Hak paten menyebabkan harga obat mahal
Jakarta (ANTARA) - Ketua Ikatan Ekonomi Kesehatan Indonesia (IEKI) Prof. dr. Hasbullah Thabrany, MPH mengatakan diperlukan solusi bersama untuk mengatasi biaya pengobatan kanker yang relatif mahal saat ini.

Menurut Thabrany, biaya pengobatan kanker relatif mahal karena dalam mendapatkan teknologi baru diperlukan riset yang menghabiskan banyak biaya. Terapi membidik molekul atau protein tertentu yang mengontrol sel kanker, misalnya, diperlukan teknologi bagaimana itu tidak memengaruhi sel normal, jadi beda dengan terapi.

"Hak paten menyebabkan harga obat mahal, tidak semua obat bisa dijamin pada sistem JKN (Jaminan Kesehatan Nasional) kita. Masih sebagian dipilih-pilih. Kita carikan solusinya antara lain perlu menambah dana dari JKN. BPJS ada surplusnya mestinya bisa naikkan," ujar dia dalam sesi wawancara bersama media secara daring, Sabtu.

Baca juga: Dokter: Kanker payudara juga dapat dialami pria

Menurut WebMD, di Amerika terapi target dapat menghabiskan biaya puluhan ribu dolar AS dalam sebulan.

Thabrany melanjutkan, pasien kanker tidak bisa mendapatkan pengobatan lengkap sesuai pilihan karena tak semua obat dijamin Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Masalah ini ditambah dengan persepsi pasien yang sebagian memilih pengobatan non-medis walau belum tentu terbukti efeknya.

Kanker termasuk penyakit tidak menular dengan angka insiden dan kematian yang tinggi. Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dinilai telah membuka akses bagi seluruh lapisan masyarakat Indonesia, termasuk penyintas kanker untuk mendapatkan penanganan dan perawatan atas kondisi kesehatan yang dialami.

Perkembangan teknologi pengobatan kanker terus memberikan peningkatan harapan dan kualitas hidup bagi penyintas kanker salah satunya melalui hadirnya terapi target. Namun di sisi lain masih ada keterbatasan akses terhadap pengobatan inovatif karena belum semuanya masuk JKN.

Baca juga: Deteksi dini kanker terganggu pandemi berpotensi krisis kesehatan di AS

"Hak orang untuk mendapatkan layanan kesehatan sudah dijamin Undang-Undang Dasar, tetapi karena pendanaan belum cukup, fasilitas belum cukup, tenaga dokter ahli belum memadai sehingga hal ini masih menjadi kendala. Biaya (pengobatan kanker) mahal. Sebagian ditanggung JKN," kata Thabrany.

Menurut dia, saat ini total belanja kesehatan Indonesia masih di bawah rekomendasi Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yaitu 5 persen dari GDP (PDB) atau minimal 15 persen dari total APBN, dan lebih rendah dibandingkan beberapa negara lain di Asia bahkan Asia Tenggara.

Dia mengatakan, pemerintah perlu segera mencari ide-ide inovatif untuk meningkatkan alokasi pembiayaan dan tidak hanya fokus mengurangi beban biaya dengan membatasi manfaat layanan pengobatan dalam program JKN.

Dengan begitu, pasien-pasien, terutama penyintas kanker tetap dapat memperoleh layanan terapi kanker yang paling optimal dan memberikan harapan hidup lima tahun lebih panjang serta kualitas hidup lebih baik.

Baca juga: Dokter ingatkan pentingnya kenali faktor risiko kanker usus besar

Baca juga: Pemeriksaan darah berkala disarankan untuk deteksi kanker usus besar

Baca juga: Perlukah memiliki asuransi untuk penyakit kritis?

Pewarta: Lia Wanadriani Santosa
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2022