Setop kekerasan seksual pada anak, berhenti paksa kami untuk kawin muda.
Manado, Sulawesi Utara (ANTARA) - Pada tanggal 20 November 2022, banyak bocah merayakan Hari Anak Sedunia. Begitu pula di Indonesia, yang merayakannya bersama dengan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) di Kota Manado, Sulawesi Utara, Minggu.

Semua rangkaian acara itu dipenuhi dengan ornamen bergambar anak-anak, roket, dan balon udara yang tampak imut di sejumlah titik kota.

Warna-warni pada spanduk dan banner menghiasi jalan untuk mengingatkan masyarakat bahwa hari ini merupakan momentum penting untuk bisa memenuhi hak-hak anak.

Bunda Bintang Puspayoga, sapaan akrab Menteri PPPA, yang menghadiri acara itu mendapat sambutan tidak hanya dari anak Indonesia, tetapi juga anak-anak dari delapan negara ASEAN yang hadir langsung mewakili ASEAN Children’s Forum (ACF) 2022 ini.

Suasana tampak hangat dan nyaman, bagai anak-anak bertemu dengan ibu kandung untuk menceritakan segala ketakutan dan kegelisahan mereka. Tepat setelah Bunda Bintang memasuki ruangan, beberapa anak menghampirinya. Sambil menghela napas, para remaja ini berkata kalau anak Indonesia sedang tidak baik-baik saja.

Data dalam Sistem Informasi Online Perempuan dan Anak (Simfoni PPPA) periode Januari-Agustus 2022, misalnya, jumlah kasus kekerasan terhadap anak yang terlaporkan ada 8.859 kasus.

Adapun rinciannya, jumlah anak korban kekerasan mencapai 7.574 bagi perempuan dan 2.145 untuk laki-laki, 2.019 di antaranya mengalami kekerasan fisik, 2.227 psikis, 5.452 kekerasan seksual, 124 mengalami eksploitasi, 134 korban TPPO, dan 731 lainnya mengalami penelantaran.

Berdasarkan lokasi kekerasan terhadap anak, pada rumah tangga tercatat 5.230 orang. Jumlah pelaku kekerasan terhadap anak paling banyak dilakukan oleh orang tua, yakni 1.196 orang, keluarga atau saudara 561 orang, dan suami atau istri sebanyak 78 orang.

Ketua Forum Anak Pandang Panjang Kanaya (17) pada acara “Sehari Menjadi Menteri PPPA, membenarkan data tersebut. Kanaya bercerita bahwa anak korban kekerasan seksual terlalu takut untuk bercerita karena ada stigma dan cibiran yang luar biasa dari masyarakat.

Banyak korban menderita depresi bahkan memilih untuk mengakhiri hidup karena merasa tidak aman dan dirundung perasaan tidak berdaya yang sangat mendalam.

Perwakilan Forum Anak Ambon Abimanyu, 16 tahun, juga berkata, jika kekerasan seksual di daerah 3-T (tertinggal, terdepan, dan terluar) lebih menyakitkan akibat keterbatasan informasi yang membuat mereka tidak tahu cara untuk melapor atau terikat oleh budaya negatif yang melekat dalam adat setempat.

“Aku merasa kekerasan seksual sangat menghambat cita-cita kita sebagai anak. Ada yang mengatakan bahwa kekerasan seksual terjadi hanya dalam 30 detik atau bahkan satu menit. Akan tetapi trauma yang mereka rasakan, enggak bisa selesai hanya dengan mengakhiri hidup,” ucapnya sedih.

Anak-anak di daerah 3-T memang sangat membutuhkan pendampingan lebih. Banyak di antara mereka tidak dapat merasakan kesetaraan dalam merencanakan masa depan, atau bahkan sekadar bermimpi.

“Kondisi lain yang memprihatinkan adalah terdapat anak-anak korban hasil perkawinan dini di daerah 3-T, yang telah melahirkan anak di saat dirinya harus bermain atau bersekolah dan mengeksplor kemampuan dirinya jauh lebih baik lagi. Termasuk menjadi korban dari pelampiasan hasrat nafsu seseorang yang tidak bertanggung jawab,” kata Bintang.

Saat Menteri Bintang ke Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) Kelas II Kota Tomohon, Sulawesi Utara, juga mencuat beragam cerita. Banyak anak di LPKA memiliki cita-cita tinggi, namun kini harus menjalani rehabilitasi dan hukuman yang menyita waktu mereka untuk bisa menjelajahi dunia.

“Bu, apa dengan kondisi saya sekarang ini saya tidak bisa meraih cita-cita?,” tanya bocah laki-laki.

Hening seketika saat pertanyaan itu disampaikan. Dalam ruangan itu, bisa terdengar beberapa orang dewasa berbisik dari belakang, mengucapkan kata-kata semangat yang tidak berani disampaikan langsung oleh mereka.

Hafidz (17), anak asal Bangka Belitung, menambahkan literasi digital yang masih sangat minim berdampak pada tingginya rasa kecemasan hingga ketergantungan terhadap ponsel.

“Justru ada yang sampai meninggal karena ketergantungan main game, sampai ada spamming dan cyber bullying itu bahaya banget,” kata Hafidz.

Bahkan pada Puncak Hari Anak Sedunia pun ada dua anak sekolah dasar yang tidak bisa ikut merayakan karena harus berjualan camilan otak-otak. Ya, pekerja anak masih banyak terjadi.
 

Suara anak bangsa

Menyelesaikan tiap masalah dalam satu waktu bersamaan bagi negeri yang terdiri atas ribuan pulau dengan ragam perbedaan di dalamnya, memang menjadi tantangan besar.

Ada satu paradigma baku dalam menyelesaikan masalah tersebut, yakni menjadikan anak dan perempuan sebagai subjek pembangunan karena merekalah yang paling merasakan ketakutan sekaligus penawar solusi terbaik dari masalah tersebut.

Pemerintah harus mendengarkan suara anak bangsa seperti disampaikan Wina, gadis cilik dari Kota Manado. Gadis berusia 15 tahun itu dengan raut wajah marah mengucapkan keinginannya agar perkawinan anak dihentikan.

Ia ingin teman-teman sebayanya bisa belajar dan bermain bersama serta menikmati masa muda sesuai tumbuh kembangnya.

“Setop kekerasan seksual pada anak, berhenti paksa kami untuk kawin muda. Di tempatku banyak banget, Kak! Peringkat 11 di Indonesia,” ucapnya seraya mengingatkan jangan menyepelekan anak.

 “Kami itu maunya cuma didengar, dipahami. Keinginan orang tua juga belum tentu sama dengan keinginan anak,” tambah anak asal Manado, Caca (16).

Alya, 17 tahun, asal Kota Tangerang, menilai ada ketimpangan akses literasi digitalisasi, yang akhirnya bukan meningkatkan kemampuan anak, melainkan menurunkannya.

Alya berpendapat pemerataan dan pendampingan yang diberikan pemerintah perlu ditingkatkan. Banyak anak belum memiliki ketahanan yang bagus dalam menyerap setiap informasi atau menggunakan aplikasi di gawai

Dalam isu kekerasan seksual, pemerintah bisa membekali sekolah dengan ilmu bela diri untuk melawan para pelaku. Kanaya ingin setiap sekolah punya psikolog untuk menjadi tempat berbagi cerita dan membantu menyembuhkan luka batin teman-temanya.
 

Penuhi hak anak

Mendengar kisah dan aspirasi bocah-bocah tersebut, Menteri Bintang berjanji menyampaikan semua suara mereka dalam rapat bersama sejawatnya di tingkat pemerintah berikutnya.

KPPPA
akan terus mendorong kebijakan yang menguntungkan anak dan perempuan kepada kementerian/lembaga terkait.

Pemerintah Indonesia yang mengecam keras kekerasan seksual, juga berusaha memeranginya lewat penguatan kolaborasi dan kerja sama bersama aparat penegak hukum serta mengesahkan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU-TPKS). UU-TPKS memiliki kekuatan besar untuk mendapatkan keadilan bagi korban dan memberi efek jera  pelaku.

Penyuluhan atas dampak buruk perkawinan anak serta budaya patriarki, juga sudah dilakukan bersama dengan tokoh adat dan tokoh agama yang lebih dekat dan dihormati masyarakat. Ini penting mengingat karakteristik dan kepercayaan adat tiap daerah berbeda.

Desa Ramah Perempuan dan Peduli Anak (DRPPA) juga dibangun untuk menciptakan kehidupan yang aman, layak, dan menjunjung kesetaraan dalam setiap pembangunan atau pemberdayaan masyarakatnya tanpa memandang gender.

Terkait perlindungan, KPPPA menghadirkan Layanan SAPA 129 yang dapat diakses melalui hotline 021-129 atau Whatsapp 08111-129-129 dengan enam jenis layanan, yaitu layanan pengaduan masyarakat, pelayanan penjangkauan korban, pelayanan pengelolaan kasus, pelayanan akses penampungan sementara, pelayanan mediasi, dan pelayanan pendampingan korban.

Deputi Bidang Perlindungan Anak KPPPA Nahar ikut mengingatkan bahwa setiap hak anak yang meliputi hak untuk hidup, tumbuh dan berkembang, mendapatkan perlindungan, dan hak berpartisipasi harus dihormati dan dipenuhi oleh semua pihak.

Perlindungan juga menjadi kunci utama supaya anak bangsa dapat tumbuh secara nyaman dengan bahagia.

Pemenuhan hak anak ini harus dipenuhi. Kalau sudah menghadapi masalah maka harus ada perlindungan anak, ada tempat-tempat rehabilitasi atau tempat pemulihan.

Ada pertanyaan retoris yang layak disampaikan, “Sudahkah orang tua memberikan kehidupan yang aman dan layak kepada anak-anak. Jika sudah, mengapa masih banyak anak yang ketakutan dan menangis sendirian?”

 



Editor: Achmad Zaenal M



 

Editor: Achmad Zaenal M
Copyright © ANTARA 2022