vaksin terbukti tidak menimbulkan gejala berat. Bahkan, pasien pertama yang terpapar Omicron tidak memiliki gejala, seperti demam dan batuk.
Jakarta (ANTARA) - Pandemi COVID-19 belum juga berakhir pada tahun kedua, sejak kasus pertama ditemukan di Indonesia pada Maret 2020 silam.

Pada tahun pertama, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta masih menyesuaikan formula kebijakan yang tepat untuk diterapkan agar pembatasan aktivitas dan pergerakan ekonomi tetap berjalan beriringan.

Memasuki tahun kedua, babak baru mengatasi pandemi COVID-19 dimulai dengan datangnya vaksin, begitu juga dengan tantangan menghadapi lengahnya warga Ibu kota dan mutasi virus itu sendiri.

Pertengahan 2021 atau tepat setelah momentum Hari Raya Idul Fitri, menjadi masa kelam bagi warga Jakarta karena melonjaknya jumlah kasus COVID-19.

Kala itu Jakarta menjadi episentrum pandemi di Indonesia. Betapa tidak. Usai tradisi mudik dan balik, yang meski telah dilarang oleh Pemerintah, nyatanya berdampak pada pertambahan jumlah kasus COVID-19 secara signifikan.

Baca juga: Warga DKI diingatkan soal Omicron sebelum rayakan Tahun Baru

Menurut Kepala Dinas Kesehatan DKI Jakarta, Widyastuti, ada hal lain yang membuat sebaran kasus positif menjadi lebih cepat, yakni varian baru mutasi virus Sars-Cov-2 atau COVID-19.

Varian Delta B1617.2 yang sudah terlanjur bertransmisi di Jakarta cukup merepotkan karena memiliki kemampuan tersendiri dalam menginfeksi. Selain varian Delta B1617.2 yang amat mudah menyebar, varian Beta B135 amat mudah membuat gejala menjadi berat atau lebih mematikan.

Jumlah kasus aktif harian pun meningkat signifikan dari 1.208 kasus pada awal Juni 2021, menjadi 14.619 kasus pada Juli 2021, rekor tertinggi penambahan kasus positif, sekaligus tanda bahwa Jakarta dalam fase genting.

"Jakarta sedang tidak baik-baik saja, angka COVID-19 terus naik, BOR (Bed Occupancy Rate) terus naik, jumlah orang yang masuk rumah sakit makin meningkat," kata Kapolda Metro Jaya Irjen Pol Fadil Imran.

Setelah RSUD Wisma Atlet mencapai kapasitas maksimumnya, sekitar 140 Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) di Jakarta turut menangani pasien COVID-19.

Dinas Kesehatan DKI Jakarta mencatat bahwa ketersediaan tempat tidur atau "Bed Occupancy Ratio (BOR) isolasi pada akhir Juni 2021 mencapai 94 persen, sedangkan BOR ICU mencapai 92 persen.

Baca juga: Ini keinginan Dinkes DKI terkait antisipasi Omicron

Pasien di rumah sakit membeludak. Lobi rumah sakit pun dialihfungsikan menjadi bangsal berisi tempat tidur untuk isolasi pasien.

Tak cukup di situ, beberapa rumah sakit bahkan memfungsikan tenda darurat dengan belasan "velbed" (tempat tidur lipat) di dalamnya guna menampung pasien yang membutuhkan rawat inap.

Namun, ada juga warga yang berupaya untuk menjalani isolasi mandiri (isoman) di rumah. Sayangnya, varian jenis Delta maupun Beta umumnya tidak bersahabat untuk perawatan mandiri, karena membuat manusia yang terpapar virus tersebut semakin bergejala berat, bahkan menyebabkan kematian.

Apalagi, saat itu pemberian vaksin di Jakarta belum merata karena masih diprioritaskan untuk warga lanjut usia (lansia) di atas 60 tahun dan di atas 50 tahun, kelompok masyarakat yang dianggap paling rentan jika terpapar virus.

Tim pemulasaraan jenazah COVID-19 di Kelurahan Sunter Agung, Jakarta Utara, mengungkapkan pasien COVID-19 yang meninggal dunia saat menjalani isolasi mandiri (isoman) membeludak.

Puncaknya, angka pemakaman jenazah COVID-19 di Jakarta meningkat hingga menembus 392 pemakaman dalam satu hari. Banyak anak-anak yang menjadi yatim piatu karena orang tuanya meninggal dunia akibat keganasan virus tersebut.

Setidaknya, 13.585 jiwa meninggal dunia akibat COVID-19, dilansir dari Data Pemantauan COVID-19 hingga 28 Desember dari situs resmi DKI Jakarta.
 
Calon penumpang mengikuti tes antigen saat menunggu jadwal keberangkatan kereta api di Stasiun Pasar Senen, Jakarta, Jumat (24/12/2021). Pada libur Natal dan Tahun Baru 2021 (Nataru) PT. KAI Daop 1 Jakarta mewajibkan calon penumpang yang hendak melakukan perjalanan untuk melampirkan hasil negatif test antigen 1x24 jam atau rapid test PCR 3x24 jam, sementara untuk penumpang anak dibawah usia 12 tahun wajib melampirkan hasil rapid test PCR 3x24 jam. ANTARA FOTO/Galih Pradipta/rwa.

Vaksin sebagai "game changer"

Ketika jumlah kasus positif COVID-19 meningkat signifikan, Kementerian Kesehatan memutuskan untuk memperluas sasaran vaksinasi, yakni terhadap warga berusia di atas 18 tahun.

Presiden Joko Widodo pun memberikan instruksi kepada Pemprov DKI Jakarta untuk memberikan vaksin kepada 7,5 juta warga Jakarta hingga akhir Agustus 2021.

Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan menegaskan vaksinasi dilaksanakan secara masif. Selain warga ber-KTP DKI Jakarta, warga ber-KTP non DKI Jakarta yang berdomisili di Jakarta, serta bekerja di Jakarta juga mendapatkan vaksin.

Baca juga: Pemprov DKI dan Satgas Kemenkes kolaborasi intensif cegah Omicron

Menurut Anies, mobilitas yang tinggi dan keterbukaan mengharuskan Pemprov DKI Jakarta untuk memvaksin setiap orang yang beraktivitas di Ibu kota guna mencapai kekebalan kelompok (herd immunity).

Target untuk memvaksinasi 7,5 juga warga DKI Jakarta akhirnya tercapai satu bulan lebih cepat dari yang diperintahkan Presiden. Pada 31 Juli 2021, tercatat 7,5 juta warga telah mendapatkan dosis pertama dan 2,5 juta warga mendapat vaksin dosis kedua.

Perluasan sasaran vaksinasi terbukti menurunkan risiko keparahan ketika seseorang terpapar COVID-19 dan mengurangi angka kematian. Pemprov DKI mencatat dari 4,2 juta orang yang divaksin dosis pertama, hanya 2,3 persen yang tetap terinfeksi.

Masker dan vaksin menjadi sejoli yang tidak terpisahkan untuk menjaga landainya kasus positif harian di Jakarta.

Oleh karenanya, Kapolri Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo meluncurkan Vaksinasi Merdeka yang berlangsung pada 1-17 Agustus 2021, sekaligus dalam rangka menyambut HUT Ke-76 Kemerdekaan RI.

Setidaknya ada 900 gerai vaksinasi, termasuk armada untuk vaksin keliling agar lebih menjangkau tempat tinggal masyarakat.

Seiring dengan pembelajaran tatap muka yang dilaksanakan, Pemprov DKI Jakarta sejak 1 Juli 2021 akhirnya menjangkau vaksinasi untuk anak usia 12-17 tahun dengan target 1,3 juta anak.

Kemudian, pada 14 Desember 2021, giliran anak usia 6-11 tahun atau siswa kelas 1 sampai 5 SD yang mendapat vaksin dengan target 1,1 juta anak.

Hingga 29 Desember 2021, vaksin dosis pertama sudah menjangkau 11,7 juta warga atau 116,1 persen melampaui target, sedangkan dosis kedua mencakup 9,28 juta warga.

Namun demikian, perjuangan DKI menghadapi pandemi kembali diuji ketika varian baru COVID-19, Omicron, yang memiliki karakteristik penularan lebih cepat, ditemukan.
 
Calon penumpang berjalan di selasar terminal untuk lapor diri di Terminal 3 Bandara Soekarno Hatta, Tangerang, Banten, Rabu (29/12/2021). Pemerintah melarang warga negara Indonesia (WNI) bepergian keluar negeri sementara waktu untuk mengantisipasi penyebaran COVID-19 varian Omicron. ANTARA FOTO/Muhammad Iqbal/aww.

Ancaman Omicron

Ikhtiar DKI untuk menjaga landainya kasus COVID-19 belum berakhir, ketika Ibu Kota yang menjadi episentrum pandemi itu diuji dengan terdeteksinya kasus Omicron pertama di Indonesia.

Padahal sebelumnya, Pemerintah telah mengantisipasi penyebaran Omicron di Indonesia dengan memberlakukan penutupan sementara pintu masuk ke dalam Negeri.

Penutupan dilakukan dengan menangguhkan pemberian visa kepada warga negara asing dengan riwayat perjalanan dalam 14 hari terakhir ke Afrika Selatan, Botswana, Lesotho, Eswatini, Mozambique, Malawi, Zambia, Zimbabwe, Angola, Namibia dan Hong Kong.

Namun, virus sejatinya tidak mengenal teritori, selama ada mobilitas manusia antarnegara.

Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengumumkan pasien pertama terpapar Omicron berinisial N, petugas kebersihan di RSDC Wisma Atlet Jakarta.

Guna menangkal penyebaran Omicron, Dinas Kesehatan DKI Jakarta berupaya melakukan deteksi dini. Bahkan, testing khusus DKI Jakarta sembilan sampai 10 kali lipat dari standar pemeriksaan WHO (1:1.000 penduduk per minggu).

Baca juga: Dinkes DKI masifkan deteksi dini tangkal varian Omicron

Sayangnya, dua dosis vaksin Sinovac, jenis vaksin paling banyak digunakan di Indonesia, tidak menghasilkan tingkat serum antibodi yang cukup untuk melawan varian baru, begitu juga dengan jenis vaksin efektivitas tertinggi, yakni Pfizer.

Di sisi lain, para ahli mengatakan bahwa tidak ada laporan kematian spesifik yang diakibatkan oleh Omicron dari 38 negara yang telah terpapar.

Saat ini, perlindungan terbaik memang hanya dengan vaksinasi. Meski belum optimal, vaksin terbukti tidak menimbulkan gejala berat. Bahkan, pasien pertama yang terpapar Omicron tidak memiliki gejala, seperti demam dan batuk.

Memasuki tahun ketiga yang berlangsung dalam hitungan hari, perjuangan Ibu Kota melawan pandemi belum berakhir.

Vaksinasi pun masih terus berjalan baik kepada anak-anak maupun dewasa agar "herd population" dapat terwujud hingga 70 persen.

Baca juga: Wagub DKI sebut vaksinasi anak penting untuk antisipasi Omicron
 

Editor: Ganet Dirgantara
Copyright © ANTARA 2021