Los Angeles (ANTARA News) - Film bisu "Wings" tampaknya ingin mengulang sukses film klasik yang juga tampil tanpa dialog, "The Artist", dengan masuk nominasi Oscar untuk film terbaik.

"Wings" yang mengisahkan pertempuran udara Perang Dunia I itu dibuat pertama kali pada 1927, dan merupakan film yang pertama kali memenangkan Oscar untuk kategori film terbaik.

Paramount Pictures, yang merayakan 100 tahun keberadaannya, mengemas kembali film klasik tanpa dialog itu dan akan merilisnya dengan iringan langsung organ di markas besar Academy of Motion Pictures Arts and Sciences, Rabu, dalam keping "blu-ray" yang akan diluncurkan 24 Januari mendatang.

William Wellman, seorang veteran pasukan pilot Piala Dunia I, menyutradarai "Wings," suguhan gambaran dunia yang belum pernah ditampilkan sebelumnya.  Dengan kamera yang ditempelkan di "bi-plane" tipis, kru penerbang menciptakan aksi perang di udara dengan aksi menantang maut dari pemainnya dan masih mengundang decak kagum penonton hingga kini.

Bisa diibaratkan, "Wings" adalah film "Avatar" atau "Star Wars" untuk masa itu. "Film itu merupakan film eksyen  yang indah," kata salah satu juri Oscar, Randy Haberkamp.

Sedangkan "The Artist", sebenarnya bukan satu-satunya film baru yang tampil dengan suguhannya yang klasik.

Film keluarga 3D "Hugo" karya Martin Scorsese mengangkat penggagas film Prancis, Georges Melies, dan film Woody Allen "Midnight in Paris" di mana Owen Wilson berperan sebagai penulis naskah modern yang terdampar pada 1920-an.

"Saya pikir sentuhan masa lampau adalah kesadaran bahwa film bisu bukanlah bentuk seni mati, karena sejatinya film merupakan tampilan visual dan mendalam," jelas Haberkamp.

Dalam "Wings", Richard Arlen dimainkan David Amstrong, seorang anak dari desa kecil yang berjiwa maju. Menolak cinta Mary (Clara Bow) gadis tetangganya, dia malah jatuh hati pada gadis kota Sylvia (Jobyna Ralston). Ia memiliki saingan, Jack Powell (Charles Rogers), seorang ahli waris konglomerat.

Sama-sama bekerja sebagai sukarelawan, kedua pria itu malah berteman selama perang. Tak lama, mereka bertemu Gary Cooper, yang berperan sebagai pilot maut pada penampilan pertamanya di layar lebar, sebuah peran yang membawanya sebagai bintang.

Dana Besar

Dengan dana yang pernah tercatat sebagai rekor terbesar di masa itu, yakni 2 juta dolas AS, "Wings" memakan dana melebihi yang dianggarkan, sementara Wellman malah sempat tidak berproduksi sembari menunggu awan, dengan alasan tak bagus untuk latar belakang pesawat.

Pertengkarannya dengan studio, berakibat Wellman tidak diundang ke perayaan Oscar tahun 1929 meskipun film tersebut sukses di pasaran.

Didukung antusias publik atas keberanian Charles Lindbergh melintasi Atlantis seorang diri, "Wings" menjadi film paling laris sepanjang dekade.

Sementara itu, film bisu hitam putih "The Artist" yang disutradarai Michel Hazanavicius asal erancis, tidak masuk jajaran "box office" meskipun meraih lebih dari 40 penghargaan, termasuk tiga Golden Globes, Ahad lalu.

Namun film itu diprediksi bisa menjadi film terbaik Oscar Februari nanti, dan mungkin saja bisa menjadi renungan para pembuat film atas berkurangnya penonton film saat ini.

"Melalui festival, berbagai jenis media yang tersedia dan rilis DVD, saya rasa orang-orang mulai bereksperimen dengan jenis film berbeda," ujar Wakil Presiden arsip Paramount, Andrea Kalas.

"Orang-orang mendengarkan Beatles dan lagu-lagu lawas lainnya, mungkin itu bisa juga terjadi pada film di mana kita lebih menghargai film yang berbeda dari era yang berbeda," tambah Kalas.

Anehnya, teknik film lampau malah lebih relevan di era modern di mana perkembangan efek digital dihasilkan untuk masuk "box office".  Konsekuensinya, cuplikan aksi menjadi lebih lama daripada dialog.

"Kebanyakan film yang kita tonton sekarang masuk kategori eksyen," kata Haberkamp.

"Jika Anda tidak tahu bagaimana memotong cuplikan aksi, jika Anda tidak tahu bagaimana menampilkan cuplikan aksi, Anda tidak akan begitu paham. Terus terang, itu lah di mana era "bisu" pernah menjadi sangat fenomenal."

Perkembangan teknis, menurut Haberkamp, tidak terlalu banyak membawa perubahan. Apa yang bisa terus membuat film masa lampau dan sekarang menjadi karya seni yang unik adalah pergerakan gambar dan kemampuan memanipulasi tempat dan ruang.

"Pada akhirnya, saya tidak peduli apakah film itu bisu atau tidak, saya hanya peduli apakah film itu menarik dan dibuat dengan baik," katanya seperti dikutip Reuters. "Saya pikir itu lah juga kenapa banyak orang mulai tertarik pada film bisu, ada hal yang lebih menarik daripada sekedar teknologi yang maju."

M047

Penerjemah: Jafar M Sidik
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2012