Kairo (ANTARA News/AFP) - 34 nelayan Mesir yang melarikan diri dari perompak Somalia setelah disekap empat bulan, selamat dan berada dalam keadaan baik serta sedang dalam perjalanan menuju Yaman, demikian Kementerian Luar Negeri Mesir, Jumat.

"Mereka selamat dan baik dan dua jam di lepas pantai Yaman," kata Deputi Menteri Urusan Konsuler Mesir Ahmad Rizk.

"Kedutaan besar kami di Sanaa, konsulat di Aden dan kedutaan di Djibouti mengawasi secara dekat kemajuan mereka," katanya seraya menambahkan Mesir siap memulangkan para nelayan itu jika diminta.

Kelompok orang Mesir itu, yang berhasil menangkap empat perompak, melarikan diri setelah "kontak-kontak Mesir yang berhasil dengan orang suku Somalia, yang membantu... mengakhiri penangkapan mereka", kata Rizk, tanpa memberikan penjelasan lebih lanjut.

Gubernur wilayah separatis Somalia, Puntland, Muse Gele Yusuf, mengatakan bahwa laporan-laporan polisi menunjukkan bahwa dua kapal nelayan Mesir yang ditahan bajak laut di lepas pantai Lasqorey berhasil kabur setelah mengalahkan para perompak.

Seorang perompak di desa Lasqorey, Ali Guled, mengatakan, ia mendengar laporan bahwa sejumlah perompak tewas dalam bentrokan dengan nelayan.

Rizk mengisyaratkan adanya campur tangan luar dalam pelarian para nelayan itu, namun menolak berkomentar mengenai perompak-perompak yang tewas.

"Saya tidak bisa berkomentar tentang hal itu. Laporan masih simpang-siur," katanya.

Perompakan meningkat di lepas pantai Somalia dalam beberapa tahun ini meski angkatan laut asing digelar di kawasan itu.

Perairan di lepas pantai Somalia merupakan tempat paling rawan bagi pembajakan di dunia dimana Biro Maritim Internasional melaporkan 24 serangan di kawasan itu antara April dan Juni tahun lalu saja.

Kelompok-kelompok bajak laut Somalia, yang beroperasi di jalur pelayaran strategis yang menghubungkan Asia dan Eropa, memperoleh uang tebusan jutaan dolar dari pembajakan kapal-kapal di Lautan India dan Teluk Aden.

Dewan Keamanan PBB telah menyetujui operasi penyerbuan di wilayah perairan Somalia untuk memerangi perompakan, namun kapal-kapal perang yang berpatroli di daerah itu tidak berbuat banyak, menurut Menteri Perikananan Puntland Ahmed Saed Ali Nur.

Pemerintah transisi lemah Somalia, yang saat ini menghadapi pemberontakan berdarah, tidak mampu menghentikan aksi perompak yang membajak kapal-kapal dan menuntut uang tebusan bagi pembebasan kapal-kapal itu dan awak mereka.

Perompak, yang bersenjatakan granat roket dan senapan otomatis, menggunakan kapal-kapal cepat untuk memburu sasaran mereka.

Somalia dilanda pergolakan kekuasaan dan anarkisme sejak panglima-panglima perang menggulingkan diktator militer Mohamed Siad Barre pada 1991. Penculikan, kekerasan mematikan dan perompakan melanda negara tersebut.

Sejak awal 2007, gerilyawan menggunakan taktik bergaya Irak, termasuk serangan-serangan bom dan pembunuhan pejabat, pekerja bantuan, intelektual dan prajurit Ethiopia.

Ribuan orang tewas dan sekitar satu juta orang hidup di tempat-tempat pengungsian di dalam negeri akibat konflik tersebut.

Pemerintah sementara telah menandatangani perjanjian perdamaian dengan sejumlah tokoh oposisi, namun kesepakatan itu ditolak oleh Al-Shabab dan kelompok-kelompok lain oposisi yang berhaluan keras.

Washington menyebut Al-Shabab sebagai sebuah organisasi teroris yang memiliki hubungan dekat dengan jaringan al-Qaeda pimpinan Osama bin Laden.

Gerilyawan muslim garis keras, yang meluncurkan ofensif sejak 7 Mei untuk menggulingkan pemerintah sementara dukungan PBB yang dipimpin oleh tokoh moderat Sharif Sheikh Ahmed, meningkatkan serangan-serangan mereka.

Tiga pejabat penting tewas dalam beberapa hari, yang mencakup seorang anggota parlemen, seorang komandan kepolisian Mogadishu dan seorang menteri yang terbunuh dalam serangan bom bunuh diri. (*)

Pewarta:
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2009