Denpasar (ANTARA Newsi) - Humphrey R Djemat, kuasa hukum terdakwa Anand Krishna, berpendapat hanya sekitar sepuluh persen pertanyaan yang dilontarkan oleh pihak kepolisian, kejaksaan maupun majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang terkait pasal 290 KUHP tentang pelecehan seksual.

Sejak muncul tuduhan pelecehan seksual, 25 Agustus 2010, Anand Krishna lebih banyak dihadapkan pada pertanyaan yang terkait kegiatan ceramah, pemikiran dan isi buku‐bukunya yang dijual bebas di berbagai toko, katanya dalam siaran pers yang diterima di Denpasar, Sabtu.

"Anand Krishna sudah 297 hari bergelut dalam kasus ini. Kasus yang kemudian kami nilai lebih banyak mengarah ke upaya penghakiman dan kriminalisasi terhadap pemikiran seseorang dari pada pembuktian terjadinya pelecehan seksual," kata Humphrey R Djemat menegaskan.

Dalam persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Anand Krishna bukan hanya didakwa pasal 290, tapi juga pasal 294 jo pasal 64 KUHP tentang pencabulan dan persetubuhan dengan anak di bawah umur.

Karena adanya indikasi pembelokan kasus tersebut, ujarnya, Anand Krishna yang sempat meminta maaf kepada masyarakat melalui media nasional, juga harus berkonsentrasi menghadapi konspirasi di balik kasus yang sebenarnya, yakni pembunuhan karakter dan pemikiran-pemikirannya.

Dalam 15 tahun terakhir Anand Krishna telah berceramah dan menyampaikan pemikiran-pemikirannya yang menjangkau jutaan orang, baik melalui siaran televisi, dialog radio, pelatihan meditasi, penerbitan buku-buku, wawancara surat kabar dan artikel di berbagai media.

Selain itu juga berceramah secara langsung melalui berbagai pertemuan dan kegiatan pelatihan rutin yang diadakan di Anand Ashram Sunter, Jakarta, dan Pusat Pelatihan One Earth di daerah pegunungan yang sejuk di Bogor.

Sejak buku pertamanya terbit pada 1997 hingga kini, menurut Hadi Susanto, salah seorang staf Anand Krishna, tercatat lebih dari 140 judul buku yang telah dipublikasikan dan lebih dari sejuta salinannya terjual laris di seluruh pelosok Indonesia.

Selain menulis buku, Anand Krishna selama ini juga rutin menulis artikel di sejumlah media nasional maupun daerah, baik yang berbahasa Indonesia maupun berbahasa Inggris, di samping artikelnya banyak disiarkan oleh media online internasional seperti EzineArticles.com Expert Author dan Commonground News.

Sejak tahun 1991, setiap 1 September Anand Krishna juga menyelenggarakan acara budaya menampilkan kesenian daerah dan nasional sebagai persembahan bagi negara Indonesia, yang disimbolisasikan dalam wujud Ibu Pertiwi. Acara itu untuk mengingatkan bangsa Indonesia terhadap jati diri bangsa ini.

Sementara terkait saksi pelapor Tara yang baru mengingat adanya pelecehan seksual setelah dirinya menjalani terapi hipnotis (hipnotherapi), Humphrey R Djemat mengungkapkan argumentasi versi American Psychological Association (APA), bahwa mereka yang baru mengingat sebuah kejadian pelecehan seksual setelah menjalani serangkaian program terapi hipnosis, biasanya justru mengalami penanaman memori palsu atau "false".

Hal itu, katanya, terbukti saat persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, yakni terjadi inkonsistensi atas kesaksian pelapor Tara, dengan menyebutkan hal yang berbeda‐beda pada BAP 1 dan BAP 2 maupun kesaksian saat persidangan.

"Gejala berubah‐rubahnya (inkonsistensi) kesaksian atau pengakuan saksi pelapor itu merupakan dampak langsung dari terjadinya penanaman memori palsu atau false memory implant," ujarnya.

Dicontohkan dalam surat dakwaan tertulis tempat kejadian di Fatmawati, tetapi saat persidangan beberapa waktu lalu, Tara menyebutkan di Ciawi. Kemudian waktu kejadian tertulis antara April – Juni 2009, tapi di persidangan disebutkan 21 Maret 2009. "Ini juga bentuk inkonsistensi akibat penanaman memori palsu," kata Humphrey R Djemat menegaskan.

Prashant, putra Anand Krishna menambahkan, "Begitu banyak pertanyaan yang muncul di awal-awal kasus ini dan saat ini semuanya mulai bisa terjawab dengan jelas".

Agung Mattauch, pengacara Tara, katanya, kepada media sempat mengatakan bahwa tuduhan pelecehan seksual itu hanya entry gate untuk persoalan yang lebih serius, yakni penodaan agama. "Bagi saya hal ini sangat membingungkan. Apakah dia memahami bahwa Anand Krishna tidak bisa dijerat terkait penodaan agama, sehingga dimunculkan kasus pelecehan seksual?" ujar Prashant.

Berdasarkan hal tersebut, Prashant khawatir ada agenda tertentu untuk membenturkan Anand Krishna dengan kekuatan lain. "Apa yang akan terjadi jika Anand Krishna diseret ke dalam kasus penghakiman pikiran berkedok pelecehan seksual?" tambahnya.
(*)

Pewarta: Bambang
Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2011