Jakarta (ANTARA News) - Sejumlah pemulung dan pengusaha pengumpul sampah di Jakarta mengeluhkan penurunan pendapatan mereka sejak setahun terakhir, yang antara lain disebabkan turunnya harga jual plastik bekas.

"Pada tahun lalu saya rata-rata bisa mendapatkan Rp30 ribu per hari, sekarang hanya Rp10 ribu," kata M Yamin (49), salah seorang pemulung yang tinggal di Manggarai.

Pemulung asal Bogor ini mengatakan satu hari dia mengumpulkan sebanyak 3 kg gelas-gelas plastik bekas minuman mineral.

Gelas plastik bekas minuman mineral yang dikumpulkan itu dijual ke pedagang pengumpul di kawasan Manggarai atau di Pintu Air V.

Pria tiga anak tersebut mengatakan penurunan pendapatan tersebut disebabkan jatuhnya harga gelas plastik bekas minuman mineral dari Rp10 ribu menjadi Rp3 ribu per kg.

Penurunan pendapatan juga dialami Kliwon (35), pemulung asal Semarang.

"Setahun lalu saya bisa dapat Rp40 ribu per hari. Tahun ini hanya Rp20 ribu per hari," katanya.

Dia menyebutkan penurunan pendapatan tersebut juga disebabkan maraknya penertiban yang dilakukan petugas Ketentraman dan Ketertiban (Trantib) DKI Jakarta, sehingga pemulung tidak bebas melaksanakan pekerjaannya.

"Kami seolah-olah mengotori Jakarta, padahal kami yang membersihkan kota ini dari sampah-sampah plastik," katanya.

Dia mengaku beberapa waktu lalu pernah ditangkap oleh petugas Trantib, lalu dikirim ke tempat pembinaan di Kedoya.

Semestinya, kata dia, petugas membiarkan rakyat kecil sepertinya melakukan pekerjaan.

"Kami kan tidak mencuri, dan karena tidak punya pekerjaan lainlah kami menjadi pemulung," katanya lagi.

Pengakuan yang sama disampaikan Kaslan (35), dan Joko (29).

"Akibat terus dirazia, kami merasa tidak leluasa memenuhi kebutuhan keluarga," kata Kaslan, pemulung asal Cirebon.

Sementara Joko berharap pemerintah mesti lebih memperhatikan rakyat kecil.

Salah seorang pengusaha pengumpul sampah di Pintu Air, Mini (47), mengaku sejak maraknya penertiban pemulung dilakukan petugas Trantib, menyebabkan pendapatannya menurun.

"Setahun lalu pendapatan saya sekitar Rp3 juta sebulan. Sekarang sekitar Rp1 juta. Padahal saya harus membayar kontrakan Rp4 juta setahun," kata ibu satu anak ini.

Dia mengatakan seharusnya petugas membiarkan pemulung bekerja, apalagi pekerjaan yang dilakukan halal.(*)

Pewarta:
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2009