Jakarta (ANTARA News) - Dalam berbagai literatur haji, thawaf adalah mengelilingi Ka`bah sebanyak tujuh kali. Putaran pertama dengan lari-lari kecil (jika mungkin), dan selanjutnya jalan biasa.

Thawaf dimulai dan berakhir di garis sejajar dengan batas Hajar Aswad. Posisi Ka`bah ketika Thawaf adalah disebelah kiri tubuh orang yang mengerjakan kegiatan ritual itu.

"Dahulu apabila Rasulullah melaksanakan thawaf yang pertama (Qudum, atau selamat datang), beliau berlari-lari kecil pada tiga putaran pertama dan berjalan biasa pada empat putaran selanjutnya".

Thawaf terdiri atas empat macam yaitu Thawaf Ifadah, Thawaf Qudum, Thawaf Wada dan Thawaf Sunat.

Para pemuka agama Islam atau ulama sepakat akan pemahaman bahwa Thawaf Ifadhah adalah rukun haji tidak boleh ditinggalkan karena dapat membatalkan haji. Thawaf ini juga disebut Thawaf Ziarah atau Thawaf Rukun.

Thawaf Qudum atau disebut juga Thawaf Dukhul yaitu thawaf pembukaan atau Thawaf selamat datang yang dilakukan pada waktu

jama`ah baru tiba di Mekah. Nabi Muhammad SAW setiap kali masuk Masjidil Haram lebih dulu melakukan thawaf sebagai ganti shalat tahiyyatul masjid. Karena itu, thawaf ini ada yang menyebut juga Thawaf Masjidil Haram.

Thawaf Wada`, yaitu diilakukan pada saat akan meninggalkan Mekkah yang biasanya dilakukan untuk menghormati Baitullah karena akan berpisah. Hukum Thawaf Wada adalah wajib, sehingga kalau tidak dikerjakan wajib membayar dam (menyembelih kambing).

Thawaf ini dikenal juga sebagai Thawaf Perpisahan. Thawaf wada merupakan penutup dari kewajiban-kewajiban haji yang oleh seorang haji wajib melakukannya sebelum pergi menuju negerinya atau meninggalkan kota Mekkah.

"Thawaf Qudum" yang diperkenalkan KH Syukri harap jangan dikaitkan suara minor yang dialamatkan kepada anggota Negara Islam Indonesia (NII). Sebab, beredar kabar, bahwa belakangan ini anggota NII pergi hajinya tak ke tanah suci Mekkah, tetapi ke Pondok Pesantren Al Zaytun, Subang, Jawa Barat. Tentu saja, jika pergi haji ke lokasi itu, thawafnya pun dilakukan di situ pula.

Meski kebenaran berita Al Zaytun sebagai kiblat anggota NII masih perlu didalami pihak berwajib, yang jelas penggunaan kini istilah thawaf sudah banyak diplesetkan orang banyak.

Misalnya, dahulu tatkala Pasar Seng masih ada -- yang hanya dikenal bagi jemaah haji Indonesia -- banyak calon haji dari tanah air melakukan "thawaf" di Pasar Seng seusai melakukan shalat di Masjidil Haram. Padahal, ketika di dalam masjid terbesar itu, banyak di antara jemaah haji melakukan thawaf sunnah.

Di kalangan anggota IPHI (Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia) dan umat Muslim lainnya, secara awam thawaf dianalogikan sebagai berkeliling. Entah mengelilingi apa saja. Kadang, orang berucap, "yuk, thawaf di mall".

Bagaimana dengan pengertian "thawaf qudum" di Pondok Pesantren Gontor, Ponorogo, Jawa Timur (Jatim) yang diperkenalkan pimpinan pondok itu, KH.DR. Ahmad Syukri Zarkasih.

Begini ceritanya. Pekan lalu, beberapa wartawan dari media cetak dan elektronik (AnTV, Tri Jaya, Republika dan Antara) bertandang ke pondok pesantren yang termasuk tua di Jawa Timur itu. Pondok Pesantren Gontor diperkirakan sudah berdiri 80 tahun silam.

Awalnya, para insan pers itu berkunjung ke Pondok Pesantren Wali Songo Ngabar. Kehadiran wartawan tersebut bersamaan dengan kunjungan kerja Menteri Sosial Salim Segaf Al Jufri di Pondok yang berdekatan dengan Pondok Gontor. Dari obrolan tentang perjuangan pondok, tiba-tiba para wartawan berkeinginan kuat untuk mengetahui lebih dalam persoalan pesantren.

Karena acara di Pondok Pesantren -- dalam menyambut kedatangan Mensos -- belum juga dimulai, maka para insan pers tersebut menyempatkan diri untuk bertandang ke Pondok Pesantren Gontor. Kebetulan, pada saat itu, pimpinannya KH.DR. Ahmad Syukri Zarkasih MA ada di kediamannya.

"Thawaf" di Gontor
Tampil dengan khasnya, sederhana dan bersahaja, KH Syukri menyambut kedatangan rekan-rekan wartawan. Rasa ingin tahu yang dimiliki kalangan wartawan pun disampaikan kepada pimpinan pondok tersebut.

Pertanyaan yang diajukan wartawan kepadanya mulai makin tajam. Menyaksikan gelagat seperti itu, Kiayi Syukri berinisiatif mengajak wartawan naik ke mobil alphard baru.

"Yuk, ikut saya. Naik mobil. Kita `thawaf qudum` di pondok ini," ujar Kiayi Syukri.

Tentu saja, wartawan gembira. Penulis berada di sisi kiri Kiayi Syukri. Sementara teman-teman pers lainnya - yang di jok belakang - dengan seksama mendengarkan cerita yang disampaikan pimpinan di Pondok Pesantren Gontor itu.

Sambil menyodorkan alat perekam, sekali-sekali wartawan menyela cerita Kiayi Syukri agar ceritanya semakin jelas dan runtun.

Wartawan sempat minta kepada Kiayi Syukri, yang tengah mengendari mobil "wah" itu, agar lagu Nat King Cole suaranya dikecilkan. Suasana mengelilingi Pondok seluas 12 ha itu terasa nyaman. Tertib dan bersih.

Pondok ini diisi 4600 santri. Mereka taat menjalani seluruh tugas yang diberikan dengan rasa tanggung jawab dan merasa memiliki, turut KH Syukri. Dari jumlah santri sebanyak itu, sekiar 460 orang setiap hari secara bergantian bertugas menjadi pengamanan di pondokannya masing-masing.

Ketika hendak shalat, mereka harus bergerak cepat. Karena itu, agar jangan berebut ketika berwudhu, jumlah pancurannya pun disesuaikan. Masjid harus diramaikan santri. Para guru harus mondok di kawasan pondokan yang sudah disediakan. Mereka bukan saja mengajar tetapi juga mendidik para santri untuk waktu 24 jam.

"Santri dan para guru harus menyatu," ia menegaskan.

Soal gaji pimpinan pondok dan tenaga pengajar, Kiayi Syukri mengatakan, dirinya tak menerima honor atau gaji dari pondok pesantren. Tetapi ia mendapat hak dari pembayaran percetakan buku-buku karya dari orang tuanya. Buku yang dicetak dari sini, kemudian didistribusikan ke seluruh pondok pesantren Gontor di tanah air. Mulai Aceh hingga Lampung dan beberapa daerah lainnya.

Untuk para guru di sini, ia mengatakan, semua tak digaji. Tetapi, lanjut dia, para guru diberi fasilitas untuk mendapatkan bayaran dari hasil jerih payahnya. Misalnya, membuka katering untuk melayani santri.

"Bayangkan, santri di sini ribuan. Mereka makannya harus yang disediakan pihak pondok," katanya.

Ekonomi di lingkungan pondok bergerak. Mulai pencucian, setrika, foto copy, dan kebutuhan lainnya. Warga setempat pun diberi peluang, misalnya menjadi pengrajin membuat kursi, lemari dan mebel. Belum lagi, penggilingan beras yang setiap hari di pondok ini membutuhkan ribuan ton gabah setiap bulan.

Kiayi Syukri bercerita pula, pihaknya ikut memerangi perjudian yang sempat muncul di sekitar pondok asuhannya. Awalnya, untuk menghadapi hal itu, pihaknya mendapat tantangan berat. Maklum, daerah itu, menurut dia, beberapa tahun silam sempat menjadi markas penganut antiagama.

"Saya carikan solusi, misalnya, mengawinkan para penjudi dengan puteri setempat," katanya.

"Alhamdulillah. Judi hilang. Putra-puteri para penjudi itu, kini yang belajar di pondok ini sudah ada yang menjadi pengajar. Bahkan mendapat gelar doktor," katanya penuh bangga.

Keberhasilan Kyai Syukri ini mendapat apresiasi dari Mensos Salim Segaf Al Jufri. Salim dalam kunjungan kerjanya ke Jawa Timur memang tak dijadwalkan untuk berkunjung ke pondok tersebut. Namun, begitu mendengar bahwa jarak tempuh pondok Wali Songo Ngabar, yang berdekatan dengan Pondok Gontor, hanya ditempuh dalam 10 menit, dia menyatakan setuju bertandang ke situ.

Mensos Salim Segaf Al Jufri memang tak menyerahkan bantuan, seperti ketika datang ke Podok Wali Songo, tetapi memberi apresiasi bahwa keteladanan dalam memberdayakan ekonomi umat patut mendapat acungan jempol.

Salim Segaf Al Jufri memang tak melakukan "thawaf qudum" di Pondok Pesantren Gontor, seperti yang dikukan insan pers bersama Kiayi Syukri Zakrasih. Tapi, setidaknya, Mensos yang juga pernah mengecam pendidikan agama dari kalangan Al Akhairat, dapat merasakan "ruh" dan spirit relegius di pondok pesantren itu.

"Perjuangan santri dari pondok pesantren sudah teruji dari zaman ke zaman," kata Salim Segaf Al Jufr.(E001/A011)

Oleh Edy Supriatna Sjafei
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2011