Jakarta (ANTARA News) - Suara manis mengalun indah dengan ritme agak cepat. Lagunya, Ayam den Lapeh dengan iringan musik akustik. Ini musik perintang waktu menjelang Pidato Kebudayaan Anas Urbaningrum dengan tajuk Membangun Budaya Demokrasi di Jakarta, Minggu (16/5).

Latar panggung menampilkan citra yang disemprotkan dari proyektor berupa foto diri si tuan rumah dengan mengenakan kacamata transparan, senyum dengan bibir sedikit terbuka, empat gigi depannya mengintip, berbaju batik biru sutera dengan corak bernuansa putih dengan latar bendera merah putih.

Lagu daerah dan lagu perjuangan silih berganti. Pukul 13.00 WIB acara dimulai.

Meski tidak terkesan sebagai kampanye menjelang Konggres II Partai Demokrat (PD) di Bandung (21/5) tetapi publik bisa merasakan acara ini adalah upaya samar untuk merebut kursi PD 1.

Tidak seperti lawan kuatnya, Andi Malarangeng yang berkampanye secara terbuka dan menggandeng kemana-mana Edi Baskoro (Ibas) --bungsu dari SBY dan Bu Ani Yudhoyono--, Anas melakukannya secara diam-diam, bahkan terkesan malu-malu.

Berbaju kemeja katun putih, celana jins, seakan mewakili jamannya, kaum muda, Anas tampil sederhana, padahal pada momen itu dia harus menyampaikan pidato kebudayaan.

Tampil sebagai sosok orang muda --untuk jagad politik Indonesia, usia 41 tahun masih tergolong muda-- agaknya itulah citra yang ingin ditanamkan pendukungnya. Tidak hanya itu, Anas juga dicitrakan sebagai orang yang sederhana, anak desa yang lahir dari orang tua berprofesi guru agama dan petani, pintar, memiliki jiwa kepemimpinan dan pemikir.

Mantan Ketua Umum PB HMI itu lahir di desa Ngaglik, Srengat Blitar, Jatim, pada 15 Juli 1969. Jiwa kepemimpinan sudah terlihat sejak menjadi ketua kelas selama enam tahun berturut-turut di bangku SD.

Ryaas Rasyid sudah memintanya sejak awal untuk menjadi Wakil Ketua Umum Partai Demokrasi Kebangsaan (PDK), tetapi ditolaknya. Ryaas mengesankan Anas sebagai figur yang tekun, baik, santun dan matang. Rekannya di KPU, Valina Singka menyatakan Anas "cool" dan tenang. Rekannya di HMI, Viva Yoga Maulana menilai Anas sebagai sosok intelek dan nyantri.

Semua label yang dikenakan pada diri ayah dari empat anak itu, agaknya mirip dengan hasil survei CIRUS Surveyors Group yang menyimpulkan, kandidat Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum itu paling memiliki jiwa kepemimpinan, demokratis, dan paling trampil dalam komunikasi politik dibandingkan dua kandidat lainnya.

Survei dilakukan terhadap 150 responden yang merupakan "opinion leader" di 15 provinsi di Indonesia pada periode 24-30 April 2010.


Faktor SBY

Apapun label yang dikenakan pada Anas, perjuangannya untuk menjadi PD 1 alias Ketua Umum partai yang didirikan Susilo Bambang Yudhoyono itu tidak mudah. Lawannya, Andi Malarangen yang menurut survei hanya unggul dalam penampilan, didukung oleh Ibas. Disebut-sebut pula bahwa SBY merestui Andi yang diwujudkan dalam dukungan Ibas pada Andi.

Meski SBY hingga saat ini belum mengeluarkan pernyataan yang tegas atas pilihan politik pada ketiga calon ketua umum PD, tetapi kekhawatiran atas dukung mendukung itu layak dipertimbangkan.

Bagaimanapun SBY adalah sosok yang didengar dan dipanuti di lingkungan PD. Pilihan politiknya bisa mendorong peserta konggres yang memiliki hak suara untuk memilih calon ketua umum yang sama.

Anas menilai publik mengharap SBY mengayomi semua calon, Namun, jika SBY menentukan pilihannya pada salah satu calon maka hal itu dinilainya sebagai bagian dari proses politik yang harus dipahami.

Lalu, bagaimana jika SBY mengisyaratkan agar para pemilih memilih salah satu kandidat? Anas menepis kemungkinan itu dengan mengatakan "SBY adalah sosok yang jauh lebih bijak daripada kita yang muda, muda ini."

Di samping itu, hal lain yang ditakutkan pada setiap konggres atau muktamar sebuah partai adalah politik uang. Uang muncul dengan beragam bentuk, baik yang terang-terangan maupun dalam bentuk siluman, misalnya pengganti ongkos transpor.

Anas memberi perhatian cukup serius pada politik uang tersebut. Dia mengatakan politik uang sebagai virus yang harus diamati, karena anti prestasi, melahirkan demoralisasi dan orang cenderung pragmatis. Dia berharap politik uang tidak memiliki tempat di Konggres II PD.

Karena itu pula agaknya dia menekan perlunya budaya politik, jika tidak maka politik akan kehilangan sisi substantifnya yang justeru akan membahayakan demokrasi.


Sang Dirigen

Sikap "positive thinking" memang kelebihan lain dari seorang Anas, itu pula agaknya yang menjadikan temannya beragam. Pada acara Pidato Kebudayaan itu hadir Ahmad Mubarok, Hardi sang pelukis, Indra Jaya Piliang (Partai Golkar), Ruhut Sitompul ((PD), Eva Kusuma Sundari (anggota DPR PDIP), Ana Muawanah (DPR PKB), Subagyo (DPR Golkar), juga sejumlah akademisi.

Tetapi rekan yang paling banyak hadir adalah wartawan media, cetak dan elektronik. Wartawan foto berusaha mengabadikan peristiwa tersebut dengan berbagai cara untuk mendapatkan foto terbaik. Seperti umum ketahui, foto seremoni bernilai berita rendah dibandingkan foto peristiwa.

Agaknya, karena itu pula, setiap tangan Anas bergerak ke atas, ke depan, ke samping atau ke mana saja, maka suara jepretan berkejaran. Tangan suami dari Attiyyah Laila seperti dirigen yang menggerakkan fotrgrafer untuk memainkan suara jepretaannya.

Terlepas dari itu, secara politik, berdirinya sebuah partai bertujuan untuk meraih kekuasaan. Aktivis partai berjuang mencapai jabatan tertinggi (Ketua Umum) untuk merebut jabatan eksekutif tertingi, yakni presiden.

Sebagai partai pemenang Pemilu 2009 dengan perolehan suara sebanyak 20,85 persen, para pengurus dan aktivis PD layak memperhitungkan figur mana yang pantas diajukan sebagai kandidat presiden pada Pemilu 2014, setelah pemerintahan SBY berakhir.

PD layak belajar dari pengalaman partai tengah lainnya. Bagaimana sebuah partai tidak yakin mencalonkan ketua umumnya dengan pertimbangan beragam, diantaranya bukan orang Jawa. Meski banyak pihak mengatakan bahwa faktor suku hendaknya tidak menjadi penghambat bagi seseorang untuk dicalonkan.

Argumentasi tersebut benar adanya, tetapi fakta di lapangan mengatakan lain. Pemilih Indonesia saat ini masih mempertimbangkan suku, agama dan ras.

Sejumlah calon presiden mencoba menerobos anggapan tersebut, tetapi fakta berbicara lain. Seorang Jusuf Kalla terhempas pada Pemilu 2009 dengan perolehan suara yang jauh lebih kecil dari pemenang kedua.

Begitu juga calon-calon luar Jawa lainnya yang kemudian "cukup puas" jika menjadi calon wakil presiden saja, mendampingi calon presiden yang beretnis Jawa.

Lalu, akan kemanakah arah Partai Demokrat pada Pemilu 2014? Hal itu dapat dibaca setelah konggres menentukan pemimpinnya. Akankah partai terbesar itu mencalonkan kandidatnya sebagai calon presiden, atau cukup wakil presiden saja? semuanya, terserah pada peserta yang memiliki suara.(*)
(T.E007/R009)

Oleh Oleh Erafzon SAS
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2010