Jakarta (ANTARA) - Peneliti Pusat Riset Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Aisah Putri Budiatri berharap DPR segera menuntaskan sejumlah program legislasi berperspektif gender setelah menyetujui pengesahan Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual.

"Saya harap dengan konteks UU TPKS keluar, kemudian DPR dipimpin perempuan dan Kementerian KPPA aktif dan bersinergi dengan elemen masyarakat sipil. Ini momentum untuk juga menyegerakan kebijakan baru yang berperspektif gender," kata Aisah dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Rabu.

Legislasi baru berperspektif gender yang dimaksud Aisah adalah Rancangan Undang-Undang (RUU) Perlindungan Pekerja Rumah Tangga dan RUU tentang Keadilan dan Kesetaraan Gender.

RUU TPKS, yang disetujui DPR untuk disahkan menjadi UU, merupakan kerja kolektif antara Pemerintah, DPR, dan kelompok masyarakat sipil. Selain itu, keterlibatan aktivis dan lembaga pemerhati perempuan memiliki peran besar dalam menyusun penyusunan RUU tersebut.

"Ini momentum baik bahwa DPR dan Pemerintah bisa sinergisme dengan masyarakat sipil untuk hal yang baik, untuk publik," tambahnya.

Terkait kiprah aktivis perempuan pada penyelenggaraan pesta demokrasi politik, Aisah mengaku telah melakukan penelitian di Pemilihan Umum (Pemilu) 2004.

Baca juga: Sosiolog: Pengesahan UU TPKS buah perjuangan panjang

Dia mengatakan pada periode 2004-2009 terdapat banyak aktivis perempuan yang kemudian menggandeng kelompok masyarakat sipil untuk menggaet political will mereka. Meskipun porsi anggota perempuan relatif kecil dalam struktur pemerintahan, namun mereka mengumpulkan kekuatan yang lain, katanya.

"Pada saat itu jumlahnya kecil, tetapi saat itu aktivis perempuan menggandeng masyarakat sipil dan kelompok perempuan. Gagasan di mana isu yang penting dan apa yang harus dilakukan. Jadi mereka benar benar punya niat politik, political will," katanya.

Sementara itu, co-founder Pusat Kajian Strategis Hang Lekir Maria Hamid mengatakan pengaruh Puan Maharani sebagai perempuan pertama yang menduduki kursi Ketua DPR memiliki efek signifikan dalam penentuan kebijakan berbasis gender, terutama RUU TPKS yang sempat mandek.

"Ada perempuan duduk sebagai pembuat kebijakan, dia mengawinkan isu kebebasan dan perempuan, isu perempuan dan keadilan, membuat itu dibicarakan di ruang publik. Menunjukkan bahwa perempuan punya bargaining power," kata Maria.

Dengan RUU TPKS tersebut, lanjutnya, hal-hal tabu terkait masalah dalam rumah tangga dapat didobrak untuk menjadi diskusi masyarakat. Dia menilai selama ini kekerasan dalam rumah tangga, termasuk kekerasan seksual, disimpan rapat-rapat karena dianggap aib.

"Membuka sekat tabu untuk dibicarakan secara terbuka dan konsensual. UU ini membuat ranah privat menjadi publik. Ini hal baik karena kalaupun norma sosial berubah, sudah ada legislasinya," ujar Maria.

Baca juga: Menteri PPPA segera susun peraturan pelaksana pascapengesahan RUU TPKS
Baca juga: DPR RI setujui RUU TPKS disahkan jadi undang-undang


Pewarta: Putu Indah Savitri
Editor: Fransiska Ninditya
Copyright © ANTARA 2022