Riyadh (ANTARA News) - Konferensi Tingkat Tinggi III Organisasi Negara Pengekspor Minyak (OPEC) dibuka di Riyadh, kemarin yang dihadiri para pemimpin dan wakil dari ke-12 negara anggotanya termasuk Wapres Jusuf Kalla. Tidak terlihat penjagaan ketat atau kesibukan luar biasa di kota berpenduduk sekitar 4,8 juta jiwa itu, hanya tampak bendera- negara-negara peserta yang dipasang di beberapa ruas jalan, sementara sejumlah jalan masuk menuju tempat pertemuan di ruang sidang King Abdul Aziz diblokir oleh aparat keamanan. Sebagian wartawan meliput dari Hotel Mariott, karena tidak seluruhnya mendapatkan izin untuk mengikuti langsung jalannya KTT. Sejumlah pengamat menilai, pertemuan puncak OPEC kali ini lebih bersifat politis, bukan pertemuan teknis yang bisa diharapkan menelurkan keputusan mengenai pagu produksi yang diharapkan banyak pihak sebelumnya, namun demikian, berkumpulnya para petinggi OPEC ini paling tidak diharapkan akan menghasilkan keputusan strategis. Dari simposium tingkat menteri yang mengawali KTT III ini, paling tidak muncul kesadaran baru untuk menggalang kerjasama global yang akan mengakomodasikan kepentingan produsen, OPEC dan non-OPEC, maupun kepentingan negara konsumen minyak bumi. Para pemimpin OPEC, kerena perbedaan kepentingan nasionalnya masing-masing, tampaknya memang sulit untuk menyepakati tingkat harga minyak yang diinginkan seluruh negara anggotanya. Indonesia, misalnya, negara produsen yang sudah bergeser menjadi "net-importer" minyak, berada dalam dilema, karena di satu sisi mendapatkan rezeki dari ekspor minyak mentahnya, namun disisi lain harus merogoh lebih dalam "kocek" anggarannya untuk mengimpor produk BBM. Negara-negara produsen "kelas atas" OPEC seperti Arab Saudi, Kuwait dan Uni Arab Emirat menganggap bahwa harga saat ini terlalu tinggi, sementara negara-negara anggota lainnya yang cadangan minyaknya tidak terlalu besar, merasa nyaman dengan tingkat harga saat ini. Harga minyak bumi mencapai rekornya sejak beberapa bulan terakhir ini yakni mendekati batas psikologis pada kisaran 100 dolar AS. Para menteri OPEC semula sepakat bahwa kenaikan pagu produkjsi baru akan dibahas dalam pertemuan OPEC di Abu Dhabi, 5 Desember, namun kontroversi muncul kembali ditengah pertemuan menteri menjelang KTT III OPEC, bahkan sebagian dari peserta malah mempertanyakan perlunya kenaikan produksi. Sejumlah faktor dituding sebagai biang keladi yang memberikan andil membubungnya harga minyak seperti kekhawatiran anjloknya stok menjelang musim dingin, spekulasi di dalam kegiatan investasi pendanaan, masalah geopolitik termasuk ancaman embargo terhadap Iran dan sengketa Turki dan Irak mengenai Suku Kurdi dan anjloknya nilai dolar AS. Meningkatnya permintaan minyak akibat pesatnya pertumbuhan industri di China dan India diperkirakan juga menjadi salah satu faktor yang memberikan andil untuk mendorong naiknya harga minyak. Mengenai kecenderungan arah harga minyak di masa-masa mendatang juga sukar diramalkan, misalnya seperti yang dikemukakan oleh mantan Menteri Pertambangan, Dr. Subroto. Ia memperkirakan harga minyak akan tetap "bertengger" tinggi sampai cadangan minyak yang ditemukan di ladang-ladang baru tiga atau empat tahun lalu akan membuahkan hasil sekitar 2015. Subroto menilai, harga minyak yang terlalu tinggi, dalam jangka panjang tidak menguntungkan semua pihak sehingga selayaknya tidak dipertahankan karena berdampak negatif bagi pertumbuhan perekonomian dunia. Menyinggung masalah lingkungan, KTT kali ini mengetengahkan teknologi penangkapan dan penyimpanan carbon (Carbon Capture and Storage - CCS) yang dianggap sebagai solusi dalam upaya menekan emisi karbon dioksida. Menteri Energi Alzazair Chakib Khelil yang juga menjadi prakarsa pada simposium tingkat menteri OPEC kali ini menyebutkan bahwa pemanfaatan teknologi CCS untuk menekan dampak kegiatan industri minyak fosil terhadap perubahan klima diharapkan akan dituangkan dalam draft deklarasi KTT III OPEC.(*)

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2007