Magelang (ANTARA) - Tentang eksistensi Candi Borobudur di Magelang, Jawa Tengah disajikan dengan enak oleh penyair Komunitas Lima Gunung Haris Kertarahardjo (59) dalam puisi "Matematika Borobudur".

Ketika karyanya itu disimak dengan saksama, ia seakan hendak bercerita dengan nuansa matematis tentang wujud warisan budaya dunia di Kabupaten Magelang, Jawa Tengah tersebut.

Puisi dibacanya beberapa waktu lalu, saat pembukaan pameran lukisan dengan judul "Candi-Candi Berbisik" di Studio Mendut, pusat aktivitas seniman petani Komunitas Lima Gunung (Merapi, Merbabu, Andong, Sumbing, dan Menoreh) yang mengelilingi Magelang.

Sebanyak lima pelukis yang berpameran bersama hingga 10 Desember mendatang itu, yakni Nasya Patrini Rusdi dengan karyanya antara lain berjudul "Retrospeksi Mendut#1" dan "Restrospeksi Mendut#2 , Cipto Purnomo, "Mencari Jalan Pulang" dan "Blessing", Kana Fuddy Prakoso, dua karya berjudul "Kisah Batu", Sujono Keron, "Keindahan" dan "Peduli", dan Niluh Sudarti, "Toto Titi Tentrem" dan "Madeg Padnhito".

Penyimak lukisan-lukisan mereka, bukan hanya diajak menyaksikan karya-karya itu. Namun, juga diantar kepada imajinasi tentang candi-candi yang seakan-akan sedang berbisik, sebagaimana cara Haris mendengarkan Candi Borobudur berbisik kemudian menorehkan "Matematika Borobudur".

Haris dengan nama kultural Tionghoa, Lie Thian Hauw, salah satu murid penyair besar Indonesia, W.S. Rendra (almarhum). Dia dikenal sebagai penyair matematika karena mata pelajaran itu disenangi sejak kecil.

Jurusan di pendidikan tinggi yang ditempuh pun tak jauh dari aplikasi atas ilmu matematika, yakni Teknik Sipil. Pekerjaan hariannya juga tak jauh-jauh dari ilmu tersebut yang dituangkan dalam konstruksi bangunan sembari menghidupi hobi sebagai pengumpul barang antik dan dokumen masa lampau.

Berbagai puisinya selalu menaruh kata mahkotanya itu, "matematika". Begitu pula buku pertama kumpulan puisinya, tak lepas dari julukan tersebut, "Matematika: Pinter-Pinter=Goblok", terbit Agustus 2018 dan diluncurkan saat Festival Lima Gunung XVII tahun lalu.

Dengan menikmati secara matematis atau keilmupastian, puisi "Matematika Borobudur" selain menyebut angka-angka yang mewujudkan candi Buddha terbesar di dunia dibangun sekitar abad ke-8 itu, juga mengandaikan landskapnya, antara lain Candi Mendut di timur dengan aliran Kali Elo bak perempuan dengan bayi di rahim dan Candi Pawon di barat dengan Sungai Progo bagaikan laki-laki dengan kekuatan cinta.

Oleh karena Kali Elo dan Sungai Progo diimajinasi sebagai sosok perempuan dan laki-laki, pandangan umum pun ditautkan kepada kisah percintaan manusia yang ditimpakan sebagai simbol danau. Candi Borobudur dalam catatan sejarah geografis dan topografi terletak di atas bekas danau purba, tempat pertemuan berbagai aliran sungai di kawasan yang dikelilingi gunung-gunung. Candi Agung Borobudur digambarkan sebagai bunga teratai di tengah telaga.

"Candi Borobudur di selatan. Bagai percintaan Elo Progo. Bertabur bunga-bunga. Seindah bunga teratai, dan bercinta kasih dalam danau," begitu salah satu bait puisi matematika karya Haris, ditulis awal Mei 2007.
Sejumlah pengunjung menyaksikan lukisan-lukisan yang dipamerkan dengan tajuk "Candi-Candi Berbisik" di Studio Mendut, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, beberapa waktu lalu. (ANTARA/Hari Atmoko)


Dengan judul pameran yang inspiratif, bertempat di studio terbuka yang dikelola budayawan Magelang, Sutanto Mendut, ditandai sejumlah pementasan kesenian, diskusi budaya tentang pemaknaan eksistensi candi-candi, konstruksi acara yang rileks dengan pembawanya Endah Pertiwi, suguhan aneka makanan desa, dan pembacaan "Matematika Borobudur", nampaknya membawa rohaniwan Katolik dari Yogyakarta Romo Budi Subanar kepada sebutan mewah.

"Pengalaman perasaaan di sini mewah. Saya sekarang merayakan kemewahan. Kemewahan karya para seniman. Biasanya panggung ini kosong, tetapi menjadi mewah dengan warna lukisan. Kemewahan juga karena rindu Festival Lima Gunung (agenda tahunan seniman petani Komunitas Lima Gunung, red.)," ujar Romo Banar yang juga budayawan Universitas Sanata Dharma Yogyakarta itu.

"Matematika Borobudur" membawanya kepada suatu wawasan dengan pemaknaan yang bukan hanya sebatas nama candi disebut dalam puisi Haris.

Romo Banar yang pernah meneliti berbagai dokumen tentang Monsinyur Albertus Soegijapranoto (1896-1963) untuk kemudian melahirkan sejumlah buku tentang pahlawan nasional dan film "Soegija" (2012) dengan sutradara Garin Nugroho itu, merumuskan makna atas pameran "Candi-Candi Berbisik" dengan kata pendek dan "mentes" (berisi), yakni mat-matan.

Kalau Haris memandang Borobudur melalui puisi "Matematika Borobudur", Romo Banar yang mengagumi inpirasi karya itu, mengemukakan tentang mat-matan Borobudur. Ihwal tersebut diperluas terhadap berbagai candi dan situs lainnya yang seakan bermunculan, ditemukan kembali, dan direkonstruksi.

Dalang muda Komunitas Lima Gunung Sih Agung Prasetyo memahami mat-matan sebagai cara memandang suatu objek secara sungguh-sungguh, memberikan perhatian secara lebih, dan memilih yang terbaik karena nilai-nilai keistimewaannya. Pengertiannya itu tak begitu jauh-jauh amat dari yang tercantum dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia sebagai berpuas-puas dan hal untuk dinikmati.

Namun, ia juga juga menyebut dalam pemahaman Jawa tentang mat-matan sebagai "sawang-sinawang", cara memandang suatu objek dari sudut tertentu.

"Cara kita memandang dan bagaimana cara orang lain memandang," ucapnya.


Baca

Novel "Majapahit Milenial" (2019) karya Bre Redana, seakan juga mengajak pembaca untuk membaca secara mat-matan atas tebaran situs candi-candi, setidaknya yang terkait dengan sejarah salah satu kerajaan besar Nusantara pada masa lampau itu.

Bukan hanya soal kisah Banca dan Naya sebagai bagian dari sejumlah tokoh penting yang dihadirkan dalam novel berlatar belakang masa akhir Kerajaan Majapahit pada abad ke-15, akan tetapi sebagian besar ilustrasi buku itu tidak lepas dari cara memadang candi-candi yang seakan berdiam, tak berkata-kata lagi.

Puluhan lukisan ilustrasi karya Putu Sutawijaya dalam novel itu, secara "mentes" juga membawa pembaca, termasuk kalangan milenial, mat-matan menginikan pemaknaan atas situs-situs candi. Sebut saja, Candi Sawentar, Candi Gungung Gangsir, Candi Bangkal, Candi Sukuh, Candi Pari, Candi Gayatri, Candi Bajang Ratu, Candi Belahan (2), Candi Ngetos, dan Candi Jabung. Sejumlah lain, berupa ilustrasi Pengging, Dongeng Panji, Masjid Demak, Gerbang Waringin, serta Banca dan Naya.

Dalam tulisan di salah satu rubrik koran terbesar Indonesia, tempat Bre Redana pernah melakoni profesi intelektual-kreatif hingga berlanjut menjadi penulis papan atas, ia seakan mat-matan terhadap Candi Gayatri dan Gunung Budeg.

Ia hidupkan sosok Gayatri Rajapatni sebagai penabur wawasan politik dan kebudayaan kepada Gajah Mada yang kemudian masyhur dengan Sumpah Palapa untuk menyatukan Nusantara.

Penemuan candi-candi bukan semata-mata menghadirkan kembali secara kasat mata, akan tetapi juga menyangkut pentingnya menggali kisah nilai-nilai luhur atas cagar budaya sebagai pisau baca terhadap perkembangan terkini negeri. Bre pun membangunkan Candi Gayatri oleh karena menyimpan gagasan tentang keutuhan Nusantara.

"Yang menyedihkan lagi, sekarang ini yang berantakan tampaknya bukan hanya fisik candi, melainkan juga gagasan Nusantara seperti pernah dihidupi Gayati," katanya (Kompas, 24/11/2019).

Banyak candi terdiam lama. Ada baiknya digali kisah dan suaranya. Begitu juga dengan Candi Gunung Wukir di Dusun Canggal, Desa Kadiluwih, Kecamatan Salam, Kabupaten Magelang, dikemukakan Romo Banar terdapat candrasengkala, "Sruti Indria Rasa".

Candrasengkala candi yang relatif tak jauh dari Borobudur itu terkait dengan peradaban, ilmu pengetahuan, dan nalar rasa. Prasasti Canggal yang ditemukan di candi itu menunjuk angka 654 Saka atau 732 Masehi, sebagai temuan pertama angka tahun di candi, penanda suatu peradaban mulai bangkit.

"Lukisan-lukisan yang dipamerkan menggambarkan candi-candi yang terserak menjadi miliknya pelukis-pelukis. Itu 'sruti'. Indria lebih merupakan ilmu-ilmu yang membantu untuk membaca, itu sifatnya alat bantu. Ilmu-ilmu yang muncul berdasarkan pancaindra. Rasa menjadi puncaknya, lalu menjadi nalar rasa, 'the light of sense' (cahaya akal). Inilah peradaban yang dimulai Indonesia," katanya.

Daya-daya lantip untuk mencapai tataran mat-matan atas candi-candi dibutuhkan, supaya yang terkesan berbisik itu kembali menyuarakan kisahnya tentang kemuliaan, keagungan, dan kehidupan yang bermakna.
Baca juga: Denny Malik rancang Festival Suling Internasional di Candi Borobudur
Baca juga: Ganjar paparkan strategi agar Borobudur bisa setara Angkor Wat
Baca juga: Raja Malaysia kagumi arsitektur Candi Borobudur

Editor: Tunggul Susilo
Copyright © ANTARA 2019