Jakarta (ANTARA) - Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menyatakan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) Indonesia bisa menjadi rujukan dalam upaya untuk mempromosikan perdagangan komoditas bersertifikat lestari global.

Direktur Jenderal Pengelolaan Hutan Lestari KLHK, Agus Justianto dalam keterangan tertulis yang diterima ANTARA di Jakarta, Selasa, mengatakan Indonesia mengembangkan SVLK sebagai wujud komitmen untuk mempromosikan perdagangan kayu legal.

Sertifikat SVLK kemudian diakui sebagai lisensi Penegakan Hukum, Tata Kelola dan Perdagangan Sektor Kehutanan atau FLEGT (Forest Law Enforcement Governance and Trade).

Baca juga: Penekanan pada kelestarian produksi kayu perkuat SVLK di 2021

SVLK menjadikan produk kayu Indonesia bisa masuk pasar Uni Eropa tanpa harus melewati proses uji tuntas.

Agus mengatakan sistem verifikasi akuntabel yang melibatkan multipihak serta tawaran insentif yang diberikan penting untuk mempromosikan perdagangan komoditas pertanian di bawah skema Forest, Agriculture and Commodity Trade (FACT) Dialogue atau Dialog Hutan, Pertanian, dan Perdagangan Komoditas.

"Penerapan SVLK dan FLEGT bisa menjadi pelajaran dalam membuat peta jalan terkait perdagangan dan pasar di bawah FACT Dialogue," kata Agus pada sesi diskusi di Paviliun Indonesia pada Konferensi Perubahan Iklim COP26 United Nations Framework on Climate Chnage Conference (UNFCCC) di Glasgow, Skotlandia, Senin (8/11).

Menurut Agus, hal penting yang bisa dipelajari dari SVLK adalah perlunya kerja sama yang mengikat, adanya sistem verifikasi yang dikembangkan mulipihak, dan keharusan adanya insentif dari pasar. "Hal-hal ini pun masih menjadi sesuatu yang perlu terus dilakukan perbaikan," ujarnya.

FACT Dialogue adalah wadah bagi sejumlah negara yang bertujuan untuk mempromosikan perdagangan produk pertanian, kehutanan, dan komoditas berkelanjutan untuk mengendalikan deforestasi dan melindungi hutan.

Baca juga: Produk kayu RI ke EU di bawah AS dan China meski ada skema FLEGT

Indonesia bersama Inggris menjadi ketua bersama FACT Dialogue yang mewadahi negara produsen dan konsumen kunci komoditas, seperti daging sapi, kedelai, dan minyak sawit.

Senior Adviser Forest Governance, Markets and Clime (FGMC) Programme Department for Environment Food and rural Affairs (DEFRA) Inggris Simon Sharpe mengatakan berdasarkan pengalaman FLEGT dan SVLK Indonesia, keberterimaan pasar akan produk-produk bersertifikat lestari masih rendah.

Sementara itu, laju deforestasi global masih terjadi yang tidak hanya didorong oleh permintaan akan produk kayu, tapi juga komoditas lain.

"Oleh karena itu, kita perlu bekerja sama lebih luas lagi untuk mempromosikan komoditas lestari, seperti kedelai, coklat, daging sapi," tuturnya.

Associate Professor Forest ang Environment Policy Universitas Freiburg, Jerman, Metodi Sotirov menuturkan memperluas keberterimaan terhadap produk dengan lisensi FLEGT perlu terus dilakukan, misalnya dengan membuat kebijakan pembelian pemerintah yang harus berlisensi FLEGT.

Sedangkan Guru Besar Kebijakan Kehutanan Universitas Gadjah Mada (UGM), Ahmad Maryudi menekankan pentingnya memberi penghargaan layak pada upaya mencapai kelestarian yang sudah dilakukan melalui legalitas kayu.

"Reward (penghargaan) atas upaya untuk mencapai kelestarian harus diperjelas dan dipertegas, karena berdampak luas dari aspek ekonomi dan sosial," ujarnya.

Ia juga menuturkan pentingnya komitmen kedua belah pihak, produsen dan konsumen, terhadap produksi produk yang berkelanjutan.

Baca juga: Dukungan keberlanjutan pada SVLK Indonesia

Baca juga: Pemerintah Inggris: SVLK selaraskan pelestarian dan perdagangan produk kayu Indonesia


Menurut dia, ketika negara produsen sudah berkomitmen untuk hanya memproduksi produk yang legal dan lestari, negara konsumen juga harus berkomitmen untuk tidak menerima dan mencegah masuknya produk ilegal ke wilayah mereka.

Sementara  itu Deputy Executive Director of Council of Palm Oil Producting Countries (CPOPC), Dupito D Simamora mengatakan untuk mempromosikan produk sawit lestari, Indonesia telah mengembangkan skema Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO).

Standar kelestarian yang diterapkan terus menerus diperbarui menuju perbaikan. "ISPO mencakup perkebunan yang dikelola BUMN, swasta dan masyarakat luas," tuturnya.

Dupito menuturkan melakukan sertifikasi 16 juta hektare kebun sawit di Indonesia tidak lah mudah. Hingga saat ini telah ada 6 juta hektare dan 13 juta produk minyak sawit mentah telah memiliki sertifikasi ISPO.

Pewarta: Martha Herlinawati Simanjuntak
Editor: Endang Sukarelawati
Copyright © ANTARA 2021