Jakarta (ANTARA) - Laju konsumsi per kapita daging sapi di Indonesia pada 2022 meningkat 4,28 persen dibanding pada 2021. Setahun lalu konsumsi per kapita hanya 2,46 kg per tahun dan kini menjadi 2,57 kg per tahun.

Angka ini semakin menegaskan bahwa daging sapi merupakan komoditas peternakan penting di Indonesia terutama untuk memenuhi nutrisi hewani masyarakat Indonesia dengan populasi 275,77 juta jiwa.

Data itu bermakna positif sekaligus negatif. Bermakna positif karena Indonesia berhasil meningkatkan upaya untuk memenuhi nutrisi sebagai bagian bagian tercapainya tujuan pembangunan berkelanjutan atau Sustainable Development Goals (SDG’s) yaitu mengakhiri kelaparan dengan mencapai ketahanan pangan.

Konsumsi daging yang meningkat setiap tahun seiring pertumbuhan penduduk dapat dipandang sebagai salah satu indikator pertumbuhan ekonomi.

Data tersebut juga bermakna negatif karena terjadi peningkatan kebutuhan konsumsi dan produksi daging sapi di dalam negeri.

Dampaknya Indonesia semakin bergantung pada impor daging sapi dari negara lain untuk memenuhi kebutuhan konsumsi daging sapi nasional. Indonesia diperkirakan memiliki stok daging sapi pada awal 2022 sebesar 436.704 ton, sehingga diperkirakan masih defisit 207.199 ton karena konsumsi per kapita yang meningkat.

Keputusan impor pemerintah dilakukan untuk memenuhi kekurangan stok sekaligus untuk cadangan pangan. Bagaimana Indonesia dapat mengurangi ketergantungan impor?

Swasembada daging sapi dapat tercapai jika pasokan sapi potong 90 persen berasal dari dalam negeri dan 10 persen dari impor. Pasokan sapi potong berasal dari tersedianya bakalan yang cukup sehingga upaya menghasilkan bakalan sendiri menjadi fokus utama untuk mengurangi impor daging sapi.

Dengan kebutuhan daging sekitar 700 ribu ton, maka dibutuhkan minimal 5 juta ekor sapi siap potong per tahun berkualitas tinggi.

Sayangnya sampai sejauh ini kegiatan pembibitan sapi potong kurang diminati perusahaan swasta karena memerlukan lahan luas dan kurang ekonomis. Saat ini tumpuan utama penyediaan bibit berada di peternak rakyat karena 90 persen populasi sapi potong dipelihara peternak rakyat.

Sesungguhnya pemeliharaan sapi potong menjadi bagian kultur petani di Indonesia yang telah melekat sejak nenek moyang dulu kala. Beternak sapi bukan menjadi mata pencaharian utama petani, tetapi 90 persen petani bergantung pada ternak sebagai tabungan di saat hari-hari penting dan darurat.

Sapi potong dianggap aset yang berkontribusi pada penyediaan nutrisi, tabungan, dan penyedia pupuk petani secara mandiri.

Fakta bahwa permintaan daging sapi di Indonesia belum dapat terpenuhi dari produksi dalam negeri, ternyata belum dianggap peluang oleh peternak rakyat. Usaha budidaya sapi potong rakyat di Indonesia tidak beranjak dari tabungan menjadi berorientasi bisnis.

Pemerintah telah melakukan berbagai upaya untuk meningkatkan ketertarikan peternak meningkatkan skala usaha.

Sebut saja pemerintah memberikan Kredit Usaha Rakyat (KUR) dengan bunga rendah. Pemerintah juga meluncurkan program-program berbasis usaha korporasi dan pembangunan sarana dan prasarana peternakan.

Strategi pemerintah selama ini lebih banyak berbasis pendekatan teknik dan keilmuan yang tidak sepenuhnya salah, tetapi belum diimbangi dengan pendekatan budaya di setiap daerah.


Kebudayaan Beternak

Indonesia dengan kondisi geografis berupa negara kepulauan memiliki kebudayaan beternak sapi yang beragam. Kebudayaan beternak itu telah dilakukan secara turun-menurun sehingga tidak mudah diubah menyesuaikan program pemerintah yang sedang dijalankan.

Kebudayaan merupakan seluruh gagasan dan tindakan manusia yang telah menyatu dalam kehidupan manusia dan berfungsi sebagai cetak biru bagi perilaku manusia sebagai anggota masyarakat.

Persepsi beternak sapi hanya sebagai pekerjaan sampingan di luar bertani menjadi salah satu hambatan usaha dalam menunjang kehidupan ekonomi peternak. Peternak rakyat di Indonesia rata-rata memelihara sapi lokal atau tidak mempertimbangkan kualitas genetik ternak.

Skala kepemilikan peternak hanya antara 1-5 ekor. Peternak juga hanya memberi pakan tanpa memperhatikan kualitas dan kuantitas pakan.

​Sementara di sisi lain hasil inovasi budi daya sapi potong telah banyak dihasilkan dan tersedia dari lembaga penelitian dan perguruan tinggi di Indonesia. Inovasi tersebut juga telah sering sekali disebarkan ke peternak dengan berbagai jalur komunikasi.

Namun, di tingkat lapangan, adopsi teknologi tersebut belum sesuai harapan. Ternyata terdapat banyak kendala dalam proses alih teknologi kepada pengguna.

Salah satunya, kesiapan peternak dan sarana prasarana yang diperlukan dalam menerapkan teknologi masih rendah. Teknologi dapat dengan mudah diadopsi oleh peternak jika teknologi itu mudah, murah, dan menguntungkan.

Penerapan teknologi yang diakselerasikan dengan pendekatan budaya menjadi salah satu usulan untuk memperkuat program pembangunan peternakan yang berkelanjutan.

Idealnya pengembangan peternakan didasarkan pada basis komoditas dan kesesuaian wilayah. Sehingga, tidak berarti setiap wilayah harus mengembangkan bangsa atau jenis sapi yang sama dengan manajemen budidaya yang sama.

Pemilihan teknologi didasarkan pada basis budaya atau kebiasaan yang telah diterapkan sebelumnya sehingga teknologi yang dikenalkan mampu beradaptasi dengan baik terhadap bio-fisik dan sosial-ekonomi peternak.

Sebagai contoh pada program pengembangbiakan sapi bali yang dilakukan pemerintah, pemilihan teknologi yang akan diterapkan idealnya disesuaikan dengan sistem yang diterapkan sesuai dengan kesesuaian budaya dan wilayah.

Pada wilayah dengan lahan penggembalaan yang luas maka sistem budi daya yang sesuai adalah semiintensif dengan perkawinan alam. Teknologi yang diterapkan yaitu inovasi pengelolaan lahan, perbaikan kualitas hijauan di lahan penggembalaan, pengaturan waktu penggembalaan, pemilihan pejantan unggul, pengaturan perkawinan, rotasi lahan penggembalaan, dan penanggulangan penyakit.

Sistem tersebut lebih aplikatif dan ekonomis dibandingkan memaksa peternak mengawinkan sapi dengan inseminasi buatan yang secara teknis lebih sulit dilakukan.

Sebaliknya, sistem budi daya di lahan penggembalaan tidak sesuai jika diterapkan di lahan sempit dengan kebiasaan peternaknya mencari rumput (cut and carry).

Pada wilayah ini, pengembangbiakan dilakukan dengan model intensif, kawin alam, atau inseminasi buatan. Teknologi yang dapat diterapkan diantaranya model perkandangan (koloni atau individu) tergantung model perkawinan yang akan diterapkan.

Demikian pula sumber pakan dapat memanfaatkan limbah pertanian sebagai sumber pakan atau menanam rumput berkualitas di sekitar kandang.

Peternak juga diajarkan mengetahui tanda-tanda birahi induk dan waktu perkawinan yang tepat untuk sapi yang diinseminasi buatan. Terakhir mereka harus dibekali pengetahuan penanganan kesehatan dan penanganan limbah peternakan.

Apapun pilihan budaya yang menjadi pendekatan, pemilihan teknologi yang akan diterapkan idealnya dilakukan dengan pola komunikasi partisipatif sehingga mampu memenuhi harapan petani.

Dengan demikian percepatan adopsi teknologi tidak hanya terkait aspek teknologi, tetapi juga aspek budaya dan psikologis yang disinergikan.

Semoga transformasi penerapan teknologi dengan mengubah pola pikir peternak dapat beradaptasi dengan perubahan untuk menunjang kebutuhan daging sapi domestik secara mandiri.


*) Dr (Cand). drh. Aulia Evi Susanti, M.Sc.; Mahasiswa Doktoral Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan IPB University.
 

Copyright © ANTARA 2023