Jakarta (ANTARA News) - Dalam kunjungannya ke Indonesia, yang singkat tapi padat acara, Menteri Luar Negeri Amerika Serikat (AS) Condoleezza Rice, terlihat mendapat pengawalan ekstra ketat yang melibatkan pasukan marinirnya yang berseragam layaknya saat bertugas dalam Perang Teluk di Persia. Namun, Rice saat berkunjung ke Madrasah Ibtidaiyah (MI) Al-Makmur di Jalan Raden Saleh, Jakarta Pusat, tampak pula mendapat pengawal khusus, selain para marinir dan agen rahasia yang berpenampilan dingin. Pengawal khususnya yang melengkapi enam marinir, 12 agen rahasia, dan ratusan personel Kepolisian Negara RI (Polri), itu adalah sosok tinggi besar berkostum merah bernama Elmo. Elmo bukanlah intel khusus AS, apalagi anggota marinir dari negeri adi daya tunggal itu. Tetapi, Elmo termasuk pesohor mancanegara bagi anak-anak yang gemar menonton program televisi "Sesame Street". Bahkan, di kalangan anak-anak, Elmo mengalahkan ketenaran Rice. Kehadiran Elmo bukanlah tanpa sebab, karena Rice dalam kesempatannya ke Indonesia pada Selasa (14/3) tersebut sekaligus menguatkan komitmen Pemerintah AS untuk memberikan bantuan melalui Dana Bantuan AS (USAid) senilai 8,5 juta dolar AS untuk pembuatan acara "Sesame Street" versi Indonesia. Usai berkunjung ke MI Al-Makmur, Rice menyatakan, "Saya senang bisa memperoleh kesempatan melihat anak-anak itu belajar." Rice, yang didampingi Duta Besar AS untuk RI, B. Lynn Pascoe dan Elmo, juga mengumumkan bahwa "Sesame Street" versi Indonesia yang didanai USAid bakal melibatkan ratusan siswa dan siswi anak-anak RI, termasuk pelajar MI atau Sekolah Dasar Islam (SDI) di Al-Makmur. Dengan kata lain, Elmo dan teman-teman yang aksinya sudah ditayangkan oleh salah satu stasiun televisi swasta RI berbahasa Indonesia bakal langsung berinteraksi dengan budaya anak-anak Indonesia. Elmo dan teman-teman nantinya tak sekadar fasih berbahasa Indonesia hasil sulih suara, karena mereka pun bakal langsung hadir bersama anak-anak Indonesia, seperti pelajar SDI Al-Makmur, yang selama ini mendapat santunan USAid melalui Program Desentralisasi Pendidikan Dasar dan Manajemen Pendidikan Dasar (DBEMBE). Kediaman Elmo di "Sesame Street" adalah salah satu dari ratusan produk Public Broadcasting Service (PBS) yang berkantor pusat di Alexandria, Virginia, AS. Lembaga nirlaba tersebut dimiliki dan dikelola bersama oleh sekira 348 stasiun televisi di AS yang bertujuan meningkatkan kualitas pendidikan publik. PBS di laman (situs Internet) http://www.pbs.org menginformasikan, cakupan program siaran mereka mencapai sekitar 99 persen menyusupi kediaman masyarakat Amerika melalui siaran televisi, radio, maupun jejaring komputer (Internet). Sejumlah produk PBS juga sudah cukup banyak menyusupi relung hati anak-anak Indonesia, yakni melalui sosok Elmo, Barney, Boohbah, dan Teletubbies. Sosok para pesohor idaman tersebut bukan saja hadir dalam siaran televisi, tetapi juga menjadi bahan rengekan anak-anak, agar orang tuanya membelikan kaos oblong, gambar tempel, bros, hingga cakram digital video (VCD)-nya. Sejak didirikan pada 1969, PBS memanfaatkan media televisi yang kemudian diikuti Internet sebagai sarana penyebaran informasi yang efektif, terutama untuk meningkatkan kualitas pendidikan anak-anak, pengembangan wawasan pendidik, dan sekaligus menggalang dana. PBS juga mengandalkan pola kerjasama dengan berbagai stasiun televisi lokal di AS maupun mancanegara guna menyebarkan program siaran yang diproduksinya maupun produk bergradasi berbagai informasi muatan lokal (local contents). Dalam laporan keuangannya pada 2004, PBS membukukan penghasilan mencapai 333 juta dolar AS, yang didapat dari modal mandiri 47 persen, dana Pemerintah AS (24 %), royalti, lisensi, layanan satelit dan hasil tanam modal (14%), serta hasil penjualan produk pendidikan (12 %). Sedangkan, PBS pada tahun yang sama membukukan pengeluaran usaha untuk program acara dan promosi mencapai 72 persen, layanan keanggotaan dan pendidikan (15 %), layanan teknis dan sambungan satelit (9 %), serta administrasi maupun biaya umum lain (4 %). Jika menyimak sedemikian tangguh kediaman Elmo di PBS, maka sejumlah sosok pesohor impian lokal bagi anak-anak Indonesia, seperti Si Komo karya DR Seto Mulyadi dan Si Unyil (di TVRI sebanyak 603 episode selama 1981-1992) dari Pusat Produksi Film Negara (PPFN) yang dipelopori Kurnain Suhardiman, G. Dwipayana, Drs. Suyadi dan Agust Suprapto terlihat menjadi "belum ada apa-apanya". Sekalipun, Si Unyil muncul kembali dalam kemasan baru di RCTI sejak 21 April 2002. DR Hj. Yayah B.M. Lumintaintang APU, pendidik dan pakar bahasa, dalam percakapannya dengan ANTARA News mengemukakan, pertukaran budaya apa pun bentuknya, termasuk film, perlu diambil manfaatnya oleh bangsa Indonesia. "Oleh karena, bangsa dan negara Indonesia ini ada berdasarkan pertukaran budaya lokal yang ada di setiap suku bangsa kita," ujar Ahli Peneliti Utama (APU) di Pusat Bahasa tersebut. Yayah, yang juga dosen sastra di Universitas Indonesia (UI) Jakarta, menilai bahwa yang sering menjadi masalah di negeri ini adalah perbenturan budaya manakala ada pihak yang merasa keyakinan atau kebudayaannya terancam, terutama unsur kebahasaannya. Masalah kebahasaan itu pula, menurut dia, yang sering memicu konflik menjadi memanas atau justru meredamnya. "Seperti pepatah bahasa menunjukkan bangsa, jadi bahasa juga menentukan masa depan kebudayaan satu bangsa sekaligus keutuhan negara," katanya. Ia menyatakan, multi-media massa, terutama yang mengutamakan unsur audio visual layaknya di televisi dan Internet banyak membawa pengaruh dalam perkembangan kebahasaan, dan pada gilirannya merambah menjadi kebudayaan baru. "Televisi, utamanya. Televisi selama ini terbukti membawa perkembangan budaya baru. Ini terlepas dari apakah budaya yang memperkaya batin dan makna berpikir, atau justru merusak pemirsanya," ujarnya. Alumni program doktoral di Universitas Leiden, Belanda, itu pun mencontohkan bahwa AS, China dan India berhasil membawa kebudayaan mereka ke berbagai belahan dunia melalui produk filmnya. "Dalam hal ini, mereka harus dihargai karena mampu mengembangkan kemasan gagasan menyampaikan isi cerita yang mencerminkan budaya mereka menjadi lebih universal. Bahasa mereka pun setelah disulih suara atau diberi teks terjemahan juga bisa menjadi universal. Ini tantangan bagi kita semua," demikian Yayah Lumintaintang. Pesan kebudayaan --yang notabene juga pesan politik-- itu pula yang agaknya dikumandangkan Condoleezza Rice dalam kunjungannya selama dua hari (14 dan 15 Maret 2005) di Indonesia melalui Elmo dan "Sesame Street"-nya. Oleh karena itu, bangsa Indonesia dalam hal ini menghadapi tantangan penting, misalnya bagaimana Elmo bisa memahami kebudayaan Si Komo. Paling tidak, anak-anak Indonesia tetap lebih mengetahui adanya satwa langka bernama komodo melalui sosok Si Komo, dibandingkan mengenal Elmo yang profil fisiknya pun entah harus dicari di mana di negeri ini. (*) (Foto: Menteri Luar Negeri Amerika Serikat, Condoleezza Rice, bersama sosok boneka tokoh serial televisi "Sesame Street", Elmo, saat berada di SDI Al-Makmur di Jalan Raden Saleh, Jakarta Pusat, pada 14 Maret 2006).

Oleh Oleh Priyambodo RH
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2006