Pelalawan (ANTARA News) - Warga Kecamatan Teluk Meranti Kabupaten Pelalawan, Riau, bukan hanya menjadi saksi perubahan alih fungsi hutan rawa gambut Semenanjung Kampar, tapi juga merasakan dampak buruk dari perubahan itu.

Hutan yang sudah berdiri tegak sebelum nenek moyang mereka ada di daerah itu kini makin merana, dan membuat alam yang mereka tinggali makin tidak ramah.

Menginap beberapa hari di Teluk Meranti memberikan pengalaman bagaimana tidak berdayanya masyarakat di sana menghadapi pemodal, baik pembalak liar maupun perusahaan raksasa.

Daerah terdiri atas sembilan desa itu merupakan permukiman terdekat dengan Semenanjung Kampar yang lebih akrab disebut warga dengan hutan seberang. Permukiman warga dan hutan seberang hanya dipisahkan oleh Sungai Kampar.

Teluk Meranti sejak 1980-an mulai dikenal sebagai pusat pembalakan liar di Riau.

"Gelombang" pembalakan liar berlangsung dua kali di daerah itu. Setelah sempat mereda pada pertengahan tahun 1990-an, pembalakan liar kembali memuncak pada awal era reformasi dan berhenti total saat Kepolisian Daerah Riau memerangi pembalakan liar pada tahun 2007.

Hampir seluruh warga, terutama laki-laki, di desa itu pernah terlibat langsung dalam kejahatan lingkungan itu. Umumnya mereka menjadi pekerja upahan para cukong kayu dari Pekanbaru hingga negeri jiran, Malaysia.

Seorang warga Teluk Meranti, Marzuki (35), mengisahkan bahwa masa pembalakan liar membuat daerah itu sangat ramai dan perputaran uang sangat tinggi.

Para pedagang dari daerah lain meraup untung dengan membawa barang-barang yang membanjiri pasar di Teluk Meranti setiap hari. Warung remang-remang dan penginapan kelas melati tumbuh subur seperti jamur di musim hujan.

Marzuki tak sungkan mengakui bahwa ia juga terlibat dalam kegiatan pembalakan liar. Bahkan, menurut Marzuki, ada kenangan tertentu yang selalu ia gunakan untuk menggambarkan masa tersebut.

"Sepatu suami selalu mengkilat, dan bibir isteri selalu dipulas lipstik hingga menyala," ujarnya sambil mengenang kemakmuran warga saat itu.

Namun, ironisnya, hingga kini lebih banyak kenyataan pahit yang melekat di benak warga perihal pembalakan liar. Bagi Pak Thalib (55), yang juga warga setempat, pembalakan liar merupakan lembaran kelam bagi kehidupan Teluk Meranti.

"Uang dari kayu hanya menguntungkan cukong dan segelintir warga yang dekat dengan cukong," katanya.

Pak Thalib yang merupakan "Bomo" (dukun) di Teluk Meranti juga mengaku telah tergiur untuk mendapatkan uang dengan cepat dari pembalakan liar.

Ia sempat membentuk regu yang terdiri atas delapan warga lainnya untuk menjadi pekerja upahan. Mereka bekerja menebang dan menarik kayu di hutan Semenanjung Kampar.

Dari kerja selama dua pekan di hutan, regu Pak Thalib bisa mendapatkan penghasilan kotor sekitar Rp15 juta. Sebelum hasil tersebut dibagi rata, pendapatan itu harus dipotong untuk membayar modal membalak yang didapatkan dari cukong kayu. Selain itu, para pekerja juga harus melunasi hutang biaya operasional di pedagang sembako untuk pembelian bahan makanan dan bensin.

"Sebenarnya pekerja hanya mendapat rugi karena modal membalak kayu bisa mencapai Rp25 juta," ujarnya.

Menurut dia, pembalakan liar hanya memperkaya cukong kayu karena harga jual kayu sangat rendah. Untuk kayu jenis meranti dan punak, misalnya, cukong hanya mau membeli dari pekerja dengan harga berkisar Rp50 ribu hingga Rp75 ribu per meter kubik. Sedangkan kayu tersebut dijual cukong ke pembeli lain mencapai Rp150 ribu per meter kubik.

Pak Thalib mengatakan, perputaran uang di Teluk Meranti memang tinggi namun hal itu juga dibarengi dengan harga barang kebutuhan yang naik hingga 10 kali lipat.

"Dampaknya, ketika mencari kayu tak bisa lagi, ekonomi warga langsung anjlok dan meninggalkan utang yang menumpuk di cukong dan pedagang," katanya.

Selain itu, ia juga mengatakan pembalakan liar bagi Teluk Meranti adalah masa ketika warga melupakan semua aturan adat, budaya, hukum dan ikatan darah.

Warga melupakan pesan nenek moyang mereka untuk mempergunakan hasil hutan secukupnya sebagai bahan rumah dan perahu. Pembalakan liar juga membuat warga meninggalkan mata pencaharian mereka sebagai petani dan nelayan yang sudah bertahan turun-temurun.

Semua warga, baik itu pendatang hingga saudara sendiri, saling bersaing untuk meraup untung dari menebang hutan Semenanjung Kampar.

"Waktu itu kita tidak perduli lagi dengan saudara. Kita saling injak untuk mendapatkan untung dari kayu," ujarnya.

Kelam berlanjut
Setelah masa pembalakan liar usai, mayoritas warga Teluk Meranti masih hidup dalam kemiskinan. Pembangunan infrastruktur jalan, listrik dan pendidikan di daerah itu masih tertinggal.

Hingga kini warga masih menggunakan jamban apung di sungai untuk keperluan mandi, cuci, dan kakus. Sisa masa pembalakan liar hanyalah sebuah penginapan yang sepi, dan los pasar yang hanya ramai setiap akhir pekan.

Pak Thalib mengatakan, warga mulai tersadar untuk kembali bergantung pada pertanian yang mereka tinggalkan selama masa pembalakan liar. Namun, semuanya telah terlambat karena dampak kerusakan hutan membuat pertanian di Semenanjung Kampar tak lagi menjanjikan.

"Hama babi makin ganas karena hutan makin sedikit. Babi yang jumlahnya ribuan menyerang padi ladang dan semua tanaman yang kami tanam di hutan seberang," katanya.

"Ladang padi saya seluas empat hektare terpaksa ditinggalkan karena tak kuat melawan hama babi. Sekarang saya tak punya penghasilan tetap," lanjutnya.

Kenyataan itu membuat Thalib hanya bisa menyesal setiap mengenang masa pembalakan liar di Teluk Meranti. Sebabnya, ia mengerti betul betapa suburnya tanah di hutan Semenanjung Kampar untuk bercocok tanam.

"Dahulu saat masih bertani, saya tak pernah kekurangan beras. Tapi sekarang uang untuk membeli beras biasa saja tak cukup, dan terpaksa bergantung dari beras Bulog yang kurang enak rasanya," kata Pak Thalib.

Ketua Kontak Tani dan Nelayan Andalan (KTNA) Kecamatan Teluk Meranti Muhammad Yusuf mengatakan, warga mulai banyak membentuk kelompok tani untuk mengelola kebun karet, jagung dan kelapa sawit, sebagai pegangan hidup baru.

Namun, pertanian tak bisa lagi sepenuhnya dilakukan di hutan Semenanjung Kampar karena serangan babi.

Akibat babi tersebut, Yusuf mengatakan, sedikitnya terdapat 20 ribu hektare lahan tidur bekas ladang pertanian yang terbengkalai di Semenanjung Kampar.

Salah satu ladang padi peninggalan nenek moyang yang masih tersisa berada di Desa Teluk Binjai yang luasnya sekitar 600 hektare. Ladang tersebut, ujarnya, cukup produktif karena bisa menghasilkan sekitar 3,8 ton gabah kering giling pada panen tiap enam bulan sekali dalam setahun.

Ancaman baru
Keinginan warga Teluk Meranti untuk kembali bertani mendapat tantangan baru yakni keberadaan perusahaan industri kehutanan di Semenanjung Kampar.

Dari luasan hutan rawa gambut Semenanjung Kampar yang mencapai 700 ribu hektare, sekitar 300 ribu hektare di antaranya sudah beralih fungsi menjadi kebun akasia dan kelapa sawit.

Muhammad Yusuf mengatakan, keinginan warga Teluk Meranti untuk kembali ke pertanian sempat mendapat "angin segar" ketika Pemerintah Provinsi Riau menetapkan daerah itu dalam program cetak sawah seluas 125 hektare dalam Program Operasi Pangan Riau Makmur pada tahun 2009.

Sebanyak 12 karung ukuran 50 kilogram berisi benih padi bantuan pemerintah juga telah digelontorkan untuk setiap kelompok tani di sana.

Tapi, impian tersebut kandas karena ternyata lahan yang masuk dalam rencana cetak sawah di Semenanjung Kampar tumpang tindih dengan konsesi perusahaan bubur kertas raksasa di Riau.

"Seharusnya program cetak sawah dilakukan pada bulan Maret lalu, tapi sekarang gagal. Karung benih akhirnya cuma bisa disimpan dan sekarang benihnya mulai rusak," kata Yusuf.

Ia mengatakan, ekspansi besar-besaran dari pembangunan kebun akasia perusahaan mencaplok habis hutan Semenanjung Kampar. Keberadaan perusahaan kini mengancam lahan pertanian yang tersisa, karena perizinan yang dikuasai perusahaan itu hingga mencapai bibir Sungai Kampar yang menghadap ke permukiman warga.

Bahkan, warga yang bermata pencaharian nelayan juga mulai sulit mendapatkan ikan karena pembukaan kanal gambut di Semenanjung Kampar membuat air asam gambut mengalir ke sungai.

"Warga tak tahu sama sekali kalau hutan itu sudah dikuasai perusahaan. Kami juga tak mengerti bagaimana izin perusahaan bisa ada tanpa ada persetujuan warga setempat," katanya.

Karena itu, Yusuf mengatakan warga sudah sepakat untuk menolak ekspansi perusahaan di Semenanjung Kampar karena hal itu dinilai akan membunuh warga secara perlahan-lahan.

Penolakan secara terbuka terhadap keberadaan perusahaan sayangnya tidak berjalan bersama-sama, terutama dalam hal dukungan dari aparatur desa. Hal tersebut mengakibatkan timbulnya ketegangan antara warga dan aparat desa yang dinilai tidak membawa aspirasi warga setempat.

Seperti yang terjadi di Desa Teluk Binjai, tempat sebanyak 167 warga menandatangani surat pernyataan pada 7 Oktober lalu yang tanpa menyertakan aparat desa setempat.

Surat pernyataan yang ditujukan kepada perusahaan bubur kertas yang berkedudukan di Singapura itu intinya berisi penolakan pembukaan kebun akasia baru di daerah administratif Desa Teluk Binjai di Semenanjung Kampar.

Di dalamnya, warga juga menolak surat pernyataan dukungan dari aparat desa dan tokoh masyarakat Teluk Binjai berkaitan tentang beroperasinya perusahaan di wilayah Semenanjung Kampar karena dinilai tidak mewakili seluruh masyarakat.

"Kami meminta kepada perusahaan segera menghentikan operasi pembukaan hutan di wilayah Teluk Binjai sampai ada kesepakatan dengan masyarakat keseluruhan," kata tokoh pemuda Bahari K.

Ia mengatakan, pernyataan dukungan dari aparat desa telah menyakiti hati warga karena sebelumnya warga telah sepakat untuk mengusulkan agar daerah Teluk Binjai di hutan rawa gambut Semenanjung Kampar dijadikan hutan desa.

Dalam musyawarah desa, warga telah sepakat agar luasan 5.000 hektare di Semenanjung Kampar diusulkan sebagai hutan desa karena masuk ke dalam wilayah administrasi Desa Teluk Binjai yang mencapai 24.116 hektare.

Fungsi hutan Semenanjung Kampar sebagai hutan desa sangat penting karena kawasan hutan yang tersisa di daerah Teluk Binjai semakin sempit.

Lokasi Desa Teluk Binjai terjepit di antara kawasan Suaka Marga Satwa Kerumutan dan sejumlah konsesi perusahaan bubur kertas, sedangkan warga juga memanfaatkan lahan di tepian Sungai Kampar di Semenanjung Kampar sebagai tempat bercocok tanam padi.

Sementara itu, dari pandangan aktivis lingkungan internasional Greenpeace, ekspansi dari perusahaan dan pemberian izin oleh pemerintah harus segera dihentikan di Semenanjung Kampar.

Juru Kampanye Hutan Greenpeace Asia Tenggara Bustar Maitar menilai bahwa masyarakat setempat perlu dibina untuk dapat mengelola kelestarian hutan Semenanjung Kampar demi masa depan mereka.

"Perlu ada konsep pembangunan berkelanjutan untuk mengelola Semenanjung Kampar dan yang dapat mensejahterakan masyarakat tanpa merusak hutan," katanya.

Menurut dia, pelestarian hutan rawa gambut Semenanjung Kampar bukan hanya penting untuk masyarakat tempatan, tapi juga berfungsi penting bagi penyelamatan Bumi dari ancaman pemanasan global.

"Semenanjung Kampar memiliki keunikan karena merupakan daerah dengan gambut dalam yang merupakan satu wilayah karbon paling besar," katanya.

Nasib warga Teluk Meranti di tepian Semenanjung Kampar kini seakan berada di titik nadir. Kekayaan yang ada di sekeliling mereka belum bisa mengangkat kesejahteraan. (*)

Oleh FB Anggoro
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2009