Standar akuntansi yang baru ini diterbitkan oleh Dewan Standar Akuntansi Keuangan (DSAK) dengan mengadopsi International Financial Reporting Standards (IFRS) 9, 15 dan 16 yang dikeluarkan oleh International Accounting Standard Board (IASB).
Jakarta (ANTARA) - Emiten Indonesia harus bersiap untuk mulai menerapkan standar akuntansi baru pada 1 Januari 2020, sehingga  mereka diharapkan mulai melakukan mitigasi risiko terhadap potensi masalah yang ditimbulkan selama proses penyesuaian.

Standar akuntansi yang baru ini diterbitkan oleh Dewan Standar Akuntansi Keuangan (DSAK) dengan mengadopsi International Financial Reporting Standards (IFRS) 9, 15 dan 16 yang dikeluarkan oleh International Accounting Standard Board (IASB).

“IFRS 9 awalnya muncul karena desakan krisis keuangan global pada 2008. Saat itu, dugaan krisis terjadi karena instrumen keuangan yang dicadangkan untuk ketertagihan terlalu sedikit dan sudah terlambat. Akibatnya, tidak ada sinyal dari pasar bahwa tagihan itu tidak collectable atau tertagih dari awal,” ujar Ketua Dewan Standar Akuntansi Keuangan Ikatan Akuntan Indonesia Djohan Pinnarwan dalam keterangan resminya di Jakarta, Jumat.

Menurut Djohan, di pasar global, IFRS yang baru ini sudah mulai diterapkan, masing-masing mulai 1 Januari 2018 untuk IFRS 15 dan 9, serta 1 Januari 2019 untuk IFRS 16. Di Indonesia, DSAK membolehkan emiten yang ingin lebih dulu menerapkannya.

Emiten Indonesia yang tercatat di dua bursa, PT Telkom Indonesia Tbk (Persero) dengan kode saham TLKM (Telkom)  yang tercatat di Bursa Efek Indonesia dan New York Stock Exchange, sudah mulai menerapkan standar baru ini.

Dalam sebuah diskusi bertajuk “Menuju Pedoman Standar Akuntansi Keuangan Baru 71, 72, dan 73” dibahas tiga perubahan PSAK tersebut yaitu PSAK 71 mengenai instrumen keuangan, yang akan menggantikan PSAK 50, 55, dan 60; PSAK 72 mengenai pendapatan kontrak dengan pelanggan yang akan menggantikan PSAK 23 dan 34; serta perubahan PSAK 73 mengenai sewa untuk menggantikan PSAK 30.

Dampak penerapan PSAK 71 akan berkaitan erat dengan instrumen keuangan yang berdampak besar pada industri keuangan.

Begitu juga dengan PSAK 55 yang berlaku saat ini, yaitu cadangan akan diadakan apabila ada kerugian yang timbul dari suatu kejadian atau incurred loss. Jika tidak ada kejadian, tidak dicadangkan.

Sementara itu perubahan di PSAK 71, berlandaskan pada kerugian yang diprediksi atau expected loss. Dengan begitu, standar ini memitigasi risiko kerugian perusahaan akibat kurangnya cadangan keuangan.

“Dalam PSAK 71, begitu perusahaan meminjamkan uang, itu sudah harus mulai dicadangkan karena tidak 100 persen bisa tertagih sehingga perubahan dari PSAK 55 ke PSAK 71, pencadangan akan lebih besar dengan maksimum 30 persen dari besaran cadangan,” tutur dia.

Masalahnya, kata Djohan, penerapan PSAK 71 tidak hanya mengacu pada data historis. Namun harus melihat kemungkinan yang terjadi ke depan termasuk berapa pencadangan kerugian yang perlu disiapkan.

“Inilah yang butuh usaha signifikan dari perbankan dan industri keuangan lain untuk melihat kemungkinan ke depan,” katanya.

Selanjutnya, untuk PSAK 72, apabila infrastruktur tidak disiapkan dari sekarang, kemungkinan besar tsunami akan berdampak di perusahaan yang menjual produk perumahan.

Ia mencontohkan, saat ini masih ada perusahaan properti yang masih dapat menjual unit perumahan sebelum membangun konstruksi. Namun, dengan standar baru, ini tidak dapat dilakukan lagi,” ujarnya.

Dengan standar akutansi yang baru, apabila tadinya perusahaan dapat mengakui pendapatan sebelum adanya konstruksi, ke depan, pendapatan hanya bisa diakui ketika serah terima saat perumahan telah selesai dibangun.

Pewarta: Aji Cakti
Editor: Nusarina Yuliastuti
Copyright © ANTARA 2019