Jakarta (ANTARA) - Kebijakan penerapan Sertifikat Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) secara wajib kepada seluruh eksportir produk kayu dinilai akan membebani industri hilir kayu, terutama yang berskala kecil dan menengah.

Ketua Dewan Pimpinan Pusat Jaringan Pemerhati Industri dan Perdagangan (JPPI) Lintong Manurung di Jakarta, Senin, mengatakan, penerapan SVLK terhadap 5.000 perusahaan eksportir produk industri hilir kayu yang sebagian besar berskala kecil dan menengah, akan membebani dunia usaha tersebut dengan beban administrasi dan prosedur yang rumit.

Selain itu, lanjutnya melalui keterangan tertulis, juga akan menimbulkan biaya yang tinggi yang diperkirakan akan membebani eksportir sebesar Rp30 juta per perusahaan.

Baca juga: Ekspor kayu lapis Kaltim meningkat

"Penerapan SVLK sebaiknya hanya diberlakukan untuk produk-produk industri hulu kayu dan tidak diberlakukan untuk produk-produk industri hilir kayu," katanya.

Pendapat itu menanggapi surat terbuka Koalisi Masyarakat Sipil Indonesia kepada Presiden Republik Indonesia untuk Pencabutan Atau Revisi Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 15 Tahun 2020 tentang Ketentuan Ekspor Produk Industri Kehutanan, tertanggal 20 Maret 2020, dengan tembusan kepada menteri-menteri terkait.

Dalam surat terbuka tersebut Koalisi Masyarakat Sipil Indonesia mengusulkan penerapan Sertifikat Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) dikenakan secara wajib kepada seluruh eksportir produk kayu termasuk ekspor hasil produk industri hilir kayu.

Baca juga: Luhut: SVLK penting untuk genjot ekspor produk kayu 

Kemudian peningkatan penampang atau Luas Penampang (LP) untuk ekspor bahan baku kayu yang semula dari diameter lebih kecil dari 10.000 mm untuk kayu merbau dan LP lebih kecil dari 4.000 mm untuk non kayu merbau, diizinkan menjadi LP lebih kecil 15,000 mm untuk semua jenis kayu.

Menurut Lintong, SVLK tidak perlu diberlakukan wajib untuk produk-produk industri hilir kayu, seperti industri furniture, industri wood working panel dan sebagainya, karena sumber bahan baku dari industri hilir ini sudah jelas diperoleh sumbernya, dan dengan metoda lacak balak (chain of custody) yang sudah dimiliki dan dilaksanakan oleh Kementerian LHK legalitas sumber bahan baku kayu sudah dapat diketahui.

Kebijaksanaan untuk peningkatan luas penampang kayu ekspor kayu menjadi 15.000 mm justru akan mempercepat kerusakan hutan dan akan menghambat pengembangan industri hilir dan peningkatan nilai tambah industri kayu di dalam negeri, karena kesulitan industri hilir kayu untuk mendapatkan bahan baku.

"Kebijakan ini harus dibatalkan karena tidak ada relevansi kebijakan ini dengan konservasi hutan dan pelestarian lingkungan hidup," katanya.

Menurut Lintong, kebijakan-kebijakan yang hanya didasarkan karena perjanjian kerja sama perdagangan Indonesia dengan UE itu hanya merugikan Indonesia, dan selama ini UE hanya memaksakan kepentingan sepihak mereka dalam perdagangan dengan Indonesia.
 

Pewarta: Subagyo
Editor: Nusarina Yuliastuti
Copyright © ANTARA 2020