Yogyakarta, (ANTARA News) - Ingin memahami sepenggal makna di balik tokoh pewayangan Semar? Publik dapat sejenak menengok lukisan bertajuk Operasi Semar, karya Jaya Adi, perupa asal Solo. Lukisan itu menjadi satu dari lima karya seni konvensional terbaik dalam pameran "Setelah 20 Mei" yang digelar di Jogja Gallery, Minggu malam. Lukisan tersebut memvisualisasikan sosok Semar sebagai tokoh utama yang tengah dioperasi oleh tim dokter yang terdiri atas presiden-presiden Indonesia dengan ketua tim dokter, almarhum Presiden Soeharto. Jadilah semar bertindak, publik terhenyak. Selain karya Jaya, lukisan berjudul "The Story of Broken Text" milik Dedy Sufriadi yang menggambarkan rusaknya naskah Sumpah Pemuda, lukisan abstrak berjudul Melayang Menunduk, karya I Made Supena dan karya lain dari Wilman Herman berjudul "Flag of Our Father" dan Indra Wahyu dengan Asasi Per@ Mudah Pecah, juga menjadi yang terbaik. Selain penghargaan kepada karya konvensional, Jogja Gallery juga memilih dua karya nonkonvensional yaitu dari Midori Hirota, seniman Jepang yang tinggal di Yogyakarta, dengan karya bertema rekonsiliasi internasional dan karya Sapto Hadi Nugroho yang menampilkan seni instalasi berupa kursi eksekusi. Menurut kurator tetap Jogja Gallery, Mikke Susanto, lima karya terbaik tersebut terpilih dari 67 karya yang kini dipamerkan setelah penyelenggara melakukan seleksi terhadap 520 proposal karya yang masuk. "Meski 40 persen dari proposal karya yang masuk berasal dari seniman di Yogyakarta, tetapi sisanya berasal dari seniman-seniman yang rata-rata tidak berada di kota utama seni rupa. Mereka juga biasanya masih muda-muda," katanya. Bersama Sri Margono yang juga bertindak sebagai kurator, seluruh karya yang masuk tersebut dibagi dalam tiga subkurasi yaitu eksplorasi budaya pembentuk karakter bangsa, polemik sejarah serta problem dan konflik bangsa. "Dari tiga subkurasi itu, dapat disimpulkan bahwa seluruh karya yang ada ingin merefleksikan impian dari seniman," kata Margono. Sementara itu Direktur Utama Jogja Gallery, Sugiharto Sulaiman mengatakan demokrasi yang ada saat ini sudah "kebablasan". "Kita seolah-olah bangkit hanya untuk berantem, contohnya tiap ada Pilkada selalu ada yang berantem," katanya. Ia menyatakan tersentak dengan karya Midori yang mengedepankan rekonsiliasi internasional. "Mengapa Indonesia tidak bisa demikian?," tanyanya. Gus Dur yang sedianya dijadwalkan membuka pameran tidak dapat hadir karena pada Selasa pagi bertindak sebagai tuan rumah Munas alim ulama dan halaqah nasional PKB. (*)

Pewarta:
Editor: AA Ariwibowo
Copyright © ANTARA 2008