Jakarta, (ANTARA News) - Ketua Umum Komite Bangkit Indonesia (KBI) Rizal Ramli mengatakan, pemeriksaan dirinya sebagai tersangka kasus unjuk rasa anarkis merupakan bentuk upaya pemerintah untuk mengadili pikirannya. Ia mengatakan hal itu usai menjalani pemerisaan oleh penyidik Badan Reserse Kriminal Polri, Jakarta Selatan, Kamis. Menurut dia, negara yang mengadili pikiran seseorang merupakan bentuk negara yang otoriter. Mantan Menteri Koordinator Perekonomian itu merasa telah diadili pikirannya karena penyidik menanyakan soal materi pidato dalam satu acara pada 24 April 2008. "Saya diadili kembali karena pikiran, pidato dan tulisan saya. Hal ini tidak pantas terjadi dalam era demokrasi," katanya. Ia mengatakan, pemikiran yang dipaparkan pada acara itu dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah selain memberikan solusi agar BBM tidak dinaikkan. Rizal mengaku prihatin karena 10 tahun pasca reformasi malah ada upaya untuk mengadili pikiran. "Indonesia tertinggal jauh dari negara-negara di Asia Timur padahal 40 tahun lalu sama-sama miskin," ujarnya. Penyidikan atas dirinya, katanya, hampir sama kasusnya dengan kejadian 30 tahun lalu ketika ia diadili karena membuat buku berisi kritik pemerintahan otoriter orde lama dan ekonomi yang tidak menguntungkan rakyat. "Buku saya diterjemahkan dalam tujuh bahasa oleh pakar dari Amerika dinilai sebagai buku kritik paling sistematis," katanya. Akibat buku itu, Rizal mengaku harus mendekam di penjara militer Bandung selama enam bulan dan Lapas Sukamiskin selama satu tahun. Polri menetapkan Rizal Ramli sebagai tersangka dalam kasus unjuk rasa anarkis menjelang kenaikan BBM pada Mei - Juni 2008. Dalam kasus ini, Sekjen KBI Ferry Joko Yuliantono tengah menjalani persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat atas kasus yang sama. Rizal dan Ferry dituduh ikut menggerakkan massa untuk melakukan aksi unjuk rasa yang berakhir anarkis.(*)

Pewarta:
Editor: AA Ariwibowo
Copyright © ANTARA 2009