Entah amuk apa di dalam ruang pendidikan itu hingga Profesor Chan Kap Luk dirawat di rumah sakit dengan luka di tangan kanan dan punggung.

Sementara mahasiswa Indonesia yang tengah dibimbingnya, David Hartanto Widjaja, menjadi mayat di rerumputan berbatas beton selasar di kampus Universitas Teknologi Nanyang, Senin, 2 Maret 2009.

Awal kejadian tersebut di dalam satu ruang tertutup di lantai V. Ada orang yang mendengar teriakan minta tolong dari arah dalam. Ada orang yang melihat dua pria ke luar dengan berlari ke arah berbeda. Seorang ke arah kiri, seorang ke kanan.

"Siapa kedua orang yang bergegas tersebut maupun saksi yang mendengar, masih dalam penyelidikan kepolisian di sini," kata Koordinator Fungsi Penerangan, Sosial dan Budaya KBRI di Singapura Yayan GH Mulyana, ketika ditemui di Singapura, Minggu (15/3).

Chan pulang setelah dirawat di rumah sakit, tetapi dari pihak Nanyang Technological University (NTU) maupun Kepolisian Koroner Singapura, KBRI belum mendapat informasi apakah sang profesor kini sudah diperiksa dalam bagian dari penyelidikan kepolisian, atau belum.

"Belum ada informasi terbaru dari NTU maupun kepolisian yang kami dapatkan mengenai perkembangan Profesor Chan," kata Yayan, yang bersama tim KBRI terus memantau perkembangan pengusutan dan membina komunikasi dengan NTU dan kepolisian negara tempatan.

Chan merupakan saksi kunci yang masih hidup.

Adapun Zhou Zheng, pria asal China yang menjadi staf NTU dan disebut-sebut pada hari kejadian berada di lokasi Chan dan David, sehingga bisa menjadi saksi penting, ditemukan tewas di apatemennya empat hari setelah kematian David.

Tewas di TKP

Sampai 19 Maret, baru ada satu pernyataan resmi dari kepolisian Singapura, yaitu David diketemukan dalam keadaan sudah tewas di tempat kejadian perkara (TKP) di halaman rumput dekat selasar.

Pernyataan itu sedikit-banyak menepis apa yang dikemukakan NTU pada hari pertama bahwa David dalam keadan tertekan jiwa, menyerang Chan dengan pisau, kemudian mengiris lengan sendiri, sebelum bunuh diri dengan meloncat dari lantai IV.

Keterangan NTU yang begitu cepat, diragukan kebenarannya oleh beberapa pihak, khususnya orangtua dan teman-teman almarhum yang di berbagai media, grup pemilis dan blog, malah mempertanyakan peran sang profesor dalam keributan yang berawal di dalam ruang tertutup.

Setelah buru-buru mengutip sumber yang menyatakan David bunuh diri dengan meloncat dari balkon, media massa di Singapura kini berhati-hati, antara lain tidak lagi memberitakan bahwa David naik ke jendela sebelum jenazahnya ditemukan dalam keadaan tertelungkup di tanah.

Media televisi dan online di Singapura, juga memuat pandangan berbeda dari pemilis dan blogger yang selain mengecam kecerobohan media massa, mengharapkan kasus itu dibongkar tuntas demi terwujudnya keadilan dan kebenaran.

Di beberapa milis, termasuk yang dikelola William Hartanto Widjaja, saudara kandung David, dinyatakan, David bukan tipe orang yang mudah dilanda stres, dan tidak mungkin menikam pungggung profesor yang berada di seberang meja.

Ayah David, Hartanto Widjaja, di Jakarta, maupun kaum terpelajar yang peduli pada nasib almarhum, menganggap ada kejanggalan yang semestinya dikuak Pemerintah dan Kepolisian Republik Indonesia dengan ikut aktif menginvestigasi.

Mereka menduga-duga, justru David merupakan korban pembunuhan, bukan pelaku penyerangan, apalagi kemudian bunuh diri.

"Tidak ada luka di lengan David," kata Hartanto yang sampai kini malah mempertanyakan luka gores di leher jenazah anaknya.

Ia menyatakan meragukan aparat hukum Singapura dapat obyektif dalam menangani kasus yang berkaitan dengan warganegaranya sendiri yaitu Prof Chan Kap Luk, orang terakhir yang dijumpai David sebelum tewas.

Chan adalah pembimbing tugas akhir David yang berjudul "Multiview acquisition from multi-camera configuration for person adaptive 3D display".

Pada hari-hari pertama pascakematian David, media massa serentak memberitakan bahwa David yang dalam keadaan tertekan jiwa sebab beasiswa ASEAN-nya dihentikan, menusuk sang profesor, kemudian mengiris lengan sendiri, kemudian bunuh diri dengan meloncat dari balkon lantai IV.

Setelah beberapa hari di Singapura dan kembali ke Jakarta, Hartanto menyatakan, stres bukan sifat anaknya, lagipula dua pekan sebelum kejadian, David sudah memberitahukan terminasi beasiswanya.

Sebagai ayah, Hartanto dalam wawancara di RCTI, menyatakan sanggup membiayai hingga David menyelesaikan studi, apalagi tinggal satu semester.

Hartanto seperti dipublikasikan beberapa media massa di Jakarta, minta KBRI di Singapura dan Polri membantu pengusutan kasus tersebut, sebab menduga anaknya bukan bunuh diri melainkan merupakan korban pembunuhan.

Harapan itu agaknya tidak akan terwujud sebab Kadiv Humas Mabes Polri Irjen Pol Abubakar Nataprawira di Jakarta, 5 Maret 2009 menyatakan, Polri tidak bisa mengintervensi dan tidak dapat menginvestigasi kematian David yang ditangani kepolisian Singapura.

KBRI

"Adalah hak dari semua orang untuk menyatakan pendapat, termasuk di milis. Tetapi, kami harus menghormati wewenang kepolisian dan kedaulatan Pemerintah Singapura," kata Yayan, diplomat lulusan Hubungan Internasional FISIP Universitas Padjadjaran.

Mengenai pendapat supaya investigasi melibatkan Interpol, ia menyatakan, tidak mungkin sebab domain perkara itu tidak berada dalam lingkup kerja sama kepolisian lintasnegara.

Sementara, hingga kini, kepolisian Singapura menyatakan penyelidikan masih dalam proses.

KBRI, dari saat ke saat mamantau perkembangan pengusutan, tanpa harus menyinggung atau mencampuri penyelidikan oleh aparat pemerintah negara sahabat, kata Yayan, mantan Koordinator Perutusan Indonesia ke Dewan Keamanan PBB (2007-2008).

Yayan, diplomat bergelar doktor Ilmu Politik lulusan Universitas Madison, AS, menyatakan sangat memahami keresahan seperti yang muncul di milis dan blog maupun kedukaan keluarga David di Jakarta.

Kendati demikian ia mengajak, daripada menduga-duga sesuatu yang belum sampai pada satu kesimpulan, lebih baik menunggu hasil penyelidikan penegak hukum di Singapura.

Pengadilan Koroner

Karena belum dipastikan penyebabnya, maka penetapan kematian David akan melalui keputusan Pengadilan Koroner Singapura--pengadilan untuk kasus-kasus kematian tidak normal.

Majelis itu akan mulai bersidang setelah pada awal April Kepolisian Koroner menyelesaikan hasil otopsi dan penyelidikan.

Pengadilan Koroner dijalankan untuk suatu kematian mendadak antara lain akibat kecelakaan di jalan raya, di industri, di sel penjara, kekerasan, bunuh diri, dan karenanya memerlukan suatu informasi dan penetapan hukum mengenai penyebabnya.

Menurut Yayan, "Coroner Court" atau Pengadilan Koroner Singapura, terdiri atas hakim-hakim independen dan kredibel.

Kepolisian Koroner Singapura, sesuai prosedur baku, akan mengumpulkan segala hasil penyelidikan hingga menjadi berkas yang komprehensif.

Hakim Pengadilan Koroner tidak segan menegur bila berkas dari polisi masih parsial atau tidak lengkap.

Oleh karenanya, Yayan menyatakan dapat menaruh harapan bahwa majelis itu akan bertugas tanpa ditunggangi kepentingan di luar penegakan hukum.

Setelah persidangan beberapa bulan, keputusan hakim bisa berupa pernyataan penyebabnya adalah kematian murni, akibat bunuh diri, kecelakaan, atau "open verdict" atau keputusan pengadilan bahwa kasus itu terbuka untuk penyelidikan lanjutan.

Bila majelis menyatakan terbuka untuk penyelidikan lanjutan, maka mereka yang harus bertanggung jawab akan berurusan dengan meja hijau.

Kematian David yang mendadak, sempat beberapa hari menyebabkan kegundahan mahasiswa Indonesia di kampus NTU, yang kemudian berangsur mereda, terutama karena kini harus menyiapkan diri guna menghadapi ujian semester.

Meski relatif sudah mendingin, pengusutan harus sampai pada suatu kebenaran, kata Ketua Perhimpunan Pelajar Indonesia di Singapura Fariz Setyadi, ketika di jumpai penulis di Singapura, Minggu, 15 Maret. (*)

"Ungkapkan kebenaran meski pahit bagi David, keluarganya, maupun NTU," kata Fariz, mahasiswa seangkatan dengan David, tetapi berbeda jurusan. Fariz di Teknik Mesin-Penerbangan, sedang David di Teknik Elektro pada Fakultas Elektrik dan Elektronik NTU. ***4***

Oleh Oleh A Jo Seng Bie
Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2009