Bagian akhir dari "Babylon" ini merupakan bagian yang paling eksperimental Chazelle
 
Para kru film dalam film "Babylon" (2022) karya sutradara Damien Chazelle. (ANTARA/HO-Paramount Pictures)

Lantai pesta dan arena syuting menjadi wahana bagaimana kultur perfilman terbentur dan terbentuk. Dua set dalam film "Babylon" ini secara gamblang sekaligus rumit menampilkan transisi zaman lengkap dengan "moral" masyarakatnya.

Di lantai pesta era 1920-an, mereka begitu banal atau jika bisa disebut tampil dan bertutur tanpa sekat moralitas. Publik tak begitu peduli, malah justru mengidolakan bintang Nellie LaRoy yang tampil sensual dan bicara kasar penuh makian. Sedangkan di lantai pesta era 1930-an, Nellie LaRoy memaksa diri untuk mengikuti kemauan publik untuk tampil lebih "bermartabat" dengan pakaian dan gaya bertutur yang lebih sopan layaknya bangsawan Prancis. Tetapi hal inilah yang membuat Nellie LaRoy muak, sebab kultur kelas atas Prancis hanya topeng untuk menutupi moralitas.

Nellie LaRoy adalah salah satu contoh bintang film yang dituntut harus memermak citra di era transisi Hollywood agar bisa mempertahankan kariernya dan diterima masyarakat. Sementara di sisi lain, Conrad tampaknya tak begitu kesulitan menyesuaikan diri saat berpindah dari satu lantai pesta ke pesta yang lain. Namun aktor itu segera menyadari kariernya berada di ujung tanduk saat dia hanya dibutuhkan untuk film-film beranggaran rendah saat memasuki era film berbicara.

Baca juga: "The Point Men", saat Hwang Jung-min & Hyun Bin bersatu hadapi Taliban
Brad Pitt dan Li Jun Li dalam film "Babylon" (2022) karya sutradara Damien Chazelle. (ANTARA/HO-Paramount Pictures)

Nellie LaRoy dan Conrad punya kesamaan. Sebagai bintang yang lahir dari film bisu, mereka bergelut dan mencoba beradaptasi dengan revolusi Hollywood yang bergerak dengan cepat. Mereka mungkin tak menyadari bahwa nama-nama besar lain akan bermunculan. Sebut saja Manny yang berhasil menemukan peluang di antara perubahan itu, bahkan juga berusaha untuk mendongkrak kembali citra Nellie LaRoy walaupun tak berhasil.

Siapa sangka Manny bisa menjadi sutradara yang sukses lewat rumah produksi MGM. Dia jugalah yang mengangkat karier Palmer yang semula hanya figuran di antara pemusik kulit hitam lainnya. Sayangnya, Manny, sebagai sesama minoritas di Hollywood, tak mampu mengelak dari "kemauan" kultur masyarakat yang masih memandang sebelah mata orang kulit hitam, terlepas seberbakat apa pun Palmer.

Beralih ke arena syuting, terlihat jelas bagaimana lokasi dan penataan set hingga penggunaan teknologi kamera dan suara dengan cepat berubah wajah di era transisi dari film bisu ke film berbicara. Kala Nellie dan Conrad mencapai kejayaannya, pengambilan gambar dilakukan di luar ruangan. Sementara pada era film berbicara, mereka berbondong masuk ke set studio kedap suara demi mendapatkan kualitas suara yang mumpuni.

Baca juga: Film "Jung_E" tampilkan kecerdasan buatan saat bumi menuju kehancuran

Baca juga: "Puss in Boots: The Last Wish", sajikan hiburan ringan dan sarat pesan

Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2023