Kerangka regulasi nasional perlindungan awak kapal perikanan saat ini masih parsial, terfragmentasi pada berbagai sektor dan sulitnya koordinasi
Jakarta (ANTARA) - Koordinator Nasional Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia Moh Abdi Suhufan mengingatkan agar perlindungan awak kapal perikanan jangan dilakukan berdasarkan regulasi yang sifatnya parsial dan tidak menyeluruh.

"Kerangka regulasi nasional perlindungan awak kapal perikanan saat ini masih parsial, terfragmentasi pada berbagai sektor dan sulitnya koordinasi," kata Abdi Suhufan di Jakarta, Kamis.

Untuk itu, Abdi meminta pemerintah untuk mempertimbangkan melaksanakan ratifikasi kovensi ILO 188/2007 tentang perlindungan bagi awak kapal perikanan.

Ratifikasi tersebut, masih menurut dia, akan memperjelas peran dan fungsi instansi ketenagakerjaan untuk secara menyeluruh mengatur tata kelola awak kapal perikanan yang bekerja di dalam dan luar negeri.

"Tidak seperti saat ini, tidak ada instansi yang bertanggungjawab penuh dan menimbulkan kebingungan pekerja ketika menagih tanggungjawab perlindungan kepada negara," kata Abdi.

Pihaknya juga mengherankan sikap pemerintah yang tidak kunjung mengeluarkan Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Penempatan dan Perlindungan Awak Kapal Perikanan Migran.

"Awak Kapal Perikanan migran jumlahnya ratusan ribu dan butuh pelindungan dari tahap perekrutan oleh manning agent, jika hulunya dibiarkan berantakan dan tidak mampu diatur, maka jangan heran jika korban akan terus berjatuhan," tutur Abdi.

Ia mengungkapkan, dalam kurun waktu dua tahun yaitu 2020-2022 tercatat 232 orang awak kapal perikanan yang menjadi korban. Mereka menjadi korban praktik kerja paksa dan perdagangan orang dari lemahnya sistem hukum, kebijakan dan program pelindungan awak kapal perikanan.

Koordinator Program Hotspot, DFW Indonesia, Imam Trihatmadja mengatakan bahwa korban awak kapal perikanan terus berjatuhan dengan banyaknya pengaduan yang masuk di National Fishers Center.

"Pengungkapan kasus ABK di berbagai media dan oleh aparat penegak hukum dalam beberapa tahun terakhir ini tidak membuat perbaikan tata kelola pelindungan ABK menjadi lebih baik," kata Imam.

Selain itu, ujar Imam, pihaknya mencatat dalam periode tiga bulan kuartal pertama tahun 2022 ini, National Fisher Center telah menerima 9 pengaduan dengan jumlah korban 33 orang.

Imam memaparkan, Secara total sejak tahun 2020 sampai dengan maret 2022, pihaknya telah menerima 77 pengaduan awak kapal perikanan dengan jumlah korban 232 orang.

Imam merinci dari 77 pengaduan tersebut, 44,16% adalah pengaduan ABK migran dan 55,84 persen adalah aduan ABK domestik. “Hal yang paling sering menjadi pengaduan ABk adalah terkait gaji yang tidak dibayarkan, asuransi dan jaminan sosial dan penipuan," kata Imam.

National Fishers Center adalah platform pengaduan awak kapal perikanan yang dikelola oleh DFW Indonesia dengan sistem online. "Platform ini telah banyak dimanfaatkan oleh ABK migran maupun domestik, dan kami menerima aduan ABK Indonesia yang berada di Taiwan, Kepulauan Pasifik, Afrika, Muara Baru, Dobo, Benoa dan Bitung," papar Imam.

Baca juga: DFW: Tingkatkan inspeksi rutin standar keselamatan awak kapal ikan
Baca juga: Indonesia bersiap ratifikasi konvensi pelindungan awak kapal perikanan
Baca juga: DFW: Ubah paradigma regulasi tata kelola awak kapal perikanan

 

Pewarta: M Razi Rahman
Editor: Biqwanto Situmorang
Copyright © ANTARA 2022