Jakarta (ANTARA) - Senin 28 Februari lalu kementerian pertahanan Rusia menyatakan pasukan rudal strategis telah diaktifkan atau sehari setelah Presiden Vladimir Putin memerintahkan pasukan nuklir agar siaga tempur.

Pernyataan Putin itu sendiri menghebohkan dunia. Ada yang menganggapnya ancaman agar Ukraina berhenti melawan dan mengingatkan Barat agar jangan ikut campur, bahkan sebagai bentuk frustrasi dari dampak perang itu sendiri. Namun tak sedikit yang menganggapnya serius.

Entah karena tersudut di segala front tatkala sanksi kepada Rusia semakin luas dan keras mulai ekonomi sampai olahraga, dan protes antiperang yang meluas di dalam negeri serta malaise akibat sanksi yang bisa membuat rakyat berbalik menyerang Putin, presiden Rusia itu terlanjur masuk area mengerikan.

Tapi pernyataan Putin itu diglorifikasi pemuja-pemuja perang yang meremehkan bahaya perang nuklir, padahal bom atom yang dijatuhkan Amerika Serikat di Hiroshima dan Nagasaki pada 1945 mengajarkan umat manusia mengenai bencana besar akibat senjata nuklir.

Setahun setelah bom atom di Jepang itu, majalah LIFE melukiskan detik-detik neraka akibat senjata nuklir.

"Pada gelombang berikutnya (setelah ledakan) tubuh manusia terhimpit. Kemudian organ bagian dalam pecah. Ledakan lalu melontarkan tubuh-tubuh yang hancur berkeping-keping dalam kecepatan 800 sampai 1.600 km per jam ke udara panas penuh puing. Praktis semua manusia dalam radius 2 km mati atau terluka parah, sementara semua bangunan hancur memuntahkan isinya."

Lebih dari 200 ribu orang mati akibat bom atom. Padahal bom atom belum seberapa dibandingkan dengan bom hidrogen yang saat ini dikoleksi sejumlah negara penguasa nuklir.

Kekuatan bom hidrogen 1.000 kali lebih dahsyat dari bom atom. Artinya, bukan lagi 200.000 orang yang mati, melainkan jutaan orang yang menempati kota-kota besar atau daerah padat di dunia yang bisa menjadi sasaran saat perang nuklir terjadi.

Manakala bom hidrogen dijatuhkan di sebuah kota berpenduduk 10 juta misalnya, maka itu bisa menewaskan jutaan orang dalam hitungan detik.

Tak heran, karena tahu pasti dampak katastropik senjata nuklir, sampai sekarang tak ada lagi negara yang berani memakai bom nuklir, bahkan untuk sekadar mengeluarkan ancaman langsung sekalipun.

Kecuali mungkin Kim Jong-un di Korea Utara, nyaris tak ada pemimpin negara nuklir yang gegabah mengancam mengaktifkan arsenal nuklir. Makanya, ketika Putin menyinggung senjata nuklir justru ketika tak ada lagi Perang Dingin, banyak kalangan terkaget-kaget.

Padahal Putin sendiri tahu tak akan ada yang menang dalam perang nuklir karena yang menyerang lebih dulu sama hancurnya dengan yang belakangan menembakkan senjata nuklir.

Dalam dunia militer dikenal istilah "second-strike capability" atau kemampuan membalas serangan nuklir, dan "first-strike capability".

Serangan pertama bisa saja menghancurkan pusat-pusat peluncuran nuklir statis, tapi mustahil menghancurkan semua peluncur mobile seperti kapal selam dan pesawat pembom. Padahal inilah inti dari "second-strike capability".

Keyakinan ini pula yang membuat semua rezim nuklir di dunia mengambil posisi defensif dalam soal penggunaan senjata nuklir, termasuk Rusia.

Baca juga: Putin akan awasi latihan nuklir di tengah kebuntuan atas Ukraina
Baca juga: Putin sebut Angkatan Laut Rusia akan diperkuat rudal nuklir hipersonik

Selanjutnya: impulsif

Copyright © ANTARA 2022