Jakarta, (ANTARA News) - Mantan Presiden Bacharuddin Jusuf Habibie telah memberikan contoh kedewasaan dalam berpolitik dan berdemokrasi ketika memutuskan menghentikan karir politiknya pada saat ditolaknya pertanggungjawabannya pada Sidang Umum MPR, Oktober 1999, kata pengamat politik Anis Baswedan. "Habibie itu tahu ambang batas kapan harus maju dan kapan harus berhenti. Saat itu beliau melihat bahwa pencalonannya sebagai presiden (yang dicalonkan kembali oleh Partai Golkar saat itu) tidak bisa diteruskan. Ini ditunjukkan Habibie sebagai praktek kedewasaan berdemokrasi," katanya di Jakarta, Sabtu. Anis mengatakan hal tersebut dalam acara peluncuran buku "The True Life of Habibie, Cerita di Balik Kesuksesan" karya Andi Makmur Makka yang diterbitkan oleh Penerbit Pustaka Iman. Selain Anis, pembicara lainnya adalah Direktur Eksekutif Reform Institute Yudi Latif dan kolumnis Ninok Leksono, dengan moderator cerpenis muda Asma Nadia. Menurut Anis, sikap kedewasaan berpolitik yang dicontohkan Habibie tersebut jarang dimiliki oleh para politisi maupun negarawan yang ada saat ini. Ia menambahkan, meski hanya sekitar 17 bulan menjabat sebagai Presiden RI ketiga, namun Habibie telah mampu mengantarkan Indonesia melewati masa transisi dari orde baru ke orde reformasi, antara lain dengan keberhasilan mengesahkan sekitar 50 Undang-Undang. "Di masa transisi Habibie memang seringkali menjadi `bulan-bulanan` karena ketika itu tidak ada yang `berani` langsung ke Pak Harto. Tetapi untuk masa transisi saat itu, jelas Indonesia perlu Habibie," kata Anis yang mengaku pernah mewawancarai Habibie dalam suatu acara di TVRI ketika masih duduk di bangku SMA pada 1988. Senada dengan itu, Yudi Latif menilai, BJ Habibie memang ditakdirkan hanya menjadi Presiden sebatas masa transisi, meski saat itu pun banyak orang yang juga tidak menyukainya. "Kalau sekarang, misalnya, Habibie ikut maju di pemilihan presiden, saya kira tidak akan terpilih," katanya. Ia menilai, selain memiliki kecerdasan intelektual di atas rata-rata, sosok Habibie juga memiliki kekuatan rohaniah atau etos keagamaan yang kuat, yang tercermin dari perilakunya. Selain itu, katanya, Habibie memiliki kekuatan intuisi dan inspirasi, yang bisa mengatasi persoalan-persoalan di zamannya. Sedangkan Ninok Leksono memuji sikap Habibie yang menerima dengan ikhlas penolakan pertanggunjawabannya sebagai presiden pada SU MPR 1999, meski sebenarnya Habibie adalah penggagas dari terlaksananya Pemilu 1999 yang merupakan pemilu pertama yang demokratis. Sementara itu, penulis Andi Makmur Makka mengatakan, buku yang "embrio"-nya sudah ada sejak 1986 itu berupaya memberikan informasi yang jelas mengenai BJ Habibie sesuai fakta dan data yang ada. Makka memprihatinkan sejumlah buku tentang Habibie yang pengarangnya terlalu berani membuat analisa-analisa sendiri dari data-data yang dikumpulkan, padahal terkadang analisa tersebut tidak akurat. Ia mencontohkan adanya sebuah buku tentang Habibie, yang menuliskan analisa pengarangnya mengenai pengunduran diri 14 menteri ketika Presiden Soeharto akan lengser pada tahun 1998. "Di buku itu penulis membuat analisa bahwa ke-14 menteri yang akan mundur itu direkayasa oleh Habibie untuk meminta Soeharto lengser. Padahal hal seperti ini secara logis saja bertentangan semua karena 14 menteri itu tidak ada yang pernah melapor ke Habibie," kata Makka. (*)

Editor: AA Ariwibowo
Copyright © ANTARA 2008