Jakarta (ANTARA News) - Sergapan berbagai aksi kekerasan di beberapa wilayah Indonesia yang jauh dari gelora cinta dan hadangan dari gelora alam yang tidak bersahabat, berujung kepada pembedaan antara logika cinta yang baku-sayang dan logika gangster yang baku-bunuh.

Logika berurusan dengan ketepatan bernalar. Contohnya, jika semua benda yang dipanasi memuai, dan ban mobil itu dipanasi dalam perjalanan, maka disimpulkan bahwa, ban mobil itu memuai.

Kalau semua pegawai negeri adalah penerima gaji, dan semua pegawai swasta adalah penerima gaji, maka tidak dapat disimpulkan bahwa pegawai negeri adalah pegawai swasta.

Logika gangster pernah mengguncang New York dan Chicago, melahirkan dan membesarkan sejumlah jawara nomor wahid.

Sebut saja, Dion O`Banion, Johnny Torrio, Al Capone, Joe Masseria, Salvatore Maranzano, Vito Genovese. Ingin menjejak drama demi drama berlumur aksi balas dendam dari "Cosa Nostra", silakan membaca novel garapan Mario Puzo berjudul "The Godfather".

Oknum gangster kala itu mengelola bisnis narkoba, perjudian, pelacuran, dan minuman keras. Mereka menangguk uang sebanyak-banyaknya dengan memeluk seerat-eratnya dogma tujuan menghalalkan cara.

"Cosa Nostra" memahami bahwa pelacuran tampil sebagai profesi tertua di dunia, sementara gangsterisme tampil sebagai profesi kedua tertua sejagat. Gangsterisme anak sah dari logika gangster.

Para kriminolog bersibuk mencari pemicu munculnya gangsterisme kemudian menemukan bahwa para aktor gangster bukanlah iblis tanpa hati.

Mereka manusia yang dapat berbahasa dan berbelas kasih sebagai layaknya manusia. Dengan melakoni hidup di perkampungan kumuh dan pemukiman padat penduduk, plus menelan aneka masalah keluarga, seorang gangster menuntut keadilan paling dasariah yakni mata ganti mata, gigi ganti gigi.

Bagi para gangster, keadilan semata-mata urusan privat. Dan balas dendam terletak di tangan masing-masing orang. Mereka mengajukan pertanyaan, mengapa masyarakat bisa ditipu dan atas dasar apa penipuan itu dijalankan. Orang bisa dikelabui dan ditelanjangi kalau orang itu tidak tahu.

Menurut pengamat filsafat GP Sindhunata SJ dalam bukunya Kambing Hitam, orang bisa dikelabui kalau orang itu tidak tahu dan tidak paham. Pengelabuan menyangkut ketidaktahuan dan ketidakpahaman. Akal-akalan terjadi dalam wilayah kegelapan dan ketidakpastian.

New York dan Chicago dibakar gangster karena orang saat itu diperlakukan sebagai "tikus" yang dapat dibasmi dan dianggap sebagai hewan buruan. Pada 1958, Hong Kong dibayangi aksi keji para gangster. Salah satunya, keluarga pedagang kaya Ko Sun Wei bersama empat anaknya dihabisi seketika di rumahnya di Kowloon. Terletak di antara laut dan dan bebukitan, Hong Kong dikenal sebagai kota padat penduduk.

Apakah logika gangster berkaitan dengan aksi kekerasan di sejumlah wilayah Indonesia belakangan ini? Ironisnya, di depan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan di Jalan Ampera Raya, tiga orang meregang nyawa dan sembilan orang mengalami luka-luka.

Ingatan kolektif publik disengat oleh catatan hitam dari aksi baku bunuh di sejumlah wilayah Indonesia.

Harian Kompas mencatat, pada 14 April 2010, penertiban bangunan Gapura Mbak Priok oleh Pemkot Jakarta Utara memicu bentrok antara massa dan satpol PP, 228 terluka dan tiga tewas. Pada 30 Mei, di Duri Kawasan Petir, Cengkareng dan Duri Kosambi, Jakarta Barat, satu orang tewas dalam bentrokan antarkelompok massa akibat tewasnya seorang anggota salah satu ormas.

Nyawa terus raib. Pada 9 Juli, satu orang tewas dan satu terluka dalam bentrokan antara warga Batu Merah Dalam dan batu Merah Kampung, Ambon Maluku. Kerusuhan itu dipicu kecelakaan lalu lintas.

Pada 29 Juli, terjadi bentrokan antara massa jemaah Ahmadiyah di Kuningan Jawa Barat, yang akan dibubarkan ormas Islam lainnya. Pada 26-29 September, lima orang tewas dan empat warga lainnya terluka dalam konflik antaretnis di Tarakan, Kalimantan Timur.

Rentetan aksi dari logika gangster itu jauh dari logika cinta. Bukankah logika cinta dihidupi dari lahan "hormon cinta" yang bisa menginduksi perasaan cinta, rasa percaya, dan kemurahan hati.

Kalau logika cinta memberi sentuhan sederhana dan ringan, seperti usapan, tepukan di pundak, atau pelukan antara teman atau pasangan, maka logika gangster memuat hormon "jarang dibelai atau jarang diusap oleh sesama". Logika cinta menawarkan persahabatan hangat, sementara logika gangster menjajakan dan mengobarkan bara kebencian.

Logika gangster mengejawantah dalam sikap menghabisi sesama karena beranggapan "mereka bukan dari kalangan kita". Logika cinta menawarkan dan menempuh ziarah hiduk "kekitaan" dengan bergandengan tangan, melewati momen persahabatan.

Berbekal logika cinta, remaja dapat leluasa mengkhayalkan buah hatinya dan menghabiskan hari-hari indah dengan mendengar nyanyian burung dekat jendela kamar, atau melewati kebersamaan.

Di mata kepolisian, logika gangster dibaptis sebagai premanisme. Dalam amatan kepolisian, premanisme terkait dengan masalah ekonomi, sosial, dan budaya.

Dilancarkanlah razia kepemilikan senjata. "Kita mungkin mengalami kendala karena kepemilikan senjata tidak bisa dilihat orang per orang," kata Kepala Badan Reserse Kriminal Mabes Polri Komjen Pol Ito Sumardi ketika ditemui setelah upacara peringatan Hari Kesaktian Pancasila di kompleks Monumen Pancasila Sakti, Lubang Buaya, Jakarta.

Sementara Kepolisian Daerah Metro Jakarta Raya (Polda Metro Jaya) mengintensifkan operasi pemberantasan premanisme. "Perlu pendekatan lebih khusus secara lintas sektoral," kata Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Polda Metro Jaya, Komisaris Besar Pol. Boy Rafli Amar.

Untuk menelanjangi logika gangster dan memberantas premanisme, ada pelajaran dari lintas sejarah dari Revolusi Perancis ketika menghadapi "teror agung" (la grande terreeur). September 1793, Robbespierre membersihkan rakyat Perancis dari semua anasir yang semangatnya dianggap tidak murni.

Atas nama kehendak rakyat, Robbespierre menghukum mati siapa saja yang dicurigai anti revolusi, tanpa melewati proses pengadilan dengan mengandalkan diri kepada logika bahwa kecurigaan rakyat selalu benar. Ujung-ujungnya "la guillotine" berbicara.

Kata didefinisikan oleh kata-kata lain yang maknanya sudah diketahui, misalnya, "lajang adalah orang yang belum menikah". Publik tahu arti kata "lajang", karena sudah tahu arti "menikah". Jika ekspresi bahasa tidak dapat ditelusuri ke pengalaman, maka itulah cara untuk menunjukkan bahwa ekspresi sudah tidak lagi bermakna.

Logika gangster sejatinya merujuk kepada matinya eskpresi berbahasa. Logika gangster bagaikan kata yang hanya mengacu kepada kata (regressi ad finitum), bukan kepada pengalaman keseharian. Ada logika gangster dalam berkata-kata.
(A024/ART)

Oleh A.A. Ariwibowo
Editor: AA Ariwibowo
Copyright © ANTARA 2010