efek stigma
Melaporkan atau membawa ODGJ ke fasilitas kesehatan pun seperti pisau bermata dua, bisa sembuh namun embel-embel "pasien RSJ" tetap melekat selamanya. Hal ini kemudian akan berpengaruh pada masa depan ODGJ.

Misalnya saja, seseorang yang pernah mengalami gangguan kejiwaan melamar kerja di sebuah perusahaan, pada curriculum vitae terdapat riwayat sakit jiwa. Tentu orang tersebut tidak akan menjadi kandidat yang utama.

Dalam pergaulan sehari-hari, mantan ODGJ pun akan sulit kembali ke lingkungan sosial, karena ada stigma kemungkinan besar akan kambuh gangguan jiwanya. Ketidakmampuan tidak bisa berkomunikasi dengan baik atau malu akan masa lalunya, juga menjadi penyebab ODGJ sulit kembali di berada di tengah masyarakat.

"Ada stigma bahwa ODGJ itu enggak bisa sembuh dan segala macam, padahal kalau di luar negeri bisa di atasi dengan perawatan yang baik," ujar Direktur Kesehatan dan Gizi Masyarakat Kementerian PPN/Bappenas, Pungkas Bahjuri Ali, STP, MS, Ph.D.

pentingnya informasi
Salah satu penyebab banyaknya stigma negatif tentang gangguan jiwa atau kesehatan mental karena kurangnya informasi yang jelas mengenai penyakit ini. Gangguan jiwa belum menjadi isu utama layaknya masalah kesehatan lain seperti stunting, TBC, virus corona, kanker payudara dan lainnya.

Dosen Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, Sherly Saragih Turnip S.Psi, M.Phil., Ph.D, Psikolog mengatakan salah satu cara untuk mempopulerkan masalah kesehatan mental adalah dengan "membonceng" isu besar lainnya.

Misalnya, ketika masuk sebuah komunitas ibu-ibu PKK yang berada di desa-desa, isu kesehatan mental bisa dikaitkan dengan masalah kehamilan dan melahirkan, atau pendidikan.

Untuk menggalakkan kampanye kesehatan mental tidak harus langsung pada tujuan utamanya, tapi bisa disisipi pada bagian tertentu dengan bahasa yang mudah dimengerti oleh masyarakat. Jika tidak, masyarakat akan "kabur" saat mendengar kata "gangguan jiwa" khususnya untuk daerah-daerah terpencil.

"Bisa masuk dengan pintu apa saja yang terbuka, yang dianggap menjadi masalah pada komunitas tentu. Semua masalah baik sosial, fisik dan psikologi, ketiganya akan berkontribusi untuk menentukan kita sehat atau tidak," kata Sherly.

Baca juga: 40 Persen warga Korsel alami masalah kesehatan mental akibat COVID-19

Baca juga: Cara jaga hubungan baik dengan kawan meski tidak berjumpa

Baca juga: Ribuan orang di 60 negara dibelenggu karena masalah kesehatan mental

Editor: Ida Nurcahyani
Copyright © ANTARA 2020