Jakarta (ANTARA News) - Ketua Kelompok Fokus Koordinasi Fiskal dan Moneter Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) Sri Adiningsih menyatakan bahwa pekerjaan rumah (PR) mendesak yang dilakukan pemerintah terkait perjanjian perdagangan bebas (FTA) bukan membuka seluas-luasnya pasar Indonesia tetapi meningkatkan produktivitas dan daya saing.

"PR-nya bukan membuka pasar tapi bagaimana meningkatkan produktivitas dan daya saing," kata Sri Adiningsih di sela Seminar Indonesia Economic Outlook 2010 di Jakarta, Senin.

Ia menyebutkan, Indonesia juga masih bisa melakukan negosiasi dalam pelaksanaan FTA sehingga Indonesia tidak dalam posisi yang dirugikan dalam perjanjian itu.

Menurut dia, dari segi produktivitas dan daya saing sebenarnya Indonesia tidak terlalu buruk karena sejak 2000 hingga 2008 masih ada peningkatan produktivitas dan daya saing hingga 1,5 persen.

"Ini memang menjadi tidak ada artinya jika dibanding dengan China yang meningkat hingga mencapai sekitar 4 persen," kata Ekonom Universitas Gadjah Mada (UGM) itu.

Ia juga menyebutkan bahwa hingga 2007 sebenarnya Indonesia masih memiliki posisi surplus dalam perdagangan dengan China, namun kemudian mulai mengalami defisit pada tahun 2008.

Berdasar studi yang dilakukannya di Surakarta, Adiningsih juga menyebutkan bahwa sejumlah pengusaha kecil di wilayah itu harus menghadapi kenyataan pahit karena tidak mampu bersaing dengan barang-barang impor dari China sehingga harus gulung tikar,

Menurut dia, tahun 2010 akan menjadi tahun spesial bagi Indonesia karena selain polemik Bank Century, Indonesia juga akan menyambut berlakunya FTA ASEAN-China.

Sementara itu mengenai kondisi ekonomi tahun 2010, Sri Adiningsih mengatakan bahwa ekonomi Indonesia tahun depan diperkirakan akan menunjukkan perbaikan namun masih rapuh. Selain faktor non-ekonomi di dalam negeri, pengaruh regional juga akan memberikan kontribusi pada perbaikan ekonomi.

Sri Adiningsih sepakat dengan ekonom lain bahwa masa-masa terburuk krisis telah terlampaui di tahun 2009. Tapi di sisi lain pemulihan ini diikuti jatuhnya perekonomian di negara lain.

Ia mencatat setidaknya ada beberapa perkembangan ekonomi yang harus diwaspadai seperti krisis Dubai World dan mulai bangkrutnya perbankan Austria dan Yunani. Perkembangan itu bisa saja muncul di tempat lain.

Faktor non-ekonomi di domestik bisa membuat kenaikan pertumbuhan ekonomi tak sebesar target pemerintah sehingga pemerintah harus bisa meyakinkan investor persoalan domestik akan diselesaikan dengan baik, adil, dan obyektif.

"Faktor non ekonomi pengaruhnya besar, seperti kasus Bank Century. Kalau pemerintah tidak bisa menyelesaikan dengan baik dan objektif, kalau sampai berlarut-larut dan solusinya tidak memberikan kepastian maka pengaruhnya akan besar sekali," kata Kepala Pusat Studi Asia Pasifik UGM itu.(*)F

Pewarta:
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2009