"Kami prihatin dengan kasus tersebut dan meminta pihak kepolisian mengusut tuntas sehingga korban bisa mendapatkan kepastian hukum dan merasa bahwa negara hadir dalam upaya perlindungan dan pemenuhan hak korban," kata Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan KemenPPPA Ratna Susianawati, dalam keterangan, di Jakarta, Jumat.
Baca juga: KemenPPPA sesalkan tindakan persekusi terhadap dua perempuan di Sumbar
Dalam kasus tersebut, kata Ratna, polisi telah sembilan kali menerbitkan Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyelidikan (SP2HP), tetapi perkara masih dalam tahap penyelidikan.
"Dahulu, KDRT memang masih dianggap sebagai masalah ranah pribadi sehingga tidak bisa diintervensi pihak lain. Namun, dengan adanya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004, hal tersebut menjadi urusan negara termasuk aparat penegak hukum," ujarnya.
Ratna menjelaskan kasus KDRT tersebut diduga dipicu perebutan hak asuh anak.
Baca juga: KemenPPPA tekankan peningkatan peran keluarga cegah KDRT
Berdasarkan informasi dari Polda Kepulauan Riau, dugaan kekerasan fisik terhadap korban sulit dibuktikan mengingat kurangnya bukti dan saksi, meskipun Visum et Repertum (VER) menyatakan terdapat luka lebam.
Sementara, terkait dugaan kekerasan psikis, polisi masih membutuhkan keterangan tambahan dari dokter kejiwaan berdasarkan rekomendasi gelar perkara yang telah dilakukan sebelumnya.
Selain itu, kedua pihak memberikan keterangan yang berbeda sehingga menghambat jalannya proses penanganan kasus ini.
Baca juga: KemenPPPA: Perlindungan terhadap perempuan harus dilakukan semua pihak
Dalam kasus ini, terlapor dapat dijerat dengan sanksi pidana atas dugaan perbuatan kekerasan fisik dan psikis sebagaimana yang dijelaskan dalam Pasal 44 ayat 1 dan/atau Pasal 45 ayat 1 atau Pasal 45 ayat 2 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT.
Pewarta: Anita Permata Dewi
Editor: Bambang Sutopo Hadi
Copyright © ANTARA 2023