Jakarta (ANTARA) - Dalam Bab I Pasal 1 Ketentuan Umum Undang Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan dijelaskan Pangan Lokal adalah makanan yang dikonsumsi oleh masyarakat setempat, sesuai dengan potensi dan kearifan lokal.

Pengertian ini menggambarkan pangan lokal banyak tersebar di seluruh pelosok Nusantara. Itu sebabnya, menjadi sangat tepat bila Pemerintah memandang perlu untuk mengembangkan pangan lokal dalam kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat.

Sebelum lahirnya Peraturan Presiden Nomor 66 Tahun 2021 tentang Badan Pangan Nasional, sebetulnya Pemerintah telah memosisikan pangan lokal sebagai prioritas pembangunan pangan, khususnya dalam memperkokoh ketahanan pangan bangsa dan negara.

Peta jalan pengembangan pangan lokal telah dirumuskan, yang saat itu digarap oleh Badan Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian. Dengan adanya Badan Pangan Nasional, rintisan seperti ini tinggal dikembangkan lebih lanjut.

Namun sejumlah pihak kemudian mempertanyakan sejauh mana komitmen dan konsistensi untuk mengembangkan pangan lokal tersebut saat ini. Idealnya memang pengembangan pangan lokal bukan berbasis proyek, sehingga ketika proyek selesai tidak ada kelanjutannya.

Padahal peta jalan pangan lokal telah disusun dan dirumuskan sebagai wujud desain perencanaan, sehingga dibutuhkan komitmen dan konsistensi untuk dijalankan.

Potensi pangan lokal yang cukup beragam di Tanah Merdeka ini, tentu menuntut kepada semua pihak untuk menanganinya dengan penuh tanggung jawab.

Bukan semata tanggung jawab pemerintah, tetapi semua pihak yang menginginkan terwujudnya ketahanan dan kedaulatan pangan yang madani di Tanah Air.

Maka idealnya pengembangan pangan lokal dilakukan dengan konsep gerakan yang ditumpu oleh seluruh pemangku kepentingan.


Sosialisasi Intens

Pengembangan pangan lokal harus diawali lewat sosialisasi yang intens kepada seluruh warga masyarakat.

Penting bagi masyarakat untuk dikenalkan kepada beragam jenis pangan lokal yang tersebar di seluruh Tanah Air.

Masyarakat harus tahu yang namanya sukun, ganyong, garut, sagu, sorghum, umbi hutan, kapolaga, dan lain sebagainya. Sosialisasi ini menjadi kebutuhan mendesak untuk selalu ditempuh.

Tak kalah pentingnya adalah soal disain besar dari pengembangan pangan lokal itu sendiri. Sampai saat ini, sebetulnya, masyarakat di Indonesia masih menunggu dokumen perencanaan yang dirumuskan oleh Badan Pangan Nasional, guna lebih mendukung peta jalan yang sudah ada.

Penyusunan disain besar sendiri perlu disiapkan dalam kurun waktu yang cukup panjang. Setidaknya, Indonesia butuh merumuskannya untuk 25 tahun ke depan.

Mengembangkan pangan lokal, tidak bisa lagi hanya sekadar melaksanakan program berdasar upaya menggugurkan kewajiban. Namun, jika dikaitkan dengan suasana saat ini justru sangat dituntut adanya terobosan cerdas berbasis inovasi dan pergerakan ilmu pengetahuan dan teknologi yang berubah sangat cepat.

Negeri ini jangan sampai tertinggal oleh perubahan. Justru tugas dan kewajiban masyarakatnya secara bersama-sama untuk menjemput dan menangkap perubahan tersebut.

Satu tantangan besar yang harus ditempuh, manakala ingin mengembangkan pangan lokal adalah sampai sejauh mana bangsa ini mampu membangun nilai baru dalam kehidupan masyarakat.

Perilaku masyarakat, khususnya kaum muda, harus mencerminkan dalam bentuk ketertarikan untuk turut terlibat dalam pengembangan pangan lokal.


Kampanye pangan lokal

Catatan kritisnya adalah apakah mungkin masyarakat akan mampu menggeser pola makan atau pola jajan kaum muda, yang selama ini sudah terbiasa dengan makanan yang serba instan, digantikan dengan pangan lokal?

Dapatkah semua saling mengajak kaum muda untuk menyukai singkong goreng, atau sukun rebus, alih-alih ayam goreng ala Kentucky, burger, atau pizza?

Agar pangan lokal dapat disukai oleh kaum muda, tentu perlu dilakukan berbagai upaya agar rupa, bentuk, dan cita rasanya senapas dengan keinginan dan kebutuhan kaum muda.

Artinya, kampanye pangan lokal tidak cukup hanya dengan menggebyarkan pangan lokal masuk mall atau hotel berbintang, namun yang lebih penting untuk dicermati bersama adalah apa yang sebaiknya digarap setelah pangan lokal itu berada di mall atau hotel.

Di sini dibutuhkan ada komitmen dan konsistensi dari kebijakan yang ditempuh Pemerintah. Semua pihak tidak ingin kalau pengembangan pangan lokal bergantung kepada anggaran Pemerintah, baik APBN dan APBD.

Sebab, kalau kemasannya proyek, boleh jadi pengembangannya lebih bersifat sporadis atau hanya sementara waktu ketika program berjalan. Ini yang tidak boleh terulang kembali.

Pengalaman masa lalu harus segera ditinggalkan, dan diubah dengan pengembangan pangan lokal yang terukur, holistik, dan tentu saja harus komprehensif.

Tantangan bagi peneliti, akademisi, dan mereka yang bergelut dalam bidang gastronomi adalah menemukan inovasi dengan bantuan teknologi pangan terkini. Kemudian bagaimana kreativitas serta terobosan cerdas yang dapat dilakukan, supaya lahir jenis-jenis pangan lokal yang mampu menarik kaum muda untuk menikmatinya.

Pangan lokal harus dapat menjadi "teman" kaum muda ketika mereka nongkrong di mall, hotel, atau kafe yang menjadi favorit kaum muda untuk berkumpul.

Pemerintah bersama kalangan dunia usaha, akademisi, komunitas dan media, sudah saatnya untuk duduk bersama dan membuat komitmen nyata dalam pengembangan pangan lokal ini.

Sinergi dan kolaborasi pentahelix menjadi langkah yang perlu digarap, agar pengembangan pangan lokal menjadi tanggung jawab bersama.

Pangan lokal bukan lagi hanya proyek jangka pendek, tapi senapas dengan perjalanan pembangunan pangan itu sendiri. Komitmen seperti yang digambarkan tersebut diharapkan dapat diterapkan secara konsisten dan berkelanjutan pengembangannya ke depan.

Badan Pangan Nasional, seperti diamanatkan Peraturan Presiden Nomor 66 Tahun 2021, jelas diminta untuk tampil sebagai penggerak utama  dalam penyusunan desain besar dan peta jalan yang lebih berkualitas serta disesuaikan dengan tantangan kekinian.

Pemikiran bernas dan terobosan cerdas, jelas sangat dimintakan. Semua ingin pangan lokal menjadi kekuatan bangsa dan negara, khususnya dalam mengoptimalkan keberadaannya sebagai sumber pangan yang begitu banyak ragam dan rasanya.


*) Entang Sastraatmadja; Ketua Harian DPD HKTI Jawa Barat.



Copyright © ANTARA 2023