Jakarta (ANTARA News) - Tanaman singkong, jagung, hingga kacang tanah menghampar bersama ilalang di sepanjang perjalanan berbukit ke Desa Giri Tembesi, Kecamatan Gerung, Kabupaten Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat.

Giri Tembesi merupakan desa dengan tanah yang cukup kering.

Rimbunan kapas seluas 2.500 meter persegi yang sudah mulai berbuah kemudian menggantikan pemandangan tersebut. Kebun kapas yang satu ini cukup padat dengan daun-daun kapas dibanding kebun-kebun kapas yang ditemui beberapa ratus meter sebelumnya.

Tanaman kapas ini merupakan varietas baru bernama Karisma, hasil riset radiasi nuklir dan pemuliaan Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan) yang telah disertifikasi sejak Maret 2008 dan sudah mulai diuji coba tanam di desa tersebut sejak 2009.

"Selama ini kapas yang kami tanam dari varietas Kanesia hanya menghasilkan 1,2 ton per hektare, kalau Karisma ini bisa sampai tiga ton per hektare," kata petani penangkar kapas, Wayan Suyarjana, di Desa Giri Tembesi, Lombok Barat, yang memiliki dua hektare lahan di desa tersebut.

Wayan mengatakan, selama ini untuk menanam kapas satu hektare dibutuhkan lima kilogram (kg) benih kapas Kanesia yang harganya Rp35.000 per kg, namun dengan menanam kapas varietas Karisma bisa lebih untung karena dengan harga benih sama, kapas yang dihasilkan lebih banyak.

Pada akhir Juli 2011 Wayan mengaku telah memanen tiga kuintal kapas Karisma dari 20 are tanahnya, selain memanen enam kuintal kapas Kanesia dari satu hektare tanahnya yang lain. Kapas tersebut kemudian dijual dengan harga Rp4.250 per kg.

Pada November ini Wayan menanami lahan bekas tanaman kapas Karismanya dengan kacang tanah. Namun pada Maret 2012, ketika hujan sudah mulai berkurang, ia bertekad akan mulai lagi menanam kapas Karisma dari benih yang dihasilkan dari penanaman Maret-Juli 2011.

Keunggulan Karisma
Menurut pemulia kapas varietas Karisma Batan, Lilik Hersanti, kapas memang membutuhkan air dari awal pertumbuhan hingga pengisian buah namun menghendaki kondisi kering menjelang panen karena itu bulan Maret sangat cocok untuk menanam kapas.

Sedangkan keunggulan varietas Karisma 1 hasil risetnya dibanding Kanesia hasil pemuliaan Kementerian Pertanian sebelumnya, yakni produktivitasnya yang mencapai 2-3 ton per hektare.

"Karisma meski satu rumpunnya hanya menghasilkan 12-15 buah tapi tanamannya bisa sangat rapat sampai 80.000 tanaman per hektare. Sedangkan Kanesia buahnya bisa 20-25 buah per rumpun tapi satu hektare hanya bisa ditanami sekitar 25.000 tanaman," katanya.

Sedangkan kualitasnya, menurut dia, tidak kalah dengan Kanesia baik dari panjang serat dan kekuatan seratnya, karena hasil uji lab sudah sesuai standar, dan perusahaan tekstil pun sudah menyatakan layak.

Seratnya bermutu baik, dari mulai elastisitas seratnya mencapai 10,1 persen, panjang serat 2,56 mm, kekuatan seratnya 27,65 g per tex, kehalusan serat 4,85 mikron, dan keseragaman serat 84,5 persen, katanya.

Selain itu Karisma juga tak memerlukan insektisida karena insektisida justru menurunkan produktivitasnya dari 2.008 kg kapas berbiji per hektare menjadi 796 kg per hektare.

"Penyemprotan itu justru melemahkan fisik tanaman. Akibatnya bukan mati oleh serangan hama aslinya tetapi mati karena serangan hama lain. Jadi kalau disemprot, vektor yang biasa makan hama juga akan ikut mati. Jadi biarkan saja masa serangan hama lewat. Tidak usah disemprot insektisida, nanti tanaman akan pulih dengan sendirinya," katanya.

Analisis keuntungan usaha tani Karisma dibandingkan dengan varietas nasional yang sudah dimanfaatkan yakni Kanesia 1 hingga 12, menurut dia, sampai 400 persen terkait dengan harga insektisida yang cukup mahal.

Umur tanaman kapas Karisma juga pendek, yakni hanya 120 hari sudah bisa dipanen dibanding benih kapas konvensional yang 145 hari.

Karisma, jelasnya, merupakan perbaikan dari galur Niab999 dari India-Pakistan yang diradiasi dengan dosis 20 Gy pada embrio aksis kultur jaringan.

Masih Impor
Menurut Kepala Balai Perbenihan Tanaman Dinas Perkebunan NTB, Bahruddin, potensi NTB untuk kapas mencapai 500.000 hektare. Sayangnya baru 500 hektare yang telah ditanami kapas, itu pun petani mau menanamnya karena adanya program pemerintah yang mulai serius meningkatkan produksi kapas.

"Selama ini 99 persen kapas kita diimpor. Bahkan untuk benih saja harus impor benih hibrid dari China yang harganya sampai Rp250.000 per kg. Jadi kalau untuk satu hektare petani butuh 5 kg, maka petani harus mengeluarkan uang sampai Rp1,25 juta per hektare. Ini sangat mahal dan tak menguntungkan, wajar kalau kita terus mengimpor kapas," katanya.

Kini petani sudah tak perlu ragu menanam kapas, karena dengan kualitas sama, benih Kanesia dari Kementerian Pertanian hanya dijual Rp35.000-37.000 per kg. Demikian pula Karisma dari Batan, ujarnya.

Apalagi petani bisa menangkarkan sendiri benih Kanesia dan Karisma ini, tidak seperti benih hibrid yang memerlukan penyilangan lagi.

Bahruddin mengatakan, pada 2011 benih Karisma I Batan yang telah ditangkarkan di NTB sebanyak 3 kg di lahan seluas 2.500 m2. Hasilnya akan ditangkarkan lagi sebagai benih untuk 2012, sehingga pada Desember tahun depan diharapkan sudah bisa ditanam di 3.000-5.000 hektare lahan.

"Sulawesi Selatan juga berminat dan telah meminta benih hasil penangkaran kami untuk ditanam di sana," katanya.

Kapas disebutkan memang hanya cocok ditanam di lahan kering dengan curah hujan pendek dua hingga tiga bulan, karena itu areal yang sesuai bagi pengembangan kapas di Indonesia yakni NTB, NTT, Jatim, Jateng, Sulsel, dan Sultra.

Kepala Seksi Budidaya Tanaman Aplikasi Teknologi Isotop dan Radiasi (PATIR) Batan Ita Dwimahyani mengatakan, kebutuhan kapas dalam negeri cukup tinggi mencapai ratusan ribu ton, tapi selama ini 90 persen masih diimpor dari Amerika, Australia dan Afrika.

"Minat petani nasional terhadap kapas sangat kurang dimana luas areal tanam hanya 7.850 hektare dari kebutuhan nasional 600.000 ton kapas per tahun (2003)," katanya.

Minat yang rendah disebabkan produktivitas kapas dalam negeri rendah, sekitar 279-543 kg per hektare akibat benih dalam negeri yang kurang bermutu serta serangan hama dan penyakit seperti empoaska.

Karena itulah, benih hasil riset Batan diharapkannya bisa memperbaiki kekurangan tersebut dan mampu memangkas angka impor kapas yang kelewat tinggi.
(D009)

Oleh Dewanti Lestari
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2011