Saat malam mulai menjelang, atmosfir kota Guangzhou berubah. Kerlap-kerlip lampu kota di sepanjang Pearl River seolah menyembunyikan polusi udara di langit kota terbesar ketiga di China itu.

Gedung-gedung, jembatan berhias lampu warna warni, berganti-ganti, memuaskan mata, melupakan kepenatan 9,75 juta warga kota, setelah seharian bekerja.

Bagi para turis, ini adalah atraksi menarik. Pemerintah kota menjadikannya sebagai andalan daya tarik wisata.

Atraksi lampu tersebut menjadi lebih atraktif jika disaksikan dari atas kapal. Orang Betawi bilang, pelesiran sepanjang sungai.

Sudah banyak kota yang menjadikan sungai atau laut sepanjang pantai sebagai daya tarik wisata malam. Sebut saja, Hong Kong yang menyediakan kapal pesiar (cruise) menyusuri tepi laut untuk menikmati tata lampu kota.

Begitu juga dengan Kota Putra Jaya, Malaysia, yang membendung sungai sehingga seperti waduk panjang dan menjadikan sejumlah jembatan berhias lampu sebagai daya tariknya.

Pemerintah Kota Palembang juga menyiapkan kapal hias bagi wisatawan untuk menikmati Jembatan Ampera baru. Dikatakan baru karena pemerintah mengeluarkan ratusan juta untuk "menyulap" Jembatan Ampera tampak lebih "muda", lengkap dengan lampu hiasnya.

Di Pearl River, kapal pesiar yang beroperasi cukup banyak, karena, belasan kapal tampak mondar-mandir menyusuri sungai nomer tiga terpanjang di China tersebut. Semua kapal itu berhiaskan lampu dan beragam bentuk. Salah satunya berkepala naga, berwarna merah dan kuning.

Dengan 58 yuan (RMB), seseorang bisa menikmati Pearl River. Untuk kapal pesiar lebih besar, diperlukan 120 yuan (satu dolar sama dengan 6,7 yuan).

Di atas kapal, sejumlah jembatan yang menghubungkan kedua sisi kota tampak lebih indah. Mereka berhias lampu warna warni dan ada sensasi saat mendekat lalu melintas di bawahnya.

Pemerintah kota memberi nama untuk setiap jembatan yang didirikan. Beberapa jembatan yang menghubungi kedua sisi Sungai Mutiara (Pearl River) adalah Jembatan Liberation, Haizhu, Jiangwan, Haiyin, Guangzhou, dan Jembatan Hedong.

Pengelola kota membuat tampilan warna lampu yang menghias, jalan, gedung, jembatan, kapal dan sebagainya dalam tujuh warna mutiara sebagai perlambang Sungai Mutiara. Diperlukan dua jam untuk menyusuri wisata malam ini.

Pukul 22.00, lampu-lampu hias di gedung meredup satu persatu, begitu juga di jembatannya. Esok malam mereka akan bersinar kembali, seperti "kunang-kunang" di sepanjang sungai.

Shenzhen

Lain lubuk, lain ikannya. Lain Guangzhou, lain Shenzhen. Jika Guangzhou memiliki sejarah panjang, yakni 2.200 tahun lalu dan menjadi kota pelabuhan penting sejak 1.000 tahun lalu, maka Shenzhen adalah kota baru yang didirikan pada 1980 sebagai daerah ekonomi khusus (Special Economic Zone).

Kota ini tertata rapih, penuh bunga dan dihiasi gedung-gedung modern sebagai landmark. Meskipun disiapkan sebagai kota dagang, Shenzhen juga dikenal sebagai kota yang memperhatikan lingkungan.

Sejumlah penghargaan lingkungan diraihnya, seperti UN-Habitat Award, Global Garden City Award, National Award for Enviromental Protection dan sejumlah penghargaan lingkungan lainnya.

Untuk mengingatkan perjuangan mendirikan kota yang indah ini, pemerintah mendirikan Museum Shenzhen. Di sini dikisahkan bagaimana Bapak Pembaharuan China Deng Xiaoping memutuskan untuk membuka China kepada dunia.

Sebagai tahap awal maka dibangunlah Shenzhen sebagai daerah ekonomi khusus, sekaligus untuk "menyaingi" Hong Kong yang berbatasan sungai dengannya.

Di dalam museum terdapat sejumlah diorama perjuangan tentara dan rakyat sekitar China membangun kota itu. Pembangunan dimulai dengan membuat perbatasan kota, membangun jalan, terowongan, mendirikan gedung hingga barang-barang ekonomi (produk industri) yang dihasilkan kota ini.

Dipajang juga patung perunggu Deng yang memegang sekop sebagai perlambang dibangunnya kota Shenzhen. Banyak turis berpose di sini, bergaya memegang sekop Deng, seakan turut "membangun" Shenzhen.

Museum juga memajang tempat tidur, perangkat mebel yang dulu digunakan Deng ketika menginap di sebuah hotel saat mengunjungi Shenzhen, beberapa tahun setelah dibangun.

Suasana hening museum, tiba-tiba berubah gaduh. Serombongan murid SD usia 8-9 tahun berteriak gembira memasuki museum. Mereka mengenakan rompi merah (warna resmi China), memegang pulpen dan kertas.

Anak-anak itu berebut melihat isi museum dan tertawa saat bertemu dengan rombongan wartawan dari mancanegara, termasuk dari Afrika dan anak benua India (India, Pakistan, Bangladehs, Nepal, Afganistan dan Srilangka).

Keduanya jadi saling membutuhkan. Sebagai wartawan, mereka berebut memfoto anak-anak, sebagai anak-anak mereka berebut minta tandatangan. Suasana museum berubah ceria. (*)

Oleh Oleh Erafzon SAS
Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2009