorang pedagang tahu sumedang, saat ditanyai apakah dirinya mengikuti tayangan debat capres.

Bagi pemuda yang dipastikan tidak memberi suara saat pemilu serentak 17 April mendatang karena harus pulang kampung ke Garut ini, menyaksikan debat capres merupakan kegiatan yang kurang berfaedah.

Ahmad mengaku kurang mendapat informasi untuk bisa mencoblos di luar daerah domisilinya. Sehingga kecuali ia pulang kampung saat pemilu berlangsung, suara Ahmad telah hangus.

Sosok lain yang tidak mengikuti kegiatan debat capres adalah pengendara ojek online bernama Andri. Serupa dengan Ahmad, Andre lebih memilih bekerja ketimbang menyaksikan debat di televisi.

Walau demikian, Andre memiliki opini menarik perihal pelaksanaan debat. Menurut Andre, debat capres tidak akan mempengaruhi pilihan seseorang.

"Gak ngaruh itu mah. Ada atau gak ada (debat capres) yang fanatik sama 01 pasti pilih 01, yang fanatik sama 02 pasti pilih 02," tuturnya.

Deden, Daulat, Nadia, Ayu, Ahmad, dan Andre memiliki pandangan yang beragam dalam menyongsong pagelaran debat capres kelima Sabtu besok. Namun, satu hal sederhana menjadi harapan mereka setelah berlangsungnya debat dan pelaksanaan pemilu, yakni agar nuansa perpecahan yang begitu kental terasa dapat segera sirna.

Pemilihan Presiden 2019 diikuti oleh dua pasang calon. Pasangan calon presiden dan wakil presiden nomor urut 01, Joko Widodo dan Ma'ruf Amin serta pasangan calon presiden dan wakil presiden nomor urut 02, Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno.

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2019