Sukabumi (ANTARA News) - Sengketa wilayah antara warga adat kasepuhan Banten Kidul, Kabupaten Sukabumi dan Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) akhirnya menemukan titik terang dari pihak Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Sukabumi.

Pihak BPN menyatakan bahwa untuk tanah wilayat (wilayah) adat yang saat ini dikelola dan digarap oleh masyarakat adat tidak perlu dibuatkan sertifikat, tetapi harus ada pengakuan dari pemerintah daerah setempat.

"Untuk itu, perlu adanya peraturan daerah (perda) untuk mengakui keberadaan tanah wilayat itu," kata Kasie Pengendali dan Pemberdayaan Masyarakat, Andi Kondadio kepada ANTARA, Jumat.

Ia menambahkan, apabila perda tentang pengaturan batasan tanah wilayat sudah turun maka, pihaknya akan menjadikan perda tersebut bukti tentang keberadaan tanah wilayat milik tiga kasepuhan di Kabupaten Sukabumi.

Tiga kasepuhan tersebut adalah, kasepuhan sirnaresmi, ciptagelar, dan ciptamulya.

"Dengan adanya perda merupakan bahan untuk kami memberi batasan wilayah kepada pihak lain agar tidak wilayah tersebut tidak "dicatut " pihak lain," tambahnya.

Namun, tanah wilayat tersebut tidak perlu dibuatkan sertifikat hak kepemilikan tanah. Karena apabila dibuatkan sertifikat, khawatir akan ada tanah wilayat yang akan dijual kepada pihak lain.

Hal itu akan menjadi kontroversi dan bisa saja tanah wilayat tersebut berkurang serta tidak menutup kemungkinan akan hilang karena dijual. "Sehingga tidak perlu adanya sertifikat, perda saja sudah cukup," jelas Andi.

Sementara itu, seseupuh adat kasepuhan Banten Kidul Abah Ugis menuturkan, pihaknya menginginkan untuk segera diturunkan perda yang mengatur batas wilayah tanah wilayat milik tiga kasepuhan.

Untuk itu, pihaknya meminta pemerintah daerah dan legislatif segera membuat perda tersebut.

"Kami sangat membutuhkan perda tersebut, karena keberadaan kami saat ini terancam akibat pembatasan wilayah yang dinilai merugikan kami," tuturnya.

Ugis menandaskan, masyarakat saat ini juga tidak bisa melakukan aktivitas seperti biasanya, karena ada kekhawatiran dari warga, apabila mengambil sesuatu di hutan yang saat ini menjadi milik pihak TNGHS.

Untuk itu perda tersebut harus segera diturunkan agar warga ada bisa bebas melakukan aktivitasnya seperti biasa lagi, katanya.(*)

Pewarta:
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2009