Jakarta (ANTARA News) - Dirjen Migas Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, I Gusti Nyoman Wiratmaja Puja menegaskan blok minyak dan gas bumi yang berakhir kontraknya tidak harus dikelola Pertamina.

"Memang prioritas ke perusahaan milik negara tetapi tidak harus ke Pertamina. Investor lama bisa mengajukan perpanjangan atau perusahaan lain juga bisa. Namun yang pertama ditawarkan adalah Pertamina," katanya pada acara diskusi Kebijakan Pemerintah Mengelola Industri Hulu Migas, di Jakarta, Rabu.

Ia mengatakan Peraturan Menteri ESDM Nomor 15 Tahun 2015 tentang Pengelolaan Wilayah Kerja Minyak dan Gas Bumi yang akan berakhir kontrak kerja samanya menetapkan tiga cara pengelolaan. Yaitu pengelolaan oleh Pertamina, perpanjangan kontrak kerja sama oleh kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) yang sudah berjalan dan pengelolaan bersama antara Pertamina dan KKKS.

Menurut dia, blok migas yang beroperasi saat ini sebagian di antaranya akan berakhir kontraknya. Pada 2017, ada lima wilayah kerja (WK) migas yang akan habis kontraknya.

Namun ia mengingatkan bahwa pemerintah ingin agar aktivitas migas nantinya bergeser ke kawasan timur Indonesia untuk menyeimbangkan kegiatan investasi selama ini yang sekitar 91 persen berada di kawasan barat.

Ia mengakui tantangan investasi migas di kawasan timur memang cukup besar mulai dari keterbatasan infrastruktur, lokasi cadangan yang sebagian besar berada di laut dalam hingga bentuk cekungan juga unik. "Itu semua membuat investasi yang dibutuhkan besar serta risiko yang dihadapi juga cukup tinggi," katanya.

Wakil Ketua Komisi VII DPR, Satya W Yudha menilai terbitnya Permen ESDM 15/2015 memberikan "privilege" ke Pertamina terhadap blok migas yang akan berakhir kontraknya meski ada persyaratannya.

"Kita tidak ingin Pertamina seperti masa lalu. Menguasai blok migas, sekaligus menjadi regulator, sehingga Pertamina menjadi birokrat. Kita menginginkan Pertamina sebagai perusahaan Kelas Dunia," katanya.

Oleh karena itu pemberian prioritas kepada Pertamina harus disesuaikan dengan kapasitasnya. Satya mengingatkan sektor migas membutuhkan perusahaan yang berani mengambil risiko dan memiliki modal dan kemampuan teknologi.

Bambang Manumayoso, Direktur Pengembangan PT Pertamina Hulu Energi (PHE) yang juga Ketua Tim Reformasi Upstream Pertamina, mengatakan Pertamina akan mengevaluasi terlebih dahulu sebelum mengambil blok-blok migas yang akan berakhir kontraknya. "Jadi bukan sekadar kita mengambil lahan orang yang sudah berakhir kontrak," tegas dia.

Dia mengatakan Pertamina mampu mengelola blok migas dari sisi teknologi maupun sumber daya manusia (SDM). Namun, tidak tertutup kemungkinan menggandeng perusahaan lain untuk turut mengelola blok-blok migas yang diambi alih.

"Indikator untuk menentukan mitra untuk mengelola blok migas sangat beragam baik dari sisi teknologi, SDM dan lainnya," ujarnya.

Sementara pengamat geopolitik permnyakan, Dirgo D Purbo mengatakan secara geoplotik kondisi migas nasional sekarang berada dalam kondisi darurat. "Untuk ukuran Indonesia yang besar, dengana cadangan minyak yang hanya 3,6 miliar barel, sangat kecil. Sekarang ini ada 276 wilayah kerja tetapi hanya sebagian yang berproduksi," katanya.

Dirgo mengatakan berdasarkan pengalamannya bekerja di berbagai perusahaan migas multinasional, perusahaan migas asing jika produksiya tidak mencapai keekonomian maka ladang migas itu akan diserahkan ke Pertamina.

"Jadi, berikan dulu haknya ke Pertamina, lalu terserah Pertamina mau diapakan setelah itu. Karena perusahaan migas asing tidak akan rela lapangan migas yang cadangannya besar dilepas ke Pertamina," tegasnya

Pewarta: Faisal Yunianto
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2015