Jakarta (ANTARA) - Bulan lalu, 5 Mei 2019, tepat lima tahun usia pesawat Kepresidenan Republik Indonesia. Pesawat Boeing jenis Business Jet 2 (BBJ2) --dengan nama panggil Indonesia One dan kode registrasi RI-001-- ini, terbang perdana pada 5 Mei 2014, membawa Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono ke acara Open Government Partnership (OGP) Asia-Pasifik di Denpasar, Bali.

Pesawat resmi Kepresidenan RI --pertama dimiliki Indonesia sejak merdeka-- tiba di Pangkalan Udara TNI AU Halim Perdanakusuma, Jakarta, dari Amerika Serikat, Kamis (10/4/2014).

Sebulan kemudian baru dapat dioperasikan karena menunggu sertifikasi dari Kementerian Pertahanan. Setelah itu, Kemensesneg menyerahkan pesawat kepada TNI Angkatan Udara sebagai pihak yang mengoperasikan. Di TNI AU pesawat terbang kepresidenan ini ada di bawah Skuadron Udara 17 VVIP.

Pesawat Boeing seri 737-800 memiliki rentang sayap 35,79 meter, tinggi 12,50 meter, dan panjang 38 meter. Menggunakan dua mesin CFM 56-7.

Pesawat ini memuat 67 penumpang, yang antara lain untuk dua orang kelas VVIP (state room, ruang istrahat), empat VVIP ruang rapat, 12 kursi di area eksekutif, dan 44 kursi di area staf.

Indonesia One ini mampu terbang dengan ketinggian maksimal 41.000 kaki, dapat terbang selama 10 jam tanpa henti, memiliki kecepatan jelajah maksimum 0,785 Mach (kecepatan suara) dan kecepatan maksimum 0,85 Mach.

Tangki bahan bakar ditambah untuk daya jangkau sampai 10.000 km. Ini agar pesawat dapat menjangkau seluruh pelosok Tanah Air.

Pesawat ini dilengkapi sistem proteksi antirudal dengan teknologi Civilian Aircraft Missile Protection System (CAMS).

Sistem ini memiliki empat titik sensor, yang melindungi pesawat dari segala sudut. Sensor tersebut secara otomatis mendeteksi peluru kendali dan dengan cepat menghancurkannya sebelum mendekati pesawat.

Gagasan pesawat kepresidenan ini bermula dari pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid. Ini kemudian disetujui DPR pada 3 November 2009.

Presiden Yudhoyono melanjutkannya dengan memerintahkan Menteri Sekretaris Negara, Sudi Silalahi, memasukkan anggaran pengadaan tersebut dalam APBN 2010-2011.

Setelah anggaran disetujui DPR, pemesanan dilakukan dengan menenandatangani perjanjian pembelian (purchase agreement) dengan Boeing pada Desember 2010. Empat tahun kemudian, pesawat tiba di Jakarta.

Sebelum Indonesia memiliki pesawat kepresidenan, Presiden RI menggunakan pesawat sewaan bila bepergian di dalam maupun ke luar negeri. Presiden Soekarno menggunakan pesawat Ilyushin Il-18 pemberian pemerintah Uni Soviet. Namun ini bukan pesawat yang dirancang khusus kepresidenan.

Jika ke luar negeri, Soekarno menggunakan Convair 990. Pernah juga mencarter DC-8 dari Pan Am.

Masa Presiden Soeharto, pesawat yang digunakan DC-10 dan MD-11 milik Garuda untuk kunjungan ke luar negeri. Di dalam negeri, Pak Harto Pelita Air Service Avro RJ85 atau Fokker F-28 Fellowship, juga Boeing 737 Classic dan Airbus A300 Garuda.

Presiden berikutnya, Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri, dan Yudhoyono --sebelum pesawat resmi tiba-- menggunakan pesawat Boeing 737-800 untuk penerbangan jarak pendek, dan Airbus A330-300 untuk perjalanan kenegaraan ke luar negeri. Pesawat tersebut dicarter dari Garuda.

Alhamdulillah, dua pekan sebelum Presiden SBY mengakhiri tugasnya, saya ikut merasakan naik Indonesia One menghadiri Perayaan Puncak HUT ke-69 di Surabaya.

Kami berangkat pada 5 Oktober 2014 pagi dari Lanud Halim Perdanakesuma. Di dalam pesawat, selain Pak SBY, Ibu Ani Yudhoyono, ada staf khusus, juru bicara, ajudan, komandan paspampres, dan saya.

Di area eksekutif Indonesia One, tempat duduk kami, kursi tersedia untuk 12 penumpang. Jejeran kursi warna biege itu terbagi dalam dua baris, yang masing-masing baris terdapat dua kursi.

Sejak berangkat hingga pesawat berwarna biru mendarat di Pangkalan Udara TNI AU Iswahjudi, Magetan, empat pesawat tempur Sukhoi Su-27/30MKI melakukan pengawalan. Ini merupakan prosedur standar protokoler TNI Angkatan Udara.

Dalam beberapa kunjungan ke luar negeri, pesawat tempur negara yang dikunjungi juga melakukan pengawalan di wilayah udara mereka.

Di Surabaya, sehari setelah upacara HUT TNI yang meriah --ini merupakan terakhir sekali Presiden SBY sebagai inspektur upacara dan sekaligus perpisahan-- kami kembali ke Jakarta, 8 Oktober 2014.

Sehari kemudian, saya kembali mendapat kesempatan naik Indonesia One ikut rombongan Presiden SBY ke Bali, Kamis, 9 Oktober 2014. Penumpangnya sama, seperti ketika ke Surabaya. Di Bali, Presiden SBY membuka Bali Democracy Forum (BDF) VII, di Nusa Dua, Bali, Jumat (10/10) pagi.

Selesai membuka BDF, sore rombongan kembali ke Jakarta dengan pesawat yang sama. Di sepanjang jalan menuju Bandara Internasional Ngurah Rai, masyarakat berjejal di pinggir jalan. Karangan bunga dan sepanduk perpisahan semakin banyak menjelang rombongan tiba di ruang VVIP Bandara Internasional Ngurah Rai. Ratusan orang berdesakan menemui Presiden SBY dan Ibu Ani SBY. Di antara mereka ada yang memberikan karangan bunga.

Pak SBY dan Ibu Ani berkali-kali menyeka mata yang basah. Saat menuju pesawat dari ruang VVIP, sejumlah pramuka, pelajar, anggota TNI/Polri serempak menyanyikan lagu perpisahan.

Ini memang perpisahan. Sepuluh hari berikut, Pak SBY mengakhiri sepuluh tahun tugasnya sebagai Presiden RI, setelah Joko Widodo terpilih sebagai presiden berikutnya.

Pesawat Indonesia One bergerak pelan meninggalkan landasan. Dari jendela, saya membaca spanduk besar: Selamat Jalan Bapak Presiden dan Ibu Hj Ani, Kami Selalu Merindukanmu.

Sepanjang penerbangan menuju Jakarta, kami lebih banyak diam. Perasaan kamilah yang berkata-kata. Sampai di Halim Perdanakusuma, malam. Kami turun satu per satu, bersalaman, tanpa banyak kata-kata, meninggalkan Indonesia One...

*) Asro Kamal Rokan adalah wartawan senior, pernah menjadi Pemimpin Redaksi Republika (2003-2005), Pemimpin Umum LKBN Antara (2005-2007), dan Anggota Dewan Kehormatan PWI Pusat (2018-2023)

Copyright © ANTARA 2019