Jakarta (ANTARA News) - Pro dan kontra keberadaan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) akhirnya berakhir pada Oktober 2011 ketika DPR RI sepakat dan kemudian mengesahkannya menjadi Undang-Undang.

Sebelumnya, perjalanan RUU BPJS bukan mudah, ia harus melalui proses panjang yang melelahkan mulai dari puluhan kali rapat di mana setidaknya dilakukan tak kurang dari 50 kali pertemuan di tingkat Pansus, Panja, hingga proses formal lainnya.

Sementara di kalangan operator hal serupa dilakukan di lingkup empat BUMN penyelenggara program jaminan sosial meliputi PT Jamsostek, PT Taspen, Asabri, dan PT Askes.

Meski bukan sesuatu yang mudah, namun keberadaan BPJS mutlak ada sebagai implementasi Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), yang bahkan semestinya telah dapat dioperasionalkan sejak 9 Oktober 2009 dua tahun lampau.

Perjalanan tak selesai sampai disahkannya BPJS menjadi UU formal, jalan terjal nan berliku menanti di depan. Segudang pekerjaan rumah menunggu untuk diselesaikan demi terpenuhinya hak rakyat atas jaminan sosial.

Pengampu mata kuliah Industrial Relations dan Ketenagakerjaan Universitas Sriwijaya dan STIE Musi Palembang, Kgs H Zainuddin Ali, dalam sebuah kajiannya menyebutkan bahwa saat ini, berdasarkan data yang dihimpun oleh DPR RI dari keempat Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang berstatus badan hukumnya adalah Persero tersebut, hanya terdapat sekitar 50 juta orang di Indonesia ini dilayani oleh Jaminan Sosial yang diselenggarakan oleh 4 BUMN penyelenggara jaminan sosial.

"Bagaimana dengan 190 juta orang lagi rakyat Indonesia yang belum mendapat jaminan sosial, mampukah pemerintah memberikan pelayanan baik dari segi ekonomis maupun kuantitas serta kualitas pelayanan publik jaminan sosial itu? Kenyataan terjadi dalam hal pelayanan kesehatan saja, saat ini pemerintah masih kewalahan," katanya.

Dari sisi ekonomis, hal itu dinilai akan berat bagi pemerintah karena harus menanggung subsidi penyelenggaraan Jaminan Sosial demi kesejahteraan rakyatnya tetapi ditinjau dari sisi yuridis konstitusional, pemerintah harus konsekuen dalam melaksanakannya.

Secara konstitusional arah kebijakan yang menyangkut kesejahteraan rakyat didasarkan atas pasal 28 H ayat (3) dan pasal 34 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945, kemudian diimplementasikan melalui pasal 4 Undang-undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN).

Kebijakan memberikan kesejahteraan rakyat itu akan menjadi tolok ukur keberhasilan pemerintah dalam menjalankan penyelenggaraan negara ke depan.

Dalam implementasinya, operasional BPJS yang menyangkut beberapa program seperti jaminan kesehatan, jaminan kematian, jaminan kecelakaan kerja, jaminan hari tua, dan jaminan pensiun.

Operasional itu berbeda dalam hal bentuk badan penyelenggaranya, yaitu BPJS 1, melaksanakan jaminan kesehatan dengan waktu pelaksanaan akan dimulai 1 Januari 2014.

Sedangkan BPJS 2 melaksanakan program jaminan kematian, jaminan kecelakaan kerja, jaminan hari tua dan pensiun, dengan waktu pelaksanaan BPJS 2 selambatnya pada Juli 2015.

Namun kekhawatiran yang kemudian timbul adalah kuatkah pemerintah untuk memberikan jaminan secara ekonomi dalam bentuk asuransi di mana saat ini masih terdapat setidaknya 190 juta orang yang belum mendapat perlindungan jaminan sosial dari beberapa program BPJS I dan BPJS 2.

Demikian juga bentuk badan penyelenggara semula dalam bentuk badan hukum perseroan terbatas berorientasi profit, menjadi wali amanat yang nirlaba.

Hal itu belum ditambah beban keharusan melakukan transformasi pelaksanaan program seperti jaminan kesehatan, jaminan kecelakaan, jaminan kematian, jaminan hari tua dan pensiun, semula dilaksanakan oleh PT Askes, PT Jamsostek, PT Taspen, Asabri.

Implementasinya jelas memerlukan amandemen peraturan perundangan mulai Undang-undang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), Undang Jamsostek, Undang-undang Ketenagakerjaan dan peraturan lain di mana ada setidaknya tujuh peraturan perundangan ikutan yang harus diamandemenkan.

Itu belum termasuk aturan turunan meliputi Keputusan Presiden dan peraturan pelaksanaan lainnya yang juga harus menyesuaikan.

Kini tugas berat itu menanti seluruh pihak terkait untuk mempersiapkan mulai berlakunya program jaminan sosial sebagai upaya menyejahterakan seluruh rakyat.


Jangan Membebani

Banyak pihak yang tidak tinggal diam merespon disahkannya RUU BPJS, sebagian menilai aturan itu dapat meningkatkan daya beli masyarakat. Sementara sebagian yang lain justru berpendapat adanya BPJS, malah berpotensi membebani masyarakat karena masyarakat akan dikutip iuran tambahan.

"BPJS itu dikatakan gratis padahal sebenarnya tidak gratis. Nah, di situ saya takut kalau rakyat itu kecewa, kalau kecewa itu kecewanya kepada pemerintah, itu yang saya takutkan," kata Mantan Menteri Kesehatan Siti Fadhilah Supari.

Menurut dia, dalam sosialisasinya RUU BPJS itu seolah-olah gratis padahal tidak, sebab rakyat, kata dia, justru mendapatkan beban iuran, dimana buruh bahkan ditingkatkan iurannya.

"Jika jaminan sosial nasional, maka jaminan yang benar itu (untuk) buruh, yang membayar biaya kesehatannya itu ya pemerintah," katanya.

Siti mengacu pada UU SJSN Nomor 40 tahun 2004 tentang SJSN terutama di pasal 17, yang menurutnya RUU BPJS berpotensi membenani masyarakat.

"Jelas bahwa di situ (pasal 17) adalah mengumpulkan dana dari perserta. Jadi yang namanya jamninan sosial di dalam UU itu adalah bagaimana mengumpulkan dana dari rakyat. Jadi justru dana ditarik dari masyarakat, bagaimana rakyat sejahtera?" Katanya.

Ia berharap ke depan, pemerintah dan rakyat bisa bekerja sama agar RUU BPJS ini dapat berguna bagi masyarakat luas. Apalagi karena peraturan itu telah disahkan menjadi aturan formal sehingga harus diimplementasikan.

"Maka kita harus bersama-sama antara DPR dan rakyat harus bergandengan tangan, untuk membuat peraturan pemerintah di dalam UU BPJS ini yang betul-betul mementingkan kepentingan nasional, bangsa dan negara tidak ada kepentingan lain," katanya.

Hal senada juga dikatakan Sekjen Komite Aksi Jaminan Sosial (KAJS) Said Iqbal bahwa Komite Pengawas Badan Penyelenggaran Jaminan Sosial (BPJS) tetap akan mengawasi persiapan pelaksanaan UU BPJS yang pada tanggal 28 Oktober lalu baru disahkan DPR.

Ia menegaskan, salah satu yang diawasi pertama adalah batas waktu satu bulan atau 30 hari sehingga Presiden Susilo Bambang Yudhoyono selambat-lambatnya harus menandatangani UU BPJS pada 28 November.

"Selain itu, Presiden juga harus mengeluarkan delapan Peraturan Pemerintah (PP) dan enam Peraturan Presiden (Perpres) serta satu Keputusan Presiden (Keppres) sebagai turunan dari UU BPJS," katanya.

Said meminta dukungan seluruh Rakyat Indonesia dan DPR agar ikut mengawal pelaksanaan UU BPJS agar tidak lagi dihalang-halangi atau dilalaikan oleh Pemerintah.


Tugas Berat

Sebagai salah satu operator penyelenggara jaminan sosial di Tanah Air, PT Jamsostek menjadi salah satu pihak yang mendapatkan tugas paling berat menyangkut implementasi UU BPJS.

BUMN tersebut pada dasarnya juga telah melaksanakan program Jaminan Pelayanan Kesehatan (JPK) bagi pekerja, namun dengan berlakunya UU BPJS secara formal, layanan itu harus dipindahkan ke program JPK ke BPJS 1 (yang kini bernama PT Askes).

Hal itu diamanatkan pula dalam Sidang Paripurna DPR, yang mengesahkan UU BPJS yang antara lain mengamanatkan migrasi JPK Jamsostek ke BPJS Kesehatan (PT Askes).

UU yang sama juga mengamanatkan perubahan status badan hukum empat BUMN penyelenggara jaminan sosial menjadi badan hukum publik.

Pemindahakan program bukan sesuatu yang mudah sebab perlu waktu lama untuk melaksanakannya, di mana ada setidaknya lebih dari 1 juta peserta JPK dari ribuan perusahaan harus dimigrasikan ke BPJS 1.

Pekerjaan rumah lain lain yang muncul adalah perlunya dibuat standar kualitas layanan agar tidak terjadi perbedaan layanan khususnya untuk program JPK dari PT Jamsostek kepada BPJS 1, dengan demikian peserta dan masyarakat tidak dirugikan akibat adanya penurunan layanan.

Meski begitu Dirut PT Jamsostek, Hotbonar Sinaga, menyatakan diri siap melakukan transformasi internal untuk merespon perubahan aturan itu.

Ia mengatakan pelaksanaan BPJS kesehatan dan BPJS ketenagakerjaan tidak akan mengubah pengelolaan dana jaminan hari tua pekerja (JHT).

Hotbonar menegaskan kondisi itu terjamin jika tidak ada peleburan BUMN jaminan sosial yang ada saat ini atau perpindahan pengelolaan ke BPJS lain.

Hal terpenting, ia menambahkan bahwa PT Jamsostek mendukung UU BPJS. "Sebagai operator kami siap melaksanakan amanat UU tersebut," kata Hotbonar.

Jalan terjal memang menanti pasca-disahkannya UU BPJS, namun optimisme harus selalu dikembangkan demi dua kata; kesejahteraan rakyat.

(T.H016/B013)

Oleh Hanni Sofia
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2011