Nanti ada panitia di pusat. Kami akan memberi masukan-masukan agar beliau bisa ditetapkan sebagai pahlawan nasional
Palu (ANTARA) - Habib Sayyid Idrus bin Salim Aljufri (Guru Tua), ulama besar yang menghibahkan perjalanan hidupnya untuk kepentingan masa depan pembangunan bangsa di bidang pendidikan dan dakwah Islam, di Tanah Air.

Pada 1925, saat berusia 36 tahun, Sayyid Idrus tiba di Batavia. Dari Batavia ia pindah ke Pekalongan, kemudian ke Jombang selama dua tahun. Di tempat itu, ia  bertemu dengan pimpinan Pondok Pesantren Tebu Ireng dan pendiri Nahdlatul Ulama K.H. Hasjim Asy'ari dan kiai-kiai lainnya.

Kemudian ia berpindah ke Solo. Atas permintaan para alawiyin di Solo, Guru Tua diangkat menjadi Kepala Madrasah Rabitha Al-alawiyah yang sekarang telah berubah nama menjadi Yayasan Pendidikan Islam Diponegoro Surakarta.

Sayyid idrus kemudian mendapatkan saran dari para habaib dan ulama di Jawa untuk mengembangkan pendidikan ke Pulau Sulawesi dan bagian timur Indonesia yang masih membutuhkan. Berangkat dari saran dan isyarat itu, Guru Tua menuju bagian timur Indonesia.

Dari Jawa, ia singgah ke Maluku dan kemudian ke Sulawesi Utara, berlanjut ke Wani dan Donggala, Sulawesi Tengah. Kedatangan Guru Tua disambut hangat tokoh-tokoh masyarakat dan orang-orang terpandang. Keinginannya mendirikan madrasah disambut antusias. Dengan dipelopori Mahmud Alrifa’i, segala sesuatu telah disiapkan.

Namun, saat itu rombongan Abdurrahman Bin Syech Aljufri beserta beberapa tokoh masyarakat lainnya menjumpai Guru Tua. Mereka memohon dan mendesak agar pembukaan madrasah dialihkan ke Kota Palu. Perpindahan ke Kota Palu pun mendapat sambutan baik dari Raja Palu.

Selain itu, menurut Raja Palu, proses pendirian madrasah di Palu telah mendapat izin dari Pemerintah Hindia Belanda.

Setelah mendapat persetujuan dari semua pihak, maka dipindahkanlah semua bangku-bangku kebutuhan madrasah dan muridnya ke Palu. Ruangan belajar yang pertama kali digunakan Guru Tua adalah ruangan Toko H. Quraisy di Kampung Ujuna Palu, kemudian pindah ke rumah Daeng Marotja.

Pada 14 Muharram 1349 H atau 30 Juni 1930, dibukalah dengan resmi Madrasah Alkhairaat. Peresmian dihadiri wakil Pemerintah Belanda, Raja Palu Djanggola, tokoh-tokoh agama, tokoh masyarakat, dan masyarakat sekitar Kota Palu. Perjuangan Alkhairaat terhitung dimulai sejak 1928.

Sejarah mencatat antusias masyarakat lembah Palu akan pentingnya pendidikan keagamaan. Alkhairaat kemudian menjadi cahaya yang terang menderang menyinari warga Kota Palu dan sekitarnya, mengikis kepercayaan tradisional dinamisme (mistik) dan animisme. Hari demi hari pun berlalu, nama Alkhairaat begitu cepat tersebar luas. Sejak enam bulan berdiri, Madrasah Alkhairaat saat itu tak lagi bisa menampung seluruh pelajar sehingga akhirnya Guru Tua membangun kelas yang mampu menampung 200 pelajar dari kantongnya sendiri.

Dalam masa perjuangan dakwahnya, Guru Tua telah berhasil membangun 420 madrasah yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia bagian timur, Sulawesi, Maluku, Kalimantan, dan Papua. Semuanya adalah saksi nyata akan dakwah dia yang tak mengenal lelah, yang kini telah mencapai lebih dari 1.700 madrasah.

Alkhairaat memiliki jenjang pendidikan mulai dari tingkat Pendidikan Anak Usia Dini hingga SLTA tersebar di seluruh Indonesia, utamanya di kawasan timur. Selain itu, Alkhairaat juga memiliki perguruan tinggi yang bernama Universitas Alkhairaat di Kota Palu.

                                                                              Menerima Pancasila
Pemahaman Guru Tua tentang Pancasila dengan latar belakang sikap nasionalisme terhadap bangsa Indonesia. Di Indonesia ada dua corak nasionalis, yaitu nasionalis sekuler dan religius (agama). Sayyid Idrus memiliki corak nasionalis-religius. Dia adalah seorang Sunni tradisional, tetapi progresif dalam merespons problematika sosial, politik, keagamaan, dan kebangsaan.

Guru Tua memahami Islam di Indonesia telah berakulturasi dengan budaya Indonesia. Guru Tua pula memahami bahwa nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila merupakan intisari nilai yang terdapat dalam suku, budaya, golongan, ras, bahkan semua agama di Indonesia.

Dengan kata lain, Pancasila telah mewakili nilai-nilai agama, budaya, golongan di Indonesia sehingga jika ada yang menolak Pancasila, hal itu sama artinya menolak kemajemukan masyarakat Indonesia. Pada akhirnya, Sayyid Idrus berkesimpulan bahwa Pancasila harga mati yang harus dipertahankan.

Semangat juang Guru Tua untuk menentang imperialisme, telah terpupuk kuat sejak ia di Hadramaut melawan kolonial Inggris. Masuknya Guru Tua ke Sulawesi Tengah, daerah ini telah mengalami empat rezim, yaitu Belanda, Jepang, Sekutu, dan Pemerintah Indonesia. Tiga rezim imperialisme ini tidak hanya menjajah secara fisik, tetapi juga merusak mental dan moral masyarakat secara keseluruhan.

Melihat kezaliman tiga imperialisme terhadap umat Islam dan Bangsa Indonesia, Guru Tua kemudian mendirikan Madrasah Alkhairaat pada 1930, setelah menyadari bahwa kebodohan menyebabkan bangsa ini ditindas oleh penjajah.

Sejak itu pula, perlawanan Guru Tua terhadap penjajah lebih nyata dan konkret. Alkhairaat dijadikan basis perlawanan intelektual, basis perjuangan kemerdekaan terhadap Belanda dan Jepang. Pada puncaknya, kegembiraan yang dinanti Bangsa Indonesia dari Sabang sampai Merauke terjadi pada Jumat, 9 Ramadhan  atau 17 Agustus 1945.

Demikian pula halnya yang dirasakan Sayyid Idrus bin Salim Aljufri. Kegembiraan yang sangat, kebanggaan kepada Sang Saka Merah Putih, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia, Guru Tua abadikan dalam gubahan syairnya. Syair itu telah banyak beredar di media sosial. yang artinya, "Bendera kemuliaan berkibar di angkasa, hijau daratan dan gunung-gunungnya, Sungguh hari kebangkitannya ialah hari kebanggaan, orang-orang tua dan anak-anak memuliakannya, Tiap tahun hari itu menjadi peringatan muncul rasa syukur dan pujian-pujian padanya, Tiap bangsa memiliki simbol kemuliaan dan simbol kemuliaan kami adalah Merah dan Putih".

                                                                     Mendorong
Atas perjuangan Guru Tua dan eksistensi serta peran Alkhairaat yang hingga kini masih aktif, berbagai pihak mulai dari organisasi masyarakat, organisasi keagamaan, pemerintah daerah, setuju dan mendorong Guru Tua untuk ditetapkan oleh negara sebagai pahlawan nasional.

Puluhan ribu umat Islam mengucapkan takbir "Allahu Akbar", berselawat, bergembira dalam Haul Ke-51 Guru Tua, Sabtu (15/6), saat pendiri Alkhairaat itu dinyatakan oleh Calon Wakil Presiden RI dari pasangan nomor urut 01, K.H. Ma'ruf Amin akan diperjuangan sebagai pahlawan nasional. Ma'ruf Amin ikut mendorong Guru Tua menjadi pahlawan nasional.

"Beliau pantas diberi gelar pahlawan nasional. Nanti ada panitia di pusat. Kami akan memberi masukan-masukan agar beliau bisa ditetapkan sebagai pahlawan nasional," katanya.

Dorongan juga di sampaikan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan.

"Guru Tua ini satu figur yang di masa awal kemerdekaan, menjadi penentu posisi Sulawesi di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia," ucapnya di Palu, Jumat (14/6) malam.

Mantan Menteri Pendidikan RI itu, menyebut, Guru Tua berjuang di mana saat itu kondisi negara masih minim informasi, termasuk informasi tentang kemerdekaan.

Posisi dan sikap Guru Tua saat itu, katanya, menentukan terhadap NKRI yang waktu itu baru saja merdeka.

"Posisi dan sikap Guru Tua saat itu memiliki dampak yang sangat besar, terjadinya Indonesia seperti saat ini," kata Anies.

Selanjutnya, kata dia, sepanjang hidupnya, Guru Tua menghibahkan hidupnya untuk memajukan kegiatan dakwah dan pendidikan di kawasan timur Indonesia.

"Ratusan madrasah didirikan sepanjang hidupnya yang tersebar di kawasan timur Indonesia," ujar mantan Rektor Universitas Paramadina itu.

Gubernur Sulteng Longki Djanggola juga mendukung penuh usulan Guru Tua menjadi pahlawan nasional.

"Saya harap semua kelengkapan data, dokumentasi, dan rekam jejak Guru Tua telah dipersiapkan dengan baik dan lengkap," ucapnya.

Ia juga berharap para tokoh nasional mendorong usulan Guru Tua sebagai pahlawan nasional.

Sekretaris Daerah Pemprov Sulteng Hidayat Lamakarate turut serta akan memperjuangkan Guru Tua sebagai pahlawan nasional.

"Saya melibatkan para pihak, termasuk di pemerintahan pusat tentu, untuk mendorong dan memperjuangkan Guru Tua sebagai pahlawan nasional," ucap dia.

Guru Tua pernah mendapat penghargaan Bintang Maha Putera dari negara atas perjuangan dan pengabdiannya terhadap bangsa dan negara.

"Nah, apakah ada peluang setelah mendapat penghargaan Bintang Maha Putera itu? atau ada hal-hal yang harus ditambahkan atau dilengkapi untuk memenuhi syarat sebagai pahlawan nasional," ujarnya.

Hidayat mengatakan akan mencari semua berkas tersebut. Jika semua dokumen telah ia temukan, akan diserahkan kepada Kementerian Sosial.

Gubernur Maluku Utara Gani Kasuba turut serta mendukung usulan itu dan akan bekerja sama dengan Pemprov Sulteng untuk mendorong Guru Tua sebagai pahlawan nasional.

Atas dorongan dari berbagai pihak tersebut, kini umat Islam, masyarakat di kawasan timur Indonesia, Abnaulkhairaat yang tersebar di pelosok Indonesia, menanti kebijakan pemerintah pusat menetapkan atau memberikan gelar pahlawan nasional kepada pendiri Alkhairaat, Guru Tua.

Baca juga: MUI dorong penetapan Guru Tua sebagai pahlawan nasional
Baca juga: Gubernur : haul Guru Tua pemersatu umat Islam di Indonesia
Baca juga: Ribuan warga muslim hadiri haul Guru Tua di Palu


 

Editor: M. Hari Atmoko
Copyright © ANTARA 2019