Selama dia mendapatkan tata laksana yang baik, sel darah merah bisa membawa oksigen untuk tumbuh kembang anak, jadi kalau transfusinya bagus, obat-obatan menunjang kualitas hidup, akan menghasilkan anak-anak thalasemia yang bisa hidup sehat dan kuali
Jakarta (ANTARA) -
Konsultan dan ahli Hemato-Onkologi Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FK UI) Dr dr Teny Tjitra Sari mengatakan, pasien dengan thalasemia atau kelainan darah tetap bisa hidup sehat dengan tata laksana yang benar.
 
“Selama dia mendapatkan tata laksana yang baik, sel darah merah bisa membawa oksigen untuk tumbuh kembang anak, jadi kalau transfusinya bagus, obat-obatan menunjang kualitas hidup, akan menghasilkan anak-anak thalasemia yang bisa hidup sehat dan kualitasnya baik,” katanya pada diskusi memperingati Hari Thalasemia Sedunia yang diikuti secara daring di Jakarta, Jumat.

Diskusi daring tentang thalasemia pada anak diselenggarakan oleh Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) dalam rangka Hari Thalasemia Sedunia yang diperingati setiap 8 Mei
 
Ia menjelaskan thalasemia adalah penyakit keturunan atau genetik, dengan gejala yang paling umum ditemukan yakni wajah yang pucat, anak yang kuning, dan perut yang buncit akibat pembengkakan pada hati dan limpa.
 
Meski hampir mirip dengan penyakit kekurangan zat besi atau anemia, katanya, tetapi kedua penyakit ini sangatlah berbeda, karena thalasemia tidak dapat disembuhkan dan membutuhkan perawatan seumur hidup.
 
“Penyakit ini dari bawaan lahir, dimana anak-anak tidak bisa menghasilkan sel darah merah dengan baik,yang tentu saja harus bergantung dengan orang lain untuk mendapatkan sel darah merah. Tubuh mereka tidak bisa menghasilkan sel darah merah, jadi tumbuh kembangnya tidak bisa baik,” katanya.
 
Ketika tubuh tidak bisa menghasilkan sel darah merah, kata dia, maka kemampuan paru-paru untuk memompa oksigen juga menjadi lemah, untuk itu, menurut Teny, butuh perhatian khusus dari orang tua untuk merawat anak dengan thalasemia, utamanya terkait nutrisi yang masuk dalam tubuh.
 
“Sebisa mungkin hindari makanan yang mengandung zat besi tinggi, karena selain harus rutin transfusi dan minum obat, makanan yang paling bisa kita kontrol, usahakan jangan mengkonsumsi daging yang berwarna merah, jeroan seperti hati sapi dan ayam itu dilarang karena zat besinya tinggi sekali,” katanya.
 
Selain makanan, suplemen seperti vitamin C dengan kadar tinggi juga dilarang, karena vitamin C dapat menyerap zat besi, sehingga pada penderita thalasemia, zat besi tersebut dapat ikut pecah.
 
“Jeruk boleh, kadarnya maksimal 75 mg, paling cuma bisa satu buah, lalu kismis yang biasanya ada di roti, itu vitamin C-nya tinggi juga tidak boleh, kalau susu sangat dianjurkan, karena susu itu bagus untuk memberi nutrisi pada tulang-tulang,” katanya.
 
Mengingat thalasemia adalah penyakit keturunan, maka ia menyarankan agar pasangan yang akan menikah dapat memeriksakan darah terlebih dahulu pada fasilitas kesehatan yang menyediakan analisis hemoglobin (protein yang ada dalam sel darah merah).
 
“Sebenarnya pemerintah sudah mencanangkan analisis hemoglobin (HB) pada anak-anak mulai dari kelas tujuh SMP, jadi dia sudah tahu jati dirinya, normal atau pembawa sifat. Kalau pembawa sifat, jangan bertemu dengan sesama pembawa sifat,” demikian Teny Tjitra Sari.

Baca juga: IDAI mengatakan thalassemia mempengaruhi psikososial anak-anak

Baca juga: Kemenkes: Skrining kesehatan sebelum menikah mencegah talasemia pada anak

Baca juga: IDAI menyebutkan, penderita thalassemia saat ini didominasi oleh kalangan remaja

Baca juga: BKKBN: Skrining Thalassaemia penting untuk menghindari cacat lahir

Pewarta: Lintang Budiyanti Prameswari
Editor: Andi Jauhary
Copyright © ANTARA 2023