Jakarta (ANTARA News) - Penguasa era Orde Baru, Jenderal Besar Soeharto kini berbaring tak berdaya di Rumah Sakit Pusat Pertamina (RSPP), Jakarta Selatan, sejak hari Jumat, 4 Januari 2008. Selama masa kepemimpinannya mulai tahun 1966 hingga 21 Mei 1998 pasti menimbulkan berbagai kenangan kepada banyak orang di tanah air, baik yang positif maupun negatif. Kenangan itu akan banyak bergantung bagaimana posisi orang yang memiliki kenangan itu. Orang-orang yang bisa menikmati hal positif baik di bidang politik karena mendapatkan posisi yang "menguntungkan" pasti akan memuji mantan Panglima Kostrad itu. Namun di lain pihak, warga yang merasa "disakiti" hatinya oleh suami almarhumah Ibu Tien mungkin akan berdoa supaya mantan presiden RI yang kedua itu cepat-cepat diseret ke pengadilan, baik perdata maupun pidana, untuk "mempertanggungjawabkan" perbuatannya yang "menyakitkan hatinya". Orang-orang merasa kehilangan sanak saudaranya akibat pemberontakan G-30S/PKI pada tahun 1965 mungkin akan merasa senang jika Soeharto "cepat dipanggil" oleh Allah SWT, karena menuduh Soeharto telah memerintahkan tentara atau polisi "membunuh" keluarga mereka karena diduga terlibat dalam pemberontakan yang dilancarkan PKI yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Untung. Sementara itu, banyak pula tokoh masyarakat, terutama di bidang politik, yang merasa "dendam" kepada Soeharto karena telah meluncurkan program penyederhanaan partai politik, sehingga jumlah parpol telah menciut dari 10 menjadi hanya tiga saja, yakni Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Demokrasi Indonesia atau PDI, serta "Partai" Golongan Karya yang awalnya bernama Sekretariat Bersama (Sekber) Golkar. Namun di lain pihak, banyak pula warga masyarakat yang merasa beruntung, terutama dari kalangan biasa seperti petani, karena pemerintahan Orde Baru telah membuat berbagai program untuk meningkatkan produksi pangan seperti beras dan kacang kedele, sehingga Indonesia pernah diberikan penghargaan oleh Organisasi Pangan Dunia (FAO) berkat keberhasilannya mewujudkan swasembada beras. Karena itu, Soeharto di satu pihak, dengan segala keterbatasan serta kekurangan dan kelebihannya, mendapat pujian, dan di lain pihak mendapat caci- maki dari berbagai pihak yang merasa dirugikan akibat kebijakannya di berbagai bidang kehidupan mulai dari politik, ekonomi, sosial budaya hingga pertahanan keamanan. Setelah sukses melakukan penyederhanaan partai politik, maka mulai tahun 1994-1995 kemudian muncul ide dari sejumlah tokoh masyarakat untuk mendirikan lagi parpol-parpol yang hilang dari kancah perpolitikan dalam negeri. Tentu keinginan itu ditentang atau ditolak mentah-mentah oleh penguasa Orba, termasuk Soeharto sendiri. Namun yang menjadi masalah adalah bagaimana mengetahui sikap sesungguhnya dari presiden saat itu, yakni apakah tetap menolak mentah-mentah atau menyetujuinya dengan syarat-syarat tertentu. Karena itu, kemudian banyak tokoh politik "minta" bantuan wartawan yang sehari-hari meliput acara kepresidenan di Bina Graha serta Istana Merdeka dan Istana Negara, tempat Soeharto sehari-hari bekerja, untuk mencari keterangan dari tangan pertama yang sekarang istilah kerennya adalah minta "klarifikasi". Akhirnya seperti peribahasa "bagaikan pucuk dicinta, ulam tiba" kesempatan itu datang juga, saat Soeharto akan pulang ke tanah air setelah pertemuan internasional di Osaka, Jepang, sekitar tahun 1995-1996. Seperti biasanya, beberapa jam menjelang pesawat Garuda Indonesia mendarat di tanah air, sang Kepala Negara ini memberi kesempatan kepada para "nyamuk pers" atau sekarang yang disebut "kuli disket" untuk menanyakan hasil lawatannya itu. Namun yang menjadi masalah adalah wartawan mana yang harus menanyakan masalah politik yang sangat aktual itu kepada Soeharto yang disebut-sebut banyak pihak sebagai orang yang "gampang marah" dan bisa bertindak apa pun juga" terhadap siapa saja. Di kalangan wartawan kepresidenan, sambil berguyon, para pencari berita ini dibagi ke dalam dua kelompok, yakni "wartawan pemerintah " yang mencakup LKBN ANTARA, RRI serta TVRI dan kelompok kedua adalah "wartawan swasta" seperti surat kabar serta majalah swasta. Yang paling bersemangat untuk bertanya adalah para "wartawan swasta". Namun ternyata mereka "takut" untuk bertanya, karena khawatir akan "diomeli" atau dimarahi dalam berbagai bentuk pembalasan. Akhirnya kesempatan yang dinanti-nantikan datang juga yakni ketika para staf kepresidenan menyuruh wartawan untuk maju ke dekat Soeharto untuk mengikuti keterangan tentang hasil pertemuan itu. Setelah Presiden memberikan keterangan, akhirnya dia bertanya "Apa ada yang mau bertanya". Puluhan wartawan yang sehari-hari meliput acara kepresidenan menjadi terdiam dan saling memandang satu dengan yang lainnya. Akhirnya untuk memecah suasana hening itu, ANTARA mengacungkan tangan sebagai tanda mau bertanya. "Pak, sekarang di tanah air muncul berbagai partai politik baru. Bagaimana sikap Bapak terhadap masalah itu," tanya ANTARA yang ditunjuk sebagai juru bicara para wartawan yang ada di pesawat Garuda Indonesia itu. Jika biasanya Soeharto langsung memberikan jawaban, namun ternyata kali ini dia diam untuk sejenak. "Ini tidak berkaitan dengan perjalanan saya," kata jenderal berbintang empat tersebut yang akhirnya memberi pangkat bintang lima kepada dirinya sendiri, selain untuk Jenderal Besar TNI Sudirman (almarhum) dan Jenderal Besar TNI AH Nasution (almarhum). Kemudian, sang penguasa ini memberikan komentarnya dan akhirnya para wartawan kembali ke kursi masing-masing dengan rasa puas karena hal yang dinanti-nanti akhirnya didapat juga. Akan tetapi, beberapa menit kemudian, Soeharto memanggil Mensesneg Moerdiono dan bertanya "Wartawan dari mana sih yang bertanya masalah parpol itu". Moerdiono yang telah puluhan tahun menjadi pembantu terdekat Soeharto pun menjadi kaget mendapat pertanyaan yang tidak lazim itu. Namun akhirnya Moerdiono dengan tangkas memberikan jawaban yang sangat singkat "Dia (wartawan ANTARA) orang kita". Nampaknya Soeharto cukup puas dengan jawaban tersebut dan syukur sampai Soeharto lengser tanggal 21 Mei 1998, ANTARA tidak terkena "tindakan" apa pun juga. Bahkan keterangan Soeharto mengenai parpol-parpol baru itu keesokan harinya menjadi berita utama atau headline di berbagai surat kabar di tanah air. Ternyata Soeharto pun adalah manusia biasa yang tidak murka terhadap pertanyaan yang "aneh-aneh" itu. Off the record Salah satu kebiasaan Soeharto adalah para hari Minggu atau hari libur mengajak tamu-tamunya untuk datang ke Tapos yang terletak di Bogor, untuk memperlihatkan peternakan sapi dan kambingnya. Di Tapos, sang presiden kedua ini bisa berbicara apa saja, mulai dari masalah yang ringan seperti persoalan sosial budaya hingga yang berat, seperti masalah pertahanan dan politik. "Ada wartawan enggak?" tanya Soeharto jika ingin bercerita tentang masalah peka atau rawan misalnya hubungan militer dengan negara-negara lain atau politik. Seorang staf bagian Dokumentasi dan Media Massa (Doksa) Sekretariat Negara yang telah puluhan tahun ikut Soeharto biasanya dari belakang menyahut" Hanya ada ANTARA, RRI dan TVRI". Jika tamu itu biasanya dari ABRI --sekarang TNI-- yang datang, maka biasanya Sekneg hanya mengajak tiga media untuk menghindarkan bocornya omongan sang penguasa ini. Pada setiap kunjungan ke Tapos atau kemana pun juga, seluruh pidato Soeharto direkam untuk menjadi bahan dokumentasi baik audio maupun visual. Akan tetapi, pada satu kali Soeharto berbicara tentang keputusannya untuk menarik sebuah buku yang mulai beredar dalam masyarakat karena dianggap "melawan dirinya". Saat di Tapos itu, kepala negara sudah mengatakan bahwa keterangannya tentang rencana untuk melarang buku itu adalah off the record alias tidak untuk disiarkan. Akan tetapi setelah acara itu selesai, rekaman itu "diminta" oleh seorang wartawan "swasta" untuk ditranskip dan dijadikan berita. Keterangan ini akhirnya menjadi berita utama dan dibicarakan banyak orang. Soeharto pun menjadi murka karena keterangannya yang seharusnya "dirahasiakan" itu menjadi bocor serta menjadi bahan bacaan publik. Akhirnya pembantu presiden itu yang biasa menangani para wartawan secara pribadi menemui Soeharto untuk minta maaf karena bocornya rahasia tersebut. Soeharto pun memaafkan dan wartawan yang membuat berita off the record itu tidak dihukum atau ditindak sedikitpun. Makan tiwul Pada tahun-tahun awal dasawarsa 1990-an, di berbagai daerah muncul kasus kelaparan akibat kemarau panjang. Akibatnya, di berbagai daerah seperti Irian Jaya terjadi kelaparan sehingga mengundang keprihatinan Soeharto. Kemudian ia melalui para menteri dan pejabat tinggi mengajak masyarakat untuk melakukan penganekaragaman atau diversifikasi makanan sehingga tidak hanya beras yang menjadi sumber utama makanan sehari-hari, tapi juga yang lain seperti jagung, singkong atau ubi. Pada satu hari, sang pemimpin ini memanggil sejumlah menteri datang ke rumahnya di Jalan Cendana Nomor 6 dan 8 guna membahas program diversifikasi itu. Tiba-tiba para wartawan yang sedang duduk-duduk di ruang wartawan atau press room dipanggil masuk ke dalam. Tidak ada satu pun wartawan yang mengetahui mengapa mereka harus masuk ke dalam. Di ruangan itu sudah ada Soeharto dan begitu melihat para wartawan dan berkata "Ayo makan tiwul. Jangan malu-malu". Para wartawan terkaget-kaget mendapat undangan makan tiwul yang diolah dari singkong ala Jawa itu. Di ruangan yang lega itu, para wartawan pun menikmati tiwul bersama sang penguasa yang sering disebut-sebut sebagai penguasa "bertangan besi" bersama para menterinya. Dalam satu kunjungan ke Tapos, kemudian presiden kedua ini melanjutkan perjalanannya ke sebuah kebun bunga. Sebagai orang yang berasal dari keluarga tani, Soeharto sangat menikmati suasana alam tersebut, apalagi salah satu dambaannya adalah meningkatkan produksi pangan sehingga kesejahteraan puluhan juta petani bisa terangkat atau membaik karena petani termasuk kelompok paling miskin di tanah air. Sambil makan jagung rebus, Soeharto memanggil para wartawan yang ikut dalam rombongannya. Akhirnya terjadi pembicaraan santai atau ringan antara sang presiden dengan para kuli tinta ini. Dalam suasana tidak resmi atau informal, Soeharto biasanya menunjukkan sikapnya sebagai orang biasa yang mau diajak bercanda atau bersenda gurau. Tentu siapa pun juga boleh benci kepada dia terutama bila kebijakan atau tindakan presiden itu tidak berkenan atau bertentangan dengan maksud dan tujuan mereka. Namun betapapun bencinya segelintir orang, pasti ada juga jutaan atau belasan juta bahkan puluhan juta jiwa yang merasa dibantu mulai dari petani yang menikmati harga eceran gabah hingga para siswa yang jumlahnya ratusan ribu orang yang bisa sekolah hingga kuliah. Mereka mendapat beasiswa melalui berbagai program yang digagas oleh sang kepala negara itu, yang lahir 8 Juni tahun 1921 di Desa Kemusuk. Namun persoalannya kini adalah siapa pun juga satu saat akan dipanggil Tuhan YME, termasuk Soeharto yang kini terbaring di rumah sakit, dan apakah warga negara Indonesia mau atau tidak memaafkan Soeharto dengan segala kelebihan dan kelemahan dan kekurangannya?. (*)

Oleh Oleh Arnaz Ferial Firman
Copyright © ANTARA 2008