Pontianak (ANTARA News) - Ketua Umum Pengurus Besar (PB) Nahdlatul Ulama (NU), KH Achmad Hasyim Muzadi meminta bangsa Indonesia tidak larut dalam dendam terhadap Soeharto dan melakukan pendekatan moral dengan ikhlas untuk memaafkan mantan presiden selama 32 tahun itu. "Kalau masalah beliau selalu digulirkan, dikhawatirkan akan memicu keributan sesama anak bangsa seperti yang terjadi di Pakistan. Akan muncul dendam keturunan," kata Hasyim Muzadi usai membuka peringatan Bulan Hari Lahir (Harlah) ke-82 NU di Pontianak, Selasa. Ia mencontohkan Nelson Mandela yang langsung memaafkan para pelaku apartheid di Afrika Selatan yang memenjarakannya selama 27 tahun. Saat ini, lanjutnya, Afrika Selatan relatif tidak ada gejolak. Ia mengakui bahwa setiap orang harus sama di hadapan hukum. "Tetapi kondisi Pak Harto (Soeharto-red) sakit dan sulit untuk dihadirkan ke pengadilan. Ini juga diatur oleh hukum," katanya. Menurut dia, sikap memaafkan secara tidak langsung juga telah mengakui bahwa Soeharto memang telah bersalah. Hasyim menilai, kasus yayasan yang kini diadili melalui peradilan perdata hanyalah masalah kecil dibanding jasa Soeharto selama memimpin. "Kalau pun beliau mangkat, secara agama ahli waris wajib untuk menyelesaikan utang-utangnya. Kalau tidak, amalannya akan `bergantung`," kata Hasyim Muzadi. Sedangkan Presiden dapat mengambil langkah hukum dengan men-deponir mengenyampingkan) kasus yang melibatkan Soeharto. H.M. Soeharto berurusan dengan hukum menyusul keluarnya Tap MPR Nomor XI Tahun 1998 tentang penuntasan dugaan korupsi yang dilakukan Soeharto dan kroni-kroninya. Dua tahun kemudian, H.M. Soeharto diajukan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Saat itu, Jaksa Penuntut Umum Muchtar Arifin mendakwa penguasa Orde Baru itu telah melakukan korupsi dana yayasan dan merugikan negara triliunan rupiah. Perkaranya sendiri kemudian diregister dengan nomor 842/Pid.P/2000/PN Jaksel. (*)

Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2008