Seoul (ANTARA News) - Korea Utara tidak akan menikmati lagi siaran gratis Piala Dunia 2010 Afrika Selatan akibat ketegangan yang terjadi menyusul tenggelamnya kapal perang Korea Selatan beberapa waktu lalu.

Korea Utara untuk pertama kalinya setelah 44 tahun, kembali tampil di putaran final Piala Dunia 2010 dan berharap bisa mengulangi prestasi menembus babak perempat final di Inggris pada 1966.

Pejabat Korea Selatan di Seoul, Selasa, memang tidak secara resmi menuduh Korea Utara menenggelamkan kapal perang mereka pada Maret lalu, tapi setidaknya menyatakan keyakinan bahwa Pyongyang secara sengaja menyerang dengan torpedo kapal Cheonan saat terjadi pertikaian di perbatasan.

"Sehubungan dengan aksi provokatif terhadap Korea Selatan, pemerintah berpendapat bahwa Utara harus membayar harga sesuai dengan yang berlaku secara internasional," demikian harian JoongAng Ilbo mengutip pejabat pemerintah.

Menurut FIFA, SBS, pemegang hak siar Piala Dunia, mempunyai hak untuk melakukan siaran di Semenanjung Korea, tapi belum diketahui secara pastikan jika China juga akan membagi siaran bersama Korea Utara.

Pada Piala Dunia 2006 lalu, Korea Selatan berideologi liberal, memberikan hak siar senilai 132.500 dolar AS kepada Korea Utara secara gratis, termasuk penggunaan satelit.

Keputusan Korea Selatan untuk menutup siaran langsung bisa mengecewakan masyarakat dan sekaligus pemerintah Korea Utara melarang siaran dari luar, kecuali siaran sepak bola dari Eropa dan Amerika Latin.

Menurut para pembelot asal Korea Utara, meski sebagian besar masyarakat di Utara hidup dalam kemiskinan dibanding saudara mereka di selatan, mereka dipastikan ingin ketinggalan berita Piala Dunia 2010, apalagi tim mereka ikut bertanding.

Hubungan antara kedua Korea tersebut secara teknis sebenarnya masih dalam kondisi perang dan ketegangan akhir-akhir ini semakin meningkat sejak Lee Myung-bak tampil sebagai presiden pada 2008.

Myung-bak memutuskan untuk memotong bantuan kepada negara tetangga tersebut, sehingga Pyongyang kemudian menuduh Myung-bak sengaja menghancurkan peluang untuk berdamai.

Reuters/a032/T009

Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2010