Jakarta (ANTARA News) - "Kami bersembunyi di bawah meja dan semua lampu dimatikan. Senjata mesin itu terus menyalak, teroris-teroris itu menguber kami ke dapur, ke lantai dasar. Setiap kali terdengar tembakan, orang-orang lari jumpalitan. Semua orang hidup di ambang ketakutannya."

Kalimat itu adalah kesaksian Andreas Liveras, pengusaha kaya Inggris berdarah Siprus berusia 73 tahun, kepada BBC melalui telepon seluler, selama suasana teror di Hotel Taj Mahal, Mumbai, India.

Namun, dengan peralatan canggih yang dibawa para teroris seperti "blackberry" dan GPS (global positioning system), persembunyian Andreas diketahui. Orangtua itu lalu diakhiri hayatnya beberapa saat setelah mengungkapkan situasi teror kepada BBC.

Sambil menembaki orang-orang dan berbaku tembak dengan pasukan komando, para teroris memantau situasi dan dampak teror dari media massa lewat situs berita televisi maupun koran, berkat teknologi "blackberry."

Mereka juga tersambung dengan pusat komando yang ditengarai berada di wilayah Pakistan. "Mereka secara terus menerus mendapat instruksi dari luar negeri via telepon satelit," kata RR Patil, deputi menteri utama Maharashtra di mana Mumbai berada, seperti dikutip Indian Express (29/11).

Di samping menggunakan peralatan canggih seperti GPS dan paham teknologi informasi seperti komunikasi nirkabel, teroris memakai pola teror yang tidak pernah dikenal sebelumnya, yaitu mengadopsi serangan komando dan gerilya.

"Ini perang (bukan lagi memburu penjahat). Kami menghadapi sekelompok orang yang sangat terlatih dan siap bertempur lama," aku seorang anggota pasukan komando India kepada The Hindustan Times (30/11).

Mereka sampai di Mumbai lewat laut, mengelabui penjaga pantai, turun bak serombongan pelajar yang hendak studi banding, lalu berkemas mengendarai taksi. Kelompok lain berlabuh dari perahu karet, tepat depan Cafe Leopold, dekat Hotel Taj Mahal yang selama 60 jam kemudian berubah menjadi neraka.

Para teroris membabibuta menembak, tanpa bicara, tanpa aba-aba, tanpa pilih-pilih sasaran, siapapun yang bergerak ditembak. "Target mereka membunuh 5.000 orang," kata JK Dutt, komandan pasukan khusus India.

Tidak heran pemerintah India menilai serangan teror ini merupakan bentuk invasi sehingga Perdana Menteri Manmohan Singh yang terkenal lembut bertutur kata, berubah sangar dengan menuduh Pakistan mendalangi itu semua. India merasa seperti Amerika Serikat dalam Serangan Teror 11 September 2001.

Gerilya

Karena memakai metode serangan teror yang berbeda dari sebelumnya, beberapa kalangan menyebut teror Mumbai sebagai bentuk baru serangan teror hasil metamorfosis gerakan-gerakan teror yang telah dihafal benar oleh komunitas intelijen.

Editor The Australian, Greg Sheridan, bahkan menyatakan dua tahun terakhir ini dinas-dinas intelijen Asia Tenggara sebenarnya telah mengingatkan bahwa teroris sedang mengubah metode terornya dari pemboman menjadi serangan bersenjata demi mendapatkan efek teror yang maksimal.

Pilihan ini diambil karena serangan bom kerap dipatahkan aparat keamanan sehingga mereka mulai mempertimbangkan menggunakan serangan bersenjata dan bahan peledak seperti dalam perang konvensional.

"Serangan teror ke Mumbai membuktikan pola ini berhasil dalam 24 jam pertama. Meskipun para teroris juga mati, namun pola ini membuat teroris mendapatkan apa yang diinginkannya," kata Greg.

Maksud Greg, teroris berhasil membuat masyarakat ketakutan setelah menyaksikan aksi gila-gilaan mereka di sepuluh titik strategis Kota Mumbai, terutama Hotel Taj Mahal dan Oberoi-Trident yang menjadi simbol kemakmuran dan sukses ekonomi India.

Jika melihat kepiawaian para teroris belia ini dalam meneror Mumbai, ditengarai mereka telah dilatih matang oleh dalang-dalang teror yang tak kalah militan.

Dalang-dalang teror ini adalah para veteran teroris yang mewariskan militansi masa mudanya kepada generasi-generasi belia yang menjadi para prajurit maut yang ahli mengeksekusi, militan, dingin dan tidak mengenal takut.

"Mereka nekad sekali. Satu orang mengganti magazin senapan, yang lainnya menembak, tenang sekali, samasekali tak terlihat takut," kata Pappu Mishra, seorang saksi mata yang mengintip aksi para teroris dari balik cafetaria seperti dikutip The Guardian (30/11).

Tiga polisi bersenjata berat yang menghadang mereka pun mati, padahal salah seorang diantaranya adalah komandan satuan elite anti teror Mumbai, Hemant Karkare, yang sangat berpengalaman menangani para kriminal.

Kenekadan itu pula yang membuat teroris sukses mengundang perhatian media, termasuk dari tuturan para saksi mata kepada media massa, dan akhirnya mengguncang pemerintahan dan membuat masyarakat terteror.

"Serangan Mumbai didesain untuk menarik perhatian media pada skala maksimal dan global. Dalam kata lain, metode mereka adalah berbuat segila-gilanya," kata Sumantra Bose, Profesor Hubungan Internasional dan Perbandingan Politik dari London School of Economics and Political Science (LSE).

Tidak seperti serangan bom di Bali atau serangan teror lainnya, pola teror Mumbai memang lain. Mereka tak menutupi identitasnya, seakan berada di medan perang konvensional.

"Mereka bagai pasukan kecil yang dikirim ke jantung masyarakat dengan misi, membunuh dan terus membunuh sepanjang mereka bisa. Secara teknis mereka mampu menciptakan kerusakkan dan kematian dalam skala luas sebelum akhirnya mati," kata pakar terorisme dari Prancis, Roland Jacquard.

Roland percaya teror Mumbai segera menjadi protipe terorisme global masa mendatang, apalagi teroris Mumbai juga menyasar orang Inggris, AS dan Israel yang selama ini menjadi target serangan teror global, khususnya Alqaeda.

"Bagiku ini bukan sekedar terorisme tetapi sudah merupakan perang gerilya," kata Roland.

Ketua subkomite bidang kontraterorisme DPR Inggris, Patrick Mercer, dalam The Times (3011/) menambahkan, "Itu (teroris Mumbai) hampir merupakan sekompi tentara yang dipimpin seorang militer atau eks militer."

Hibrada baru

Yang mencemaskan adalah para teroris direkrut dari hibrada baru, yaitu kalangan melek teknologi, terdidik, mapan dan berasal dari kelas menengah yang selama ini gencar dibidik Alqaeda dan gerakan-gerakan teror seperti Lashkar at Taiba di Pakistan.

Pengarang Inggris, William Dalrymple, yang bukunya "Last Mughal" memenangi banyak penghargaan internasional, menyatakan pelaku teror Mumbai bukanlah orang kampung dan santri.

Salah seorang pelaku teror muda belia yang menenteng AK-47 dan menggendong ransel yang fotonya tersebar ke seluruh dunia dan lalu diketahui bernama Mohammad Ajmal Mohammad Amin Kasab dari Punjab Pakistan, mengenakan label-label kelas menengah seperti t-shirt bertuliskan Versace, perancang terkenal dari Prancis.

Para teroris lain mengenakan jins dan (sepatu) Nike yang oleh banyak saksi mata digambarkan meraka adalah anak-anak kaum berada, bukan orang dusun miskin didikan pesantren-pesantren puritan Pakistan.

"Mereka adalah anak-anak kelas menengah berpendidikan tinggi namun penuh kemarahan karena melihat apa yang mereka persepsikan sebagai ketidakadilan terhadap Muslim akibat prilaku Israel, AS, Inggris dan India di Palestina, Irak, Afghanistan dan Kashmir," kata William.

Generasi teroris baru ini menjadi otak sekaligus pelaku serangan-serangan teror mengerikan seperti Serangan 11 September 2001 dan Bom London 7 Juli 2005.

Latarbelakang mereka yang mapan, terdidik dan militan adalah perpaduan lengkap yang membentuk pelaku teror yang jauh lebih sulit ditundukkan oleh pendekatan kebudayaan sekalipun.

Mereka tidak hanya paham bagaimana menciptakan teror, tapi juga pandai memanipulasi media untuk menyampaikan kengerian, pseudoheroisme (kepahlawanan palsu) dan nihilisme gerakan sektarian mereka.

Mereka memahami bagaimana memanfaatkan jejaring sosial virtual, memanipulasi jantung industri pemberitaan yaitu sensasi dan ekslusivitas liputan, dan mengeksploitasi psikologi massa.

"Teror Mumbai adalah tonggak baru dari gerakan terorisme global yang lebih mengerikan," kata Bruce Riedel, Penasihat Presiden AS terpilih Barack Obama urusan Asia Selatan, seperti dikutip Hindustan Times (29/11).

Akar

Dunia juga perlu memerhatikan perancang teror karena mereka tak hanya menyasar kekinian, namun juga pandai mengkalkulasi kemungkinan politik jangka panjang dengan cara membenturkan satu negara dengan negara lain, menciptakan perpecahan dalam pemerintahan, dan merusak konstelasi politik.

"Secara internasional, teror Mumbai akan memperuncing hubungan India-Pakistan sehingga mempersulit kerja pemerintah Obama dalam merujukkan kedua negara yang justru penting bagi sukses AS di Afghanistan," kata Robert D. Kaplan dalam majalah The Atlantic edisi Desember.

Beberapa negara, diantaranya Prancis, bahkan langsung menurunkan peringatan larangan berkunjung ke sejumlah negara yang dianggap tidak aman.

"Panik dan horor yang tercipta dari serangan teror terhadap target-target terbuka di luar negeri acap lebih mematikan sehingga para pejabat negara melihat keamanan warganegaranya di luar negeri dalam bahaya besar," kata seorang pejabat kontraterorisme Prancis.

Mungkin karena ini, aparat keamanan seluruh dunia berkoordinasi lebih kuat lagi, tapi akar permasalahan seperti ketidakadilan --solusi Kashmir. dalam konteks India-- semestinya diperhatikan pula karena akar itu acap menjadi pendorong seseorang menggabungkan diri dalam kelompok fanatik yang menihilkan kehidupan seperti Alqaeda.

"India akan sibuk menyiduk orang dan Pakistan akan terus ditekan untuk mengasingkan kelompok militan. Namun, itu tak akan membuat Asia Selatan damai sepanjang akar masalah di Kashmir diselesaikan. Pembantaian Mumbai mungkin hanyalah awal dari kekerasan berikutnya," kata William Dalrymple. (*)

Oleh Oleh A. Jafar M. Sidik
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2008