Nusa Dua, Bali (ANTARA News) - Ketua Eksekutif Jaringan Konvensi Basel, Jim Puckett, menyatakan setiap hari tidak kurang 5.200 kontainer limbah berbahaya didaratkan di Hong Kong untuk kemudian dikirimkan ke negara pengimpor limbah.

"Ada yang dilakukan secara legal namun tidak kurang yang ilegal. 80 persen dari angka kontainer itu berasal dari Amerika Serikat untuk dikirim ke China. Bahkan baru-baru ini ada sembilan kontainer limbah berbahaya ilegal dikirim dari Massachusetts ke Indonesia," katanya, kepada pers, di Nusa Dua, Bali, Senin.

Dia berada di Bali untuk menghadiri dua forum internasional, yaitu Konferensi Lanjutan Istimewa Para Pihak Konvensi Basel, Rotterdam, dan Stockholm (ExCOP), pada 22-24 Februari dan Pertemuan ke-11 Sesi Khusus Dewan Pemerintahan UNEP/Pertemuan Menteri Lingkungan Hidup Global (GC-UNEP/GMEF) pada 24-26 Februari.

Konvensi Basel mengatur pengendalian perlintasan dan perpindahan limbah berbahaya dan turunannya. Konvensi Rotterdam mengatur prosedur perdagangan internasional substansi kimiawi berbahaya dan pestisida sedangkan Konvensi Stockholm mengatur polutan organik yang mampu bertahan lama di alam.

ExCOP sendiri telah dibuka secara resmi oleh Menteri Negara Lingkungan Hidup Indonesia, Gusti Muhammad Hatta, yang pernah menjadi Presiden COP 9 Konvensi Basel.

ExCOP di Bali kali ini juga akan dipimpin bersama oleh Ketua COP 4 Konvensi Rotterdam, Judy Beaumont, dari Afrika Selatan, dan Ketua COP 4 Konvensi Stockholm, Gholamhossein Dehghani, dari Iran.

Indonesia sebagai tuan rumah kali ini memiliki target untuk mengajukan proposal penggabungan sistem administrasi dan program kerja ketiga protokol yang dalam banyak hal cukup berbeda.

Ketiga protokol yang telah diratifikasi oleh puluhan negara serta diikuti puluhan negara lain itu bersekretariat di satu gedung yang sama di Jenewa. Hal ini pula yang mendorong agar penyamaan prosedur administrasi dan penyusunan program kerja itu bisa terwujud.

Menurut Puckett, keberhasilan kerja mekanisme dalam Konvensi Basel telah terbukti. "Salah satunya pada kasus sembilan kontainer dari AS ke Indonesia itu. Oleh Indonesia, limbah berbahaya itu dikirim kembali ke negara asal sekalipun AS tidak turut menandatangani konvensi itu," katanya.

Sementara itu, Wakil Sekretaris Jenderal PBB/Sekretaris Eksekutif Program Lingkungan PBB, Achim Steiner, menyatakan, seluruh industri elektronika di dunia harus bertanggung jawab tentang limbah elektronika yang jumlahnya pertumbuhannya mencapai 40 juta ton setahun.

"Jelas angka itu besar sekali, bukan hanya karena limbahnya saja tetapi juga karena langsung bisa membahayakan manusia. Industri harus bisa mengembangkan teknologi pemusnahan limbah elektronika mereka," katanya.

Dia memberi angka, di China, limbah dari telefon seluler bekas mencapai 2,3 juta ton pada 2010 dan di Amerika Serikat hingga tiga ton pada tahun sama. India menghasilkan limbah lemari es bekas hingga 100.000 ton pada 2008, dan 11.400 ton di Kenya.

Angka-angka yang diungkap dalam laporan kerja Ketua Komisi Konvensi Basel UNEP, Katarina K Piery, itu cenderung meningkat tajam dalam empat tahun terakhir. Hal itu disumbang agresivitas pemasaran dan pembaruan produk-produk elektronika oleh industri di seluruh dunia.

"Membangun sistem daur ulang domestik dan tepat itu sangat rumit dan terkait pembiayaan, pun memerlukan transfer teknologi canggih dari negara maju ke negara berkembang. Ini jelas tidak mudah," kata Steiner.

Menurut dia, menerapkan satu sistem pengolahan limbah elektronika yang tepat bagi satu negara bisa mengurangi secara berarti emisi gas rumah kaca, menambah lapangan kerja, dan menghemat pemakaian sejumlah besar logam penting.(A037/A038)

Pewarta:
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2010