Adanya anggapan bahwa mengurus kewarganegaraan berbelit-belit dan prosedural.
Jakarta (ANTARA) - Pejabat publik tanpa disadari memiliki fungsi yang esensial dalam menopang roda kehidupan masyarakat. Sebagai abdi negara perlu berpikir visioner dan mencerdaskan bagi khalayak ramai.

Hal ini tidak hanya akan berdampak pada ​​​​​​​output yang optimal, tetapi juga outcome yang berkesinambungan.

Pada era digital penyelenggara pemerintahan tidak hanya dituntut memberikan pelayanan yang bersifat standar saja, tetapi juga perlu kreativitas yang lebih untuk memberikan pelayanan yang lebih beragam dan dapat menyentuh kebutuhan hakiki individu.

Salah satu bentuk kepedulian adalah melakukan telaahan, pengkajian, dan penelitian. Sebagai upaya mencari solusi atas persoalan yang aktual mengemuka. Terkait dengan hal ini, saat ini fenomena yang cukup menyita perhatian sekaligus memprihatinkan adalah kehilangan kewarganegaraan (apatride/stateless).

Fenomena apatride telah diangkat menjadi bahan kajian. Pasalnya, perihal stateless secara kuantitas cukup bermakna dan merupakan persoalan asasi dari warga negara.

Pengkajian apatride akan makin berdampak jika disebarluaskan kepada publik dan tersampaikan dengan baik dan jelas.

Berpandukan hasil kajian apatride, salah satu rekomendasi transenden adalah meningkatkan sosialisasi, baik secara luring maupun melalui media pada berbagai platform. Agar dapat meningkatkan pemahaman hukum bagi warga negara tentang eminensi kewarganegaraan.

Fenomena stateless makin meningkat pada beberapa tahun belakangan. Mengapa secara kuantitas jauh lebih besar dari tahun sebelumnya? Sebab jumlah pasangan kawin campur (WNI dan WNA) makin bertambah dari tahun ke tahun. Bahkan, hampir merata di seluruh Indonesia serta tersebar luas di berbagai negara.

Baca juga: Kemenkumham catat 329 WNI ajukan kehilangan kewarganegaraan

Baca juga: Kemenkumham: Kehilangan kewarganegaraan harus ada permohonan


Pada masa lampau WNI yang menikah dengan orang asing adalah kebanyakan dari kalangan yang berdiam di perkotaan. Namun, makin terbukanya komunikasi pada semua level masyarakat maka kawin campur juga terjadi di pelosok terdalam bumi Pertiwi.

Para pelaku perkawinan campuran mencakup mulai dari strata pendidikan terendah sampai level tertinggi (tidak merendahkan, hanya ingin melukiskan fenomena kawin campur yang hampir merata pada semua strata ekonomi).

Keadaan apatride akan berdampak terhadap berbagai sisi kehidupan seseorang, yaitu yang bersangkutan akan kehilangan hak sebagai WNI maupun warga negara lain.

Di antara hak yang hilang tersebut, ialah hak mendapatkan legislasi dan regulasi yang baik dalam melancarkan pemenuhan hak atas kewarganegaraan. Artinya secara administrasi negara yang bersangkutan akan kehilangan hak-hak dalam bidang hukum, politik, ekonomi, dan bidang lain.

Stateless tidak hanya dialami pada WNI yang bermukim di Bumi Nusantara, tetapi juga dapat terjadi pada WNI yang berdomisili di mancanegara. Beberapa Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) menyatakan tidak mempunyai data yang akurat mengenai WNI yang apatride.

Hal ini disebabkan belum terdapat aturan yang secara rigid mengenai kementerian/lembaga (K/L) yang berwewenang untuk memantau, meregister, serta bertanggung jawab terhadap status kewarganegaraan WNI di mancanegara.

Oleh karena itu, para pemangku kepentingan perlu bersinergi untuk menerbitkan ketentuan setingkat peraturan pemerintah yang mengatur hal ini secara spesifik.

Para pemangku kepentingan, antara lain, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Hukum dan HAM, serta Kementerian Luar Negeri.

Sementara itu, pada beberapa kesempatan dalam rangka mengkaji penyebab apatride terungkap penyebab sentrum dari stateless adalah dua aspek internal dari warga negara, yakni: pertama, kerisauan/kegalauan orang tua dari anak hasil perkawinan campuran yang beranjak remaja harus memilih kewarganegaraan sebelum usia 21 tahun.

Kegamangan orang tua yang belum dapat menentukan kewarganegaraan anak hasil perkawinan campuran. Kementakan disebabkan, antara lain, pasangan perkawinan campuran belum memiliki komitmen tentang kewarganegaraan anak mereka.

Kedua, tingkat kesadaran yang rendah dalam melaporkan status kewarganegaraan. Kurangnya kesadaran untuk melaporkan status kewarganegaraan. Hal ini berkemungkinan disebabkan tidak adanya benefit langsung yang dapat dirasakan pada saat melaporkan status kewarganegaraan.

Kemanfaatan pelaporan status kewarganegaraan akan dirasakan faedahnya bila yang bersangkutan terlibat permasalahan administrasi kewarganegaraan.

Bila kedua faktor di atas dielaborasi lagi sebagai berikut. Ketidakpahaman tentang konsekuensi apa yang akan terjadi jika memilih WNI atau WNA atau bahkan mengabaikan untuk memilih salah satu kewarganegaraan. Faktor ketidakpahaman ini tanpa dibarengi dengan rasa ingin tahu tentang hal ihwal kewarganegaraan dapat mengakibatkan yang bersangkutan minim informasi dan terkesan tidak peduli.

Baca juga: Imigrasi Meulaboh menemukan anak kewarganegaraan ganda di Aceh Selatan

Baca juga: Pemkab Trenggalek memfasilitasi pengurusan kewarganegaraan anak WNA


Keengganan untuk mengurus atau menelusuri informasi lebih lanjut tentang tata cara memilih kewarganegaraan.

Secara administrasi, proses agar seorang WNI tidak menjadi stateless sangat mudah, antara lain, yang bersangkutan hanya perlu membuka website K/L yang terkait dengan hal kewarganegaraan. Bukankah informasi tentang kewarganegaraan banyak tersebar di situs resmi pemerintah maupun swasta?

Jika keterangan di website tidak dapat dipahami secara utuh, yang bersangkutan dapat berkunjung secara offline ke Instansi yang terdekat dengan kediamannya. Pasalnya, hanya butuh sedikit kemauan dan kesungguhan agar tidak berstatus apatride.

Namun, kemudahan ini belum tersebar secara luas ke publik. Sementara itu, di sisi lain potensi adanya anggapan bahwa mengurus kewarganegaraan berbelit-belit dan prosedural.

Pendidikan orang tua, makin tinggi tingkat pendidikan makin banyak informasi yang diserap, demikian sebaliknya. Begitu pula dengan evidensi kewarganegaraan bagi mereka yang berpendidikan rendah tentu lebih minim dalam memahaminya.

Kesibukan orang tua, terutama yang bermukim di perkotaan, dapat menyebabkan terlupakannya pengurusan kewarganegaraan yang berakibat stateless.

Adanya potensi untuk menggantung status kewarganegaraan agar anak hasil kawin campur dapat memperoleh utilitas dari kewarganegaraan kedua orang tuanya. Bukan menyudutkan, melainkan hanya berkaca pada kejadian yang pernah mencuat di media massa.

Kelalaian dari pasangan kawin campur. Hal ini dapat diteropong dari sudut kenyamanan hidup. Jika pasangan kawin campur begitu menikmati kehidupan pribadi dan bermasyarakat, enggan lepas dari zona nyaman, apalagi berburu informasi yang update mengenai tata cara atau syarat menentukan pilihan kewarganegaraan.

Sebagian dari mereka mungkin memiliki persepsi bahwa selama tidak berhubungan dengan administrasi pemerintahan. Maka, hal itu tidak mengapa.

Perlu diinfokan bahwa perempuan WNI yang kawin dengan laki-laki WNA akan kehilangan kewarganegaraan. Jika menurut hukum negara asal suaminya, kewarganegaraan istri mengikuti kewarganegaraan suami sebagai akibat perkawinan tersebut, demikian pula sebaliknya.

Jika mereka tetap ingin mempunyai status sebagai warga negara Indonesia, yang bersangkutan harus menyatakan keinginannya dengan mengajukan surat resmi kepada pejabat/perwakilan Republik Indonesia terdekat setelah 3 tahun sejak tanggal perkawinannya. Tentu dengan syarat hal tersebut tidak akan mengakibatkan bipatride.

Hal lain yang patut diketahui adalah hilangnya status kewarganagaraan bagi seseorang. Tentu tidak berakibat otomatis terhadap orang lain yang terkait dengan yang bersangkutan. Misalnya, apatride karena memperoleh kewarganegaraan dari negara lain bagi seorang ibu yang putus perkawinannya, tidak dengan sendirinya berlaku terhadap anaknya sampai dengan anak tersebut berusia 18 tahun atau sudah kawin.

Ilustrasi lain ialah stateless bagi suami atau istri yang terikat dengan perkawinan yang sah tidak menyebabkan hilangnya status kewarganegaraan dari istri atau suami.

Mungkin timbul pertanyaan apa yang menyebabkan seorang WNI dapat kehilangan kewarganegaraannya. Berasaskan undang-undang, apatride akan terjadi bila hal-hal berikut ini.

Yang bersangkutan memperoleh kewarganegaraan lain atas kemauannya sendiri.

Tidak menolak atau tidak melepaskan kewarganegaraan lain, sedangkan orang yang bersangkutan mendapat kesempatan untuk itu.

Dinyatakan hilang kewarganegaraannya oleh Presiden atas permohonannya sendiri, yang bersangkutan sudah berusia 18 (delapan belas) tahun atau sudah kawin, bertempat tinggal di luar negeri, dan dengan dinyatakan hilang kewarganegaraan Republik Indonesia tidak menjadi tanpa kewarganegaraan.

Masuk dalam dinas tentara asing tanpa izin terlebih dahulu dari Presiden.

Secara sukarela masuk dalam dinas negara asing, yang jabatan dalam dinas semacam itu di Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan hanya dapat dijabat oleh warga negara Indonesia.

Secara sukarela mengangkat sumpah atau menyatakan janji setia kepada negara asing atau bagian dari negara asing tersebut.

Tidak diwajibkan, tetapi turut serta dalam pemilihan sesuatu yang bersifat ketatanegaraan untuk suatu negara asing.

Mempunyai paspor atau surat yang bersifat paspor dari negara asing atau surat yang dapat diartikan sebagai tanda kewarganegaraan yang masih berlaku dari negara lain atas namanya.

Akhirnya, penyadaran ini merupakan bagian dari pengejawantahan tanggung jawab sebagai aparatur negara agar apatride bukan lagi merupakan fenomena. Semoga.

*) Fenny Julita,S.Sos.,M.Si. adalah Analis Keimigrasian Ahli Madya, Direktorat Jenderal Imigrasi, Kementerian Hukum dan HAM RI.

Copyright © ANTARA 2022