Jakarta (ANTARA) - Kecuali ada sesuatu yang luar biasa terjadi, bek muda paling diincar sejagad raya Matthijs de Ligt hampir pasti bergabung dengan raksasa tiran Italia, Juventus.

Sejak Selasa (16/7) malam waktu Italia atau Rabu dini hari WIB, akun media sosial Juventus gencar mengunggah segala hal menguntit gerak gerik De Ligt baik itu sedari mendarat di Turin hingga bersiap melakoni tes medis untuk menyelesaikan proses kepindahannya ke klub itu.

Nama De Ligt melejit setelah ia menjadi pemain termuda yang tampil di partai final kompetisi antarklub Eropa pada 24 Mei 2017, kendati Ajax takluk 0-2 kepada Manchester United dalam final Liga Europa 2016/2017.

Sekitar 1,5 tahun berselang, pada 17 Desember 2018, De Ligt dinobatkan majalah olahraga Italia Tuttosport sebagai penerima anugerah Golden Boy alias Pemain Muda Terbaik di daratan Eropa, ia juga jadi bek pertama yang memenangi gelar tersebut.

Seketika, daya tarik De Ligt memikat jajaran klub elit Eropa. Barcelona dan Real Madrid di Spanyol, Liverpool dan Manchester United di Inggris, Bayern Muenchen di Jerman, Paris Saint-Germain di Prancis dan tentunya Juventus di Italia.

Rumor transfer De Ligt mewarnai tajuk utama media-media olahraga di seluruh dunia sepanjang musim panas 2019, sementara remaja itu tengah berjuang bersama Belanda dalam babak Final Four UEFA Nations League.

Kendati Belanda kalah di partai final melawan Portugal, daya tarik De Ligt tak memudar, terlebih usianya baru akan genap 20 tahun pada 12 Agustus mendatang. Laga final itu juga rupanya jadi kesempatan megabintang Portugal Cristiano Ronaldo membujuk De Ligt agar mau ikut serta dengannya bergabung ke Juventus.

Musim lalu, De Ligt punya catatan statistik fantastis, yakni rataan 3,9 kemenangan duel udara, 4 sapuan, 0,8 halauan serta 1,1 pencurian bola dalam 33 penampilannya di Eredivisie Liga Belanda bersama Ajax. De Ligt menutup musim dengan mengantarkan Ajax menyabet dwigelar Liga Belanda dan Piala Belanda.

Ajax bahkan sempat memimpikan raihan trigelar, jika saja langkah mereka tak terhenti secara tragis pada menit-menit akhir laga semifinal kedua Liga Champions kontra Tottenham Hotspur. Pun demikian, De Ligt tetap berperan krusial dalam perjalanan mimpi indah Ajax tersebut dengan rataan 4,2 kemenangan, 4,2 sapuan, 0,7 halauan dan 1,4 pencurian bola dalam 11 pertandingan di Liga Champions.

Angka-angka mentereng itu pula yang membuatnya digandrungi tim-tim elit Eropa dan Juventus cukup beruntung bisa mendapatkan jasa De Ligt, meski mereka harus merogoh kocek dalam-dalam dan membayarkan 67,5 juta poundsterling (sekitar Rp1,1 triliun) kepada Ajax demi mewujudkan hal itu.

Tantangan menjadi dewasa

Tak seperti seniornya di timnas Belanda Virgil van Dijk yang baru menemukan sinar terang masa-masa puncak kariernya dalam beberapa tahun terakhir ketika sudah berusia di atas 25 tahun, karier De Ligt begitu dikelilingi gemilang lampu sorot sejak belum genap berusia 20 tahun.

Lampu sorot dan panggung yang besar, tak ubahnya dua mata pisau yang bersinggungan di antara kesempatan dan beban.

Tentu akan menarik menyaksikan perkembangan De Ligt di Juventus, mengingat tim itu punya nama-nama ikonik di lini pertahanan dalam beberapa era, sebut saja Francesco Morini, Gaetank Scirea, Claudio Gentile, Ciro Ferrara, Fabio Cannavaro atau yang belakangan ini Leonardo Bonucci dan Giorgio Chiellini.

De Ligt, tentu berpeluang untuk menjadikan dirinya sebagai ikon tembok pertahanan Juventus jika mampu mengoptimalkan potensi yang disebut-sebut para pengamat ia miliki.

Namun, De Ligt tiba di era baru Juventus. Si Nyonya Tua kini punya "suami" baru, seorang perokok berat bernama Maurizio Sarri.

Pelatih gaek berusia 60 tahun itu tiba di Stadion Allianz "cuma" berbekalkan gelar kompetisi antarklub Eropa kasta kedua, Liga Europa, yang dimenanginya pada Mei lalu bersama Chelsea. Sisanya, prestasi terbaiknya adalah mengantarkan Empoli promosi ke Liga Italia Serie A pada 2005, hampir 35 tahun sesudah ia memulai karier kepelatihannya.

Namun, Sarri punya modal positif yakni menyulitkan Juventus pada musim 2017/2018 saat ia masih menangani Napoli dan membuat persaingan juara Serie A kala itu hanya terpaut empat poin di akhir musim.

Modal Sarri berupa strategi yang kerap disebut-sebut sebagai Sarriball. Sarriball kerap disama-samakan dengan tiki taka segaris besutan Pep Guardiola saat di Barcelona, yang pada intinya adalah optimalisasi umpan cepat dan pendek agar segera bisa menerobos ke pertahanan lawan.

Bek punya peranan besar dalam Sarriball, yakni sebagai pemantik awal serangan dengan cara memastikan bola keluar dari lini pertahanan sendiri.

De Ligt sebaiknya secepat mungkin bisa mengadaptasi Sarriball dan melepaskan filosofi permainan milik pelatih kepala Ajax Erik ten Hag, dimana bek punya peran langsung membantu serangan ketika rekan-rekannya yang lain bisa membukakan celah di lini tengah dekat kotak penalti lawan.

Juventus, hampir pasti akan kembali menjadi juara Serie A musim depan, namun Sarri dan De Ligt punya beban tersendiri agar perannya menjadi nyata. Sementara Sarri mungkin akan mengangkat trofi Serie A pertamanya, De Ligt masih punya sedikitnya belasan tahun lagi untuk memantapkan diri sebagai salah satu ikon sepak bola sebenarnya dan bukan lagi calon bintang semata.

Baca juga: De Ligt gabung ke Juventus hanya menghitung hari

Baca juga: De Ligt tiba di Turin selesaikan kontrak Juventus

Pewarta: Gilang Galiartha
Editor: Endang Sukarelawati
Copyright © ANTARA 2019