Jakarta (ANTARA News) - Daya saing industri kimia hulu dan hilir menurun akibat krisis listrik yang mendongkrak biaya produksi dan dikhawatirkan kinerja industri tersebut semakin anjlok pascapenerapan perdagangan bebas ASEAN (AFTA) 1 Januari 2010.

"Sekitar 2.000 perusahaan plastik terkena pemadaman listrik PLN. Akibatnya mesin produksi rusak, bahan baku tidak terpakai, dan pesanan ekspor batal," kata Wakil Ketua Umum Asosiasi Industri Plastik Hilir INAplas, Aman Lie di Jakarta, Jumat.

Ia mengatakan sejak Mei 2008 industri plastik mengalami kerugian sekitar Rp1 triliun akibat krisis listrik yang memicu pemadaman bergilir oleh PT PLN (persero).

Bahkan dalam tiga minggu terakhir PLN kembali melakukan pemadaman bergilir yang mengganggu produksi industri plastik di Jakarta, Tangerang, Bogor, dan Cikarang.

Dia menilai kompensasi yang diberikan PLN sebesar 10 persen dari total pemakaian atau sebesar Rp29.500 per kwh masih sangat kecil dibandingkan nilai kerugian dan naiknya biaya biaya produksi akibat pemadaman listrik. "Jadi kompensasi itu tidak ada artinya," ujar Aman.

Ia menjelaskan industri plastik beroperasi 24 jam dan jika ada pemadaman listrik PLN secara mendadak maka mesin produksi terancam rusak, padahal sebagian besar mesin diimpor dari Eropa dengan investasi yang sangat besar.

Hal senada dikemukakan Ketua Bidang Olefin INAplas (Asosiasi Industri Olefin Aromatik dan Plastik Indonesia) Suhat Miyarso.

Ia mengatakan akibat krisis listrik sebagian industri kimia hulu mulai beralih menggunakan genset. Akibatnya, lanjut dia, biaya produksi meningkat, menjadi 60 dolar AS per ton. Sedangkan bila menggunakan listrik dari PLN, biaya produksi kimia hulu hanya sebesar 25 dolar AS per ton.

"Jika biaya produksi tinggi, kami khawatir tidak bisa bersaing dengan produk impor," ujarnya.

Apalagi, kata Suhat, industri kimia juga harus menghadapi semakin terbukanya pasar tanpa hambatan tarif menyusul akan diterapkannya Perdagangan Bebas ASEAN (AFTA) pada 2010 dan FTA ASEAN-China.

Berdasarkan data INAplas ketika tarif produk kimia turun dari 40 menjadi 20 persen pada 1998, impor produk kimia hulu sampai hilir dari sesama negara anggota ASEAN melonjak 44 persen dan ketika tarif bea masuk turun lagi menjadi 10 persen pada 20044 impor naik menjadi 50 persen.

Kemudian ketika tarif bea masuk turun lagi sampai saat ini sebesar lima persen, impornya telah mencapai 98 persen.

"Lonjakan impor tersebut tidak hanya pada bahan baku, tapi juga semua produk jadi. Pada saat yang sama pemerintah tidak bisa menghapuskan hambatan bisnis di dalam negeri, sehingga ada dua perusahaan kimia asing yang hengkang seperti Dow Chemical," ujar Suhat.(*)

Pewarta:
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2009