Jakarta (ANTARA News) - Pengamat ekonomi, Ichsanuddin Noorsy, mengatakan, pemerintah harus mendefinisikan istilah subsidi untuk rakyat secara tepat. "Hingga hari ini pemerintah tidak pernah memberikan pengertian apa itu subsidi," kata Noorsy, di Jakarta, Senin. Oleh karena itu, katanya, sejumlah masalah mencuat terkait upaya pemerintah yang bersikeras mengurangi subsidi BBM dan mengalihkan sebagian subsidi BBM tersebut ke pangan. Noorsy mencontohkan, beberapa masalah yang muncul di antaranya sampai sejauh ini subsidi dipahami sebagai selisih harga jual dengan harga yang ditetapkan pemerintah. "Padahal saat subsidi itu dilakukan pada komoditas hajat hidup orang banyak maka subsidi ini harus dilihat juga sebagai alokasi APBN untuk fungsi distribusi dan stabilisasi," katanya. Dalam kaitannya dengan itu, sayangnya pemerintah sudah terlanjur berpandangan bahwa APBN adalah campur tangan pemerintah dalam penyediaan barang dan jasa yang dibutuhkan masyarakat. Selain itu, subsidi selalu dikaitkan bahwa di dalam harga jual, para produsen dianggap sudah menetapkan keuntungan. "Dalam ekonomi, kepuasan konsumen ada batasnya tetapi kepuasan produsen tidak terhingga, akibatnya konsumen akan patuh kepada produsen," katanya. Menurut Noorsy, rumusan konsumen adalah raja selama ini sekadar ilusi belaka karena produsen selalu membentuk persepsi konsumennya. BLT adalah proses pemiskinan struktural dan kultural Sementara dalam kaitannya dengan subsidi BBM, BBM tidak ada substitusinya sedangkan bahan pangan memiliki banyak barang pengganti. "Di sisi lain, BLT (Bantuan Langsung Tunai) bersifat sementara sedangkan kenaikan harga BBM bersifat permanen dan pasti akan naik lagi. Ini yang disebut sebagai bagian proses pemiskinan," katanya. Di samping itu, Noorsy berpendapat, BLT menjadi wujud bahwa pemerintah memang menerapkan ekonomi berbasis pasar. "Pemerintah berpandangan kemiskinan dapat diselesaikan lewat pemberian yang instan padahal yang terjadi adalah suatu proses kelanjutan kemiskinan struktural dan kultural," demikian Noorsy.(*)

Pewarta:
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2008